Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan sepanjang 2023 ada puluhan terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh pengadilan tingkat pertama. Jumlah ini diungkap dalam forum laporan tren vonis korupsi tahun 2023 yang dilaksanakan di Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin, 14 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan berdasarkan hasil pemantauan persidangan dari laman Direktori Putusan Mahkamah Agung terdapat 866 perkara yang disidangkan di pengadilan tingkat pertama dengan jumlah terdakwa 898 orang. "Vonis bebas dan lepas, tahun 2023 jumlahnya ada 59 orang, 49 diputus bebas, 11 diputus lepas," kata Kurnia dalam pemaparannya pada Senin, 14 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyebutkan pengadilan mana saja yang paling banyak menjatuhkan putusan bebas dan lepas pada terdakwa kasus korupsi. Pengadilan tersebut meliputi Pengadilan Negeri (PN) Makassar sebanyak 15 orang; PN Tanjung Pinang 9 orang; PN Pontianak 8 orang; PN Medan 6 orang; dan terakhir, PN Jayapura 3 orang.
Menurut Kurnia, banyaknya vonis bebas maupun lepas seharusnya menjadi perhatian bagi semua pihak, terutama lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial. Ia juga menyebut putusan bebas dan lepas ini bukan pertama kalinya ada, apalagi di Makassar. “Pengadilan ini memang sejak tahun-tahun sebelumnya kerap membebaskan pelaku korupsi,” ucap Kurnia.
Vonis Bermasalah
Dalam laporan yang sama, ICW juga menyoroti banyaknya vonis yang bermasalah. Kurnia menjelaskan biasanya tindak pidana korupsi itu akan dituntut dengan pasal 2 dan 3. Pasal 2 minimal tuntutan 4 tahun penjara. Sedangkan Pasal 3 memiliki hukuman yang lebih ringan, yaitu 1 tahun penjara. Dalam hal ini, Kurnia mengapresiasi kejaksaan yang lebih banyak menggunakan delik pasal 2, namun putusan hakim justru sebaliknya. “Bahwa majelis hakim lebih banyak menjatuhkan vonis dengan menggunakan Pasal 3 ketimbang Pasal 2," ujarnya.
Mengacu Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman, kata Kurnia, seharusnya kejahatan yang masyarakat sebagai korban langsung dalam praktik lancung tersebut dijatuhkan hukuman yang berat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Misalnya, Edward Seky dengan kerugian negara mencapai Rp 32,7 M, tapi dikenakan pasal 3 dengan vonis 2 tahun 9 bulan, Darwinis kerugian negara Rp 58 miliar dikenakan pasal 2 dengan vonis 3 tahun, dan Jusieandra Pribadi Pampang dengan kerugian negara Rp 48 miliar dan divonis 2,5 tahun.
“Vonis yang dijatuhkan majelis hakim praktis di bawah 5 tahun. Padahal, pasal yang dijadikan landasan putusan memungkinkan untuk menghukum berat mereka,” ucap Kurnia.
Selain vonis pidana, vonis uang pengganti juga banyak yang tidak sesuai. Kurnia menyebut berdasarkan pemantauan terhadap proses persidangan sepanjang 2023, jumlah kerugian negara mencapai Rp 56.075.087.787.308. Namun, jumlah uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa justru hanya sebesar Rp 7,3 triliun. Bahkan, kata dia, jumlah tersebut belum tentu bisa kembali kepada negara.
"Kenapa? Ada dua persoalan. Satu, problem eksekusi putusan yang seringkali tidak mudah. Kedua, soal switch hukuman ke pidana penjara pengganti," ucap kurnia. "Jadi angka ini belum tentu bisa dieksekusi langsung dan belum tentu Rp 7,3 triliun. Tapi, jumlah kerugian negara tidak mungkin berkurang, pasti Rp 56 triliun."
Kurnia menjelaskan dalam UU Tipikor pasal 18 mengatur tentang mekanisme penjatuhan pidana tambahan uang pengganti. Dari aturan itu, disebutkan bahwa terpidana diwajibkan membayar uang pengganti yang sebelumnya disebut hakim melalui putusan. Bila ternyata tidak mampu, maka harta kekayaanny baik yang terkait atau tidak terkait tindak pidana akan dirampas. Jika harta dirampas masih tidak menutup kerugian, maka bisa dijatuhi dengan penjara pengganti.
“Masalahnya, penjara pengganti tidak memberikan batas maksimal atau minimal tersendiri,” ucap Kurnia mempersoalkan banyaknya terpidana yang memilih penjara pengganti dibanding membayar kerugian.
Rata-rata tuntutan pidana penjara pengganti sepanjang persidangan tahun 2023 adalah 2 tahun 2 bulan penjara. “Tentu dari rendahnya rata-rata pidana penjara pengganti akan semakin sulit memaksa terpidana melunasi pembayaran uang pengganti,” ujar Kurnia.
ICW, kata dia, mendorong agar pemerintah dan DPR harus segera mengundangkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset agar pemulihan kerugian akibat praktik korupsi bisa dimaksimalkan. “Tolong disusun pemulihannya, tolong maksimalkan pelacakan asetnya, tolong maksimalkan lacak transaksi keuangannya, sehingga tidak menjadi tunggakan penegak hukum," ucap Kurnia.