Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Seorang tamu oposisi dari png

Iambakey okuk, pemimpin oposisi png beserta anggota parlemen berkunjung ke jakarta. partainya, united fronts, menginginkan peninjauan kembali politik ln png terhadap indonesia, terutama masalah opm. (ln)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMULA, rencananya tak akan singgah ke Indonesia. Dari Singapura ke Australia, terus langsung pulang ke Port Moresby, Papua Nugini (PNG). Tapi berkat pendekatan yang dilakukan oleh Dubes Busyiri dan stafnya di Port Moresby, lambakey Okuk, Pemimpin Oposisi PNG jadi menyelipkan acara selama seminggu di Indonesia. Senin lalu dia tiba di Jakarta bersama beberapa anggota parlemen PNG dari pihak Oposisi. "Soalnya, dia ini motor oposisi terhadap Somare. Dan dengan demikian juga sering menyerang Indonesia," tutur seorang staf KBRI Port Moresby yang ikut menjemput Okuk di Halim Perdanakusumah. Ia memang betul. Sebab 17 Juli lalu, dalam suatu konperensi pers di Port Moresby, Okuk menyatakan sikap partainya -- United Front yang menginginkan peninjauan kembali politik luar negeri PNG terhadap Indonesia. Khususnya dalam soal perbatasan Irian Jaya-PNG. Apa yang perlu ditinjau kembali? Menjawab pertanyaan TEMPO ini, Okuk, 36 tahun berfikir sebentar. "Apa yang dilakukan Indonesia di daerah perbatasan, itu urusan dalam negeri Indonesia sendiri," katanya. Tapi dia tidak setuju pemerintahnya ikut campur dengan menempatkan 500 tentara PNG disisi timur perbatasan, untuk mencegah rembesan sisa-sisa OPM. Alasan Okuk "Bukankah PNG menjalankan politik luar negeri yang katanya universalistis berusaha berteman dengan siapa saja, dan tak mau bermusuh dengan siapapun? " Dengan turun tangan membela kepentingan satu pihak, Okuk merasa pemerintah Somare sudah "bersikap bermusuhan dengan pemberontak di Irian Jaya, dan tak bersikap bersahabat dengan siapapun." Okuk juga menanggapi satu soal yang sedang ramai di sana. Yakni nasib dua pemimpin OPM, Jakob Prai dan Otto Ondoame yang telah ditangkap di Vanimo, Sepik Barat akhir September lalu, dan kontan dijatuhi hukuman penjara dua bulan. Kesalahan mereka: masuk wilayah PNG secara tidak sah. Dan setelah hukuman itu selesai mereka jalani akhir tahun ini, pemerintah PNG bermaksud menyerahkan mereka kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Para Pengungsi. Pihak Oposisi, berniat menyediakan pengacara bagi kedua gembong OPM itu agar mereka dibolehkan mendapat suaka politik di PNG. Dan di kemudian hari, lewat proses naturalisasi, menjadi warganegara PNG. Pihak Indonesia kurang senang dengan perdebatan itu. Sebab seperti yang sudah dikemukakan oleh Sekretaris I KBRI di Port Moresby, Jusbeth Siregar, Jakarta menghendaki ekstradisi kedua tokoh pemberontak itu untuk diadili di Indonesia dengan tuduhan subversi. Menjawab pertanyaan TEMPO, Okuk menyatakan bahwa soal nasib kedua tokoh OPM itu terletak di tangan kedua pemerintah. Dengan catatan "Tentunya kita juga harus menghormati undang-undang dan peraturan PNG, dan juga peraturan PBB tentang pelarian politik." Itu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus