SEMULA, rencananya tak akan singgah ke Indonesia. Dari Singapura
ke Australia, terus langsung pulang ke Port Moresby, Papua
Nugini (PNG). Tapi berkat pendekatan yang dilakukan oleh Dubes
Busyiri dan stafnya di Port Moresby, lambakey Okuk, Pemimpin
Oposisi PNG jadi menyelipkan acara selama seminggu di Indonesia.
Senin lalu dia tiba di Jakarta bersama beberapa anggota parlemen
PNG dari pihak Oposisi.
"Soalnya, dia ini motor oposisi terhadap Somare. Dan dengan
demikian juga sering menyerang Indonesia," tutur seorang staf
KBRI Port Moresby yang ikut menjemput Okuk di Halim
Perdanakusumah.
Ia memang betul. Sebab 17 Juli lalu, dalam suatu konperensi pers
di Port Moresby, Okuk menyatakan sikap partainya -- United Front
yang menginginkan peninjauan kembali politik luar negeri PNG
terhadap Indonesia. Khususnya dalam soal perbatasan Irian
Jaya-PNG.
Apa yang perlu ditinjau kembali? Menjawab pertanyaan TEMPO ini,
Okuk, 36 tahun berfikir sebentar. "Apa yang dilakukan Indonesia
di daerah perbatasan, itu urusan dalam negeri Indonesia
sendiri," katanya. Tapi dia tidak setuju pemerintahnya ikut
campur dengan menempatkan 500 tentara PNG disisi timur
perbatasan, untuk mencegah rembesan sisa-sisa OPM. Alasan Okuk
"Bukankah PNG menjalankan politik luar negeri yang katanya
universalistis berusaha berteman dengan siapa saja, dan tak mau
bermusuh dengan siapapun? "
Dengan turun tangan membela kepentingan satu pihak, Okuk merasa
pemerintah Somare sudah "bersikap bermusuhan dengan pemberontak
di Irian Jaya, dan tak bersikap bersahabat dengan siapapun."
Okuk juga menanggapi satu soal yang sedang ramai di sana. Yakni
nasib dua pemimpin OPM, Jakob Prai dan Otto Ondoame yang telah
ditangkap di Vanimo, Sepik Barat akhir September lalu, dan
kontan dijatuhi hukuman penjara dua bulan. Kesalahan mereka:
masuk wilayah PNG secara tidak sah. Dan setelah hukuman itu
selesai mereka jalani akhir tahun ini, pemerintah PNG bermaksud
menyerahkan mereka kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Para
Pengungsi.
Pihak Oposisi, berniat menyediakan pengacara bagi kedua gembong
OPM itu agar mereka dibolehkan mendapat suaka politik di PNG.
Dan di kemudian hari, lewat proses naturalisasi, menjadi
warganegara PNG.
Pihak Indonesia kurang senang dengan perdebatan itu. Sebab
seperti yang sudah dikemukakan oleh Sekretaris I KBRI di Port
Moresby, Jusbeth Siregar, Jakarta menghendaki ekstradisi kedua
tokoh pemberontak itu untuk diadili di Indonesia dengan tuduhan
subversi.
Menjawab pertanyaan TEMPO, Okuk menyatakan bahwa soal nasib
kedua tokoh OPM itu terletak di tangan kedua pemerintah. Dengan
catatan "Tentunya kita juga harus menghormati undang-undang dan
peraturan PNG, dan juga peraturan PBB tentang pelarian politik."
Itu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini