Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERTAS di pintu ruang VVIP lantai lima Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, itu menghadang pengunjung. "Pasien perlu istirahat selama masa penyembuhan. Tidak menerima tamu," demikian tertulis. Jumat siang pekan lalu, Tempo mencoba mengetuk pintu kamar yang tak dilengkapi pegangan dari luar itu. Tak ada sahutan dari dalam.
Setelah menunggu beberapa saat, Tempo menjauhi kamar nomor 5401 itu. Tiba-tiba pintu kamar terkuak. Dari dalam, seorang perempuan paruh baya melongok. Tapi, ketika Tempo berbalik mendekat, perempuan itu kembali masuk dan menutup pintu. Beberapa kali diketuk, pintu tak bergerak. "Benar, itu ruang Pak Achmad Yamanie," kata petugas rumah sakit yang berdiri tak jauh dari kamar itu.
Rabu, 14 November lalu, hakim agung Achmad Yamanie mengajukan surat pengunduran diri kepada Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. Alasannya kesehatan. Ia terganggu penyakit sinusitis, vertigo, prostat, dan mag akut. Tapi, tiga hari kemudian, Mahkamah Agung mengumumkan alasan lain pengunduran diri Yamanie.
Menurut Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Djoko Sarwoko, Yamanie memang diminta mundur karena berperilaku tak profesional. Dia dianggap bersalah karena mengubah naskah putusan peninjauan kembali kasus Hanky Gunawan, terpidana kasus narkotik, tanpa persetujuan anggota majelis hakim lain.
Sejak pengunduran dirinya ramai diberitakan, Yamanie menjauh dari jangkauan orang ramai. Dia tak pernah muncul di kantor. Keluarganya pun sulit dicari. Sudah sebulan mereka meninggalkan rumah dinas di Blok D-5 Kaveling 2 Apartemen Kemayoran, Jakarta Pusat. Abdul Azis, petugas keamanan apartemen, mengatakan unit nomor 604 di lantai 6 Tower B, yang sebelumnya ditempati keluarga Yamanie, kini kosong melompong. "Kuncinya sudah dikembalikan ke pengelola," kata Azis, Jumat pekan lalu.
YAMANIE lahir di Birayang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, 67 tahun silam. Dia mengawali kariernya sebagai hakim di Pengadilan Dompu, Nusa Tenggara Barat, pada 1982. Setelah tiga tahun bertugas di Dompu, ia berpindah-pindah tempat. Yamanie pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau, dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur. Sebelum menjadi hakim agung, dia menjabat Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan.
Di Banjarmasin, keluarga Yamanie pernah tinggal di Jalan Wildan Sari II Nomor 12, Telaga Biru, Banjarmasin Barat. Tapi, sejak dilantik sebagai hakim agung pada April 2010, Yamanie boyongan ke Jakarta. Rumah keluarga di Telaga Biru kini sering ditempati putri sulung Yamanie, Yuli. Kebetulan, tak seperti tiga adiknya yang hijrah ke Jawa, Yuli memilih bekerja di Pemerintah Kota Madya Banjarmasin.
Yamanie hanya sesekali pulang ke Banjarmasin, misalnya pada libur panjang atau Lebaran. Karena jarang bersua, tetangga umumnya tak mengenal dekat Yamanie dan keluarganya. Kakak kandung Yamanie, Achmad Makkie, pun menyatakan sudah lama tak membicarakan urusan pribadi dan keluarga dengan sang adik. "Kami sejak kecil terpisah berjauhan," ujar Makkie, 74 tahun, yang tinggal tak jauh dari kompleks rumah lama Yamanie.
Meski Yamanie jarang pulang kampung, tetangga bisa menggambarkan dia sebagai orang yang ramah dan dermawan. "Dia sering menyumbang panti asuhan," kata Djainuddin, bekas ketua rukun tetangga di kompleks perumahan itu.
Baik budi di mata tetangga, Yamanie justru punya banyak catatan miring di lingkungan Mahkamah Agung. "Reputasinya kurang bagus," ujar Djoko Sarwoko pekan lalu. Sayangnya, Djoko tak bersedia berbicara terperinci. Dia hanya menuturkan sudah mendengar kabar sumbang sejak Yamanie menjadi Ketua Pengadilan Negeri Batam pada 2000.
Anehnya, karier Yamanie tak pernah terhambat. Djoko menyatakan terkejut ketika tahu Yamanie lolos seleksi hakim agung di Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketua Mahkamah Agung waktu itu, Harifin Tumpa, menurut Djoko, juga pernah mengutarakan keheranannya. "Kok, bisa orang seperti itu lolos?" kata Djoko, menirukan komentar Harifin.
Sumber Tempo di Mahkamah Agung menyebutkan bintang Yamanie terus bersinar karena dia dekat dengan salah satu pemimpin di Mahkamah Agung. Djoko tak membantah atau membenarkan. "Mungkin karena dia banyak zikirnya," ujar Djoko, berseloroh. Yang pasti, menurut Djoko, untuk mengurangi ruang gerak Yamanie, Harifin Tumpa pernah mencoret nama itu ketika masuk daftar calon hakim agung pidana korupsi.
Laporan ke Komisi Yudisial pun klop dengan bisik-bisik Djoko. Sejauh ini Komisi Yudisial sudah menerima 15 pengaduan soal sepak terjang Yamanie. Pengaduan itu antara lain terkait dengan kasus narkotik, penggelapan, dan suap. "Laporan itu sedang kami telusuri," kata Ketua Bidang Investigasi dan Pengawasan Hakim Komisi Yudisial Suparman Marzuki.
Belum genap tiga tahun menjadi hakim agung, Yamanie memang sudah menorehkan banyak putusan kontroversial. Kasus Hanky Gunawan hanya salah satunya. Pada 27 Mei 2011, sebagai ketua majelis hakim kasasi, Yamanie membebaskan Naga Sariawan Cipto Rimba alias Liong-Liong dari hukuman 17 tahun penjara. Liong-Liong divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Banjarmasin karena menerima paket sabu-sabu lebih dari 1 kilogram.
Tapi, di tingkat kasasi, Yamanie menerima bulat-bulat pembelaan pengacara bahwa Liong-Liong tak bersalah. Pembelaan tim pengacara antara lain: paket sabu-sabu terbuka ketika diterima, nama dan alamat tujuan paket berbeda dari identitas kliennya, serta catatan rekening bank Liong-Liong tak mencurigakan.
Setahun sebelumnya, Yamanie juga membebaskan terdakwa kasus narkotik, Ket San alias Chong Ket, dari hukuman empat tahun penjara. Alasannya, dua pengadilan di bawah Mahkamah Agung telah memvonis Ket San bersalah antara lain atas dasar kesaksian dua penyidik polisi. Menurut Yamanie dan kawan-kawan, kedua terdakwa kemungkinan besar telah menjadi korban proses hukum yang sarat rekayasa dan pemerasan.
Di luar kasus narkotik, pada 18 Oktober lalu, Yamanie kembali membuat putusan janggal. Dia menguatkan hukuman penjara seumur hidup atas Sun An dan Ang Ho. Kedua lelaki ini dituduh menjadi otak pembunuhan berencana Khowito alias Awie dan Dora Halim. Padahal polisi belum menangkap empat orang yang diduga membunuh pasangan suami-istri itu. Kepada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Sun An dan Ang Ho mengadu telah dipaksa mengakui perbuatan yang tak pernah mereka lakukan.
Sejauh ini Yamanie belum membela diri secara terbuka. Menurut orang kepercayaan Yamanie yang menolak disebut namanya, keluarga masih menyiapkan pembelaan dan mencari juru bicara yang pas. "Tunggu saja. Pada waktunya akan kami jelaskan," kata lelaki itu setelah menelepon Nugraha, putra bungsu Yamanie, di depan Tempo.
Jajang Jamaludin, Istman Musa Harun (Jakarta), Sandi F., Harie Insani (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo