Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ramalan Menjadi Negara Besar

25 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

* Destry Damayanti

Prediksi McKinsey Global Institute, September lalu, bahwa Indonesia akan menjadi negara nomor tujuh terbesar di dunia pada 2030, terdengar membanggakan. McKinsey menyebutkan Indonesia akan melampaui negara maju saat ini, seperti Jerman dan Inggris. Berdasarkan data IMF, ekonomi kita saat ini masih berada di urutan ke-16 di dunia.

OECD pernah pula memproyeksikan Indonesia akan menjadi negara terbesar kesepuluh pada 2025. Jumlah penduduk yang besar (keempat terbesar di dunia), tumbuhnya kelompok masyarakat kelas menengah yang mempunyai daya beli, dan cepatnya pertumbuhan daerah perkotaan merupakan sumber utama pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia 13-18 tahun mendatang.

Struktur demografi Indonesia pun tergolong sehat, yaitu terkonsentrasi pada usia produktif (15-60 tahun). Bandingkan dengan negara maju, yang umumnya didominasi penduduk usia tua. Di sini rasio ketergantungan penduduk usia tua terhadap usia muda bahkan terus menunjukkan penurunan hingga mencapai titik terendahnya pada 2030. Sehingga 18 tahun ke depan merupakan tahun emas bagi Indonesia karena momentum pertumbuhan ekonomi yang sangat baik.

Hingga kuartal ketiga 2012, Indonesia masih menunjukkan daya tahan yang kuat terhadap guncangan ekonomi global. Ekonomi masih tumbuh hingga 6,2 persen, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sedangkan dua raksasa ekonomi Asia—Cina dan India—mengalami perlambatan ekonomi yang sangat signifikan, menjadi 7,4 persen dan 5,4 persen dari sebelumnya 9,2 persen dan 7,1 persen pada 2011.

Tekanan ekonomi global memukul penerimaan ekspor mereka secara drastis, sementara perekonomian domestiknya tidak siap untuk menutupi pertumbuhan negatif di sektor eksternal. Buat India, tekanan inflasi dan defisit anggaran yang tinggi membatasi ruang gerak pemerintah dan bank sentral untuk memberikan stimulus pada perekonomian mereka.

Kondisi itu berbeda dengan Indonesia. Tekanan inflasi saat ini relatif rendah. Defisit anggaran terkendali, yaitu diperkirakan 1,65 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2013. Alhasil, Indonesia masih punya ruang gerak yang besar seandainya perekonomian menunjukkan perlambatan yang signifikan. Rasio utang pemerintah terhadap PDB pun terus mengalami penurunan menjadi 23 persen pada 2012 dari 39 persen pada 2006. Hal ini memungkinkan pemerintah mengoptimalkan sumber dana utangnya guna mendukung pembangunan ekonomi.

Kekuatan ekonomi domestik merupakan salah satu keunggulan Indonesia. Penopangnya adalah konsumsi masyarakat dan investasi hingga 87 persen dari PDB, yang hingga kuartal ketiga 2012 terus mengalami pertumbuhan pesat, di tengah melambatnya ekspor. Tahun ini ekonomi diperkirakan masih dapat tumbuh hingga 6,5 persen. Inflasi terkendali di level 5 persen. Suku bunga BI Rate tetap di tingkat 5,75 persen. Adapun nilai tukar rupiah berada di level 9.500-9.600.

Penanaman modal asing (PMA) pada kuartal ketiga 2012 mencapai nilai tertingginya, yaitu Rp 57 triliun, dengan penyebaran investasi yang merata di sektor industri, pertambangan, perdagangan, dan transportasi. Ekspansi bisnis yang dilakukan Toyota dan L'Oreal membuktikan potensi yang dimiliki Indonesia tidak hanya sebagai pasar, tapi juga sebagai basis produksi.

Di lingkungan ASEAN, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi stabil dalam lima tahun belakangan, yaitu sekitar 5,9 persen, melebihi Thailand yang hanya 2,6 persen. Ekonomi Indonesia sebesar US$ 895 miliar (2011) merupakan 39 persen dari total ekonomi ASEAN. Adapun jumlah penduduk 240 juta jiwa adalah 38 persen dari total populasi ASEAN.

OECD bahkan memperkirakan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk periode 2013-2017 mencapai 6,4 persen, di atas negara-negara ASEAN lainnya. Sebagai contoh, Filipina hanya 5,4 persen, Malaysia dan Thailand 5,1 persen. Tidak mengherankan bila dalam KTT ASEAN, yang berlangsung di Phnom Penh, Indonesia secara khusus ditunjuk sebagai ketua negosiasi dari ASEAN dalam kerangka Regional Comprehensive­ Economic Partnership (RCEP).

Kemitraan itu beranggotakan ASEAN dan enam negara lain, yaitu Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru, yang disebut Pakta ASEAN + 6. Pakta ini akan memainkan peran yang sangat penting bagi perekonomian dunia karena secara ekonomi mewakili 28 persen dari total PDB dunia sebesar US$ 70 triliun. Adapun jumlah penduduknya mencapai 50 persen dari 6,9 miliar jiwa penduduk dunia.

Posisi sebagai ketua tim negosiasi tentu sangat strategis bagi Indonesia. Penunjukan ini tampaknya lantaran mereka melihat potensi kita, yang pada tahun mendatang akan menjadi kekuatan dunia baru seperti diramalkan beberapa institusi asing.

Pertanyaannya, apakah ramalan McKinsey dan OECD untuk Indonesia pada 2025-2030 benar-benar dapat tercapai. Sebuah pelajaran dapat dipetik dari empat negara yang tergabung dalam BRIC (Brasil, Rusia, India, dan Cina). Pada 2001, Jim O'Neill memperkirakan mereka akan menjadi superpower dunia, ternyata perekonomian mereka saat ini dalam kondisi cukup sulit dengan tingkat inflasi yang tinggi.

Salah satu kelengahan mereka adalah kurang siap mengantisipasi cepatnya pertumbuhan ekonomi. Mereka juga kurang mendorong pertumbuhan di sektor lain, misalnya infrastruktur dan sumber daya manusia. Akibatnya, sisi pasokan ekonomi kurang dapat mengimbangi pertumbuhan di sisi permintaan.

Hal serupa dapat terjadi di Indonesia. Jangan sampai kepercayaan investor dan kinerja ekonomi yang baik membuat kita terlena. Pekerjaan rumah dan tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia, baik dari sisi pemerintah, pelaku bisnis, maupun masyarakat, mesti dikelola dengan baik. Beberapa potensi yang dimiliki Indonesia, jika tidak dimanfaatkan secara benar, justru akan menjadi masalah pada masa mendatang.

Berlimpahnya penduduk usia produktif hingga 2030, jika tidak diimbangi peningkatan pendidikan, produktivitas, dan sekaligus penciptaan lapangan kerja yang memadai, hanya akan mendorong tingginya angka pengangguran dan kriminalitas di Indonesia. Angkatan kerja Indonesia yang saat ini berjumlah 112 juta jiwa ternyata 67 persennya cuma berpendidikan SMP ke bawah. Demonstrasi buruh yang makin marak di Indonesia juga harus menjadi perhatian semua pihak. Jangan sampai penanganan masalah ini berlarut-larut sehingga merusak kepercayaan investor.

Lambannya perkembangan industri hilir sehingga menyebabkan perekonomian kita sangat bergantung pada bahan baku dan barang modal impor juga harus diatasi. Saat ini neraca pembayaran kita tertekan tiap kali terjadi ekspansi ekonomi, yang dicerminkan oleh meningkatnya investasi karena harus diimbangi dengan peningkatan impor.

Sedangkan ekspor terus mengalami perlambatan karena melemahnya permintaan global dan turunnya harga komoditas. Tidak mengherankan jika, sepanjang 2012, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sekitar 6 persen dibanding kurs akhir pada 2011, kendati aliran modal cukup deras masuk ke Indonesia.

Insentif pajak yang diberikan pemerintah terhadap beberapa industri strategis juga ternyata hanya menyentuh sebagian kecil pelaku bisnis. Penyebabnya adalah adanya persyaratan skala bisnis yang harus mencapai Rp 1 triliun dan mempekerjakan 500 pegawai.

Padahal hasil studi OECD (September 2012) menunjukkan bahwa 99 persen perusahaan di Indonesia ada di skala usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Maka perlu dipertimbangkan kembali bentuk insentif bagi pelaku bisnis UMKM sehingga dapat mempercepat tercapainya proses hilirisasi industri di Indonesia.

Akhirnya, masalah klise yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah pembangunan infrastruktur untuk memperbaiki konektivitas di Indonesia. Pertumbuhan investasi yang pesat tanpa diimbangi infrastruktur yang memadai hanya akan memicu terjadinya overheating ekonomi sehingga menciptakan ketidakstabilan ekonomi makro. Hambatan dalam pembebasan lahan harus menjadi perhatian pemerintah sehingga akselerasi pembangunan infrastruktur dapat mulai diwujudkan pada 2013.

Jika berbagai tantangan di atas dapat ditangani dengan baik, disertai pemanfaatan segala potensi yang ada, ruang bagi perekonomian Indonesia untuk tumbuh masih cukup besar. Prediksi McKinsey rasanya bukanlah isapan jempol belaka.

Namun kondisi ini harus ditopang pula oleh perilaku masyarakat untuk siap menerima perubahan menjadi masyarakat yang demokratis. Mereka harus saling menghargai kebebasan dan kepentingan orang lain, dan tidak memaksakan kehendak individual atau golongan.

*) Kepala Ekonom Bank Mandiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus