Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Catatan Transaksi Hari Pemilihan

Belasan politikus Senayan—baik terbuka maupun diam-diam—membuka kepada Tempo soal permainan politik uang pada saat pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan pemilihan Ketua Dewan. Mengarah ke Setya Novanto dan beberapa operatornya.

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RATUSAN orang tumpah-ruah di gedung pertemuan Grand Mutiara, pusat Kota Kupang, pada Kamis malam pekan lalu. Tokoh masyarakat, kepala-kepala dinas, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan politikus lokal memenuhi aula dua lantai gedung terbesar di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur itu. Mereka merayakan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019.

Setya adalah Bendahara Umum Partai Golkar yang menjadi legislator mewakili daerah pemilihan itu. Kepada wartawan, ia mengatakan acara syukuran itu tak hanya digelar di Kupang. Sebelum resepsi tersebut, ia berkeliling ke banyak tempat, antara lain Keuskupan Gereja Katolik Kupang, Taman Ziarah Yesus Maria Oebelo, dan peternakan di Amfoang, yang berjarak 150 kilometer dari Kupang. "Nusa Tenggara Timur akan saya jadikan gudang ternak," ujarnya.

Kunjungan Setya ke daerah pemilihannya tak berjalan sesuai dengan rencana. Dari jadwal kepulangan hari Ahad, ia mempercepatnya menjadi Jumat pagi karena dipanggil pulang untuk rapat pimpinan DPR. Hingga pekan lalu, Senayan masih terbelah ke dua koalisi. Politikus partai penyokong pemerintah, yang tak kebagian kursi kepemimpinan di Dewan, mengajukan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan Setya Novanto. Mereka memilih Ketua DPR baru dan menyelenggarakan rapat paripurna sendiri.

Kisruh itu tak lain buntut pertentangan kedua kubu. Sejak Joko Widodo dikukuhkan sebagai presiden, politikus partai pendukung Prabowo Subianto berusaha menguasai legislatif. Mereka mengubah tata cara pemilihan Ketua DPR, yang sebelumnya merupakan jatah partai terbesar. Tahun ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai asal Jokowi, membukukan suara paling banyak.

Sukses dengan revisi aturan itu, langkah politik yang dimotori Golkar berikutnya mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah agar birokrasi di kabupaten dan kota dikuasai politikus yang berasal dari koalisi ini. Golkar menjadi komandan Koalisi Merah Putih, yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional, plus Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian terbelah.

Partai Demokrat waktu itu menyatakan netral dari dua pilihan yang tersedia: setuju pemilihan kepala daerah langsung yang diusung PDI Perjuangan, Hanura, dan Partai Kebangkitan Bangsa atau pro-pemilihan kembali ke parlemen daerah. Dengan 148 kursi periode 2009-2014, Demokrat menjadi penentu opsi mana yang akan dipilih.

Ketika bertemu dengan Tempo, sepekan sebelum voting pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada 26 September lalu, Setya mengaku cemas terhadap sikap Demokrat yang maju-mundur. Karena itu, ia gencar melobi untuk memastikan mereka berada di pihaknya. "Saya hitung waktu itu, tanpa Demokrat, kami kalah telak," katanya pekan lalu.

Sepanjang akhir September itu, Setya, yang menjadi Ketua Fraksi Golkar, aktif menggalang dukungan. Dua hal dilakukan sekaligus: mengamankan misi pada pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan menyiapkan jalan untuk pencalonannya menjadi Ketua Dewan. Ia antara lain mendekati Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Assegaf.

Melalui penyokongnya, sejumlah politikus Golkar, Setya juga melobi politikus Demokrat lain agar tak menghadiri rapat paripurna itu. "Beberapa orang Golkar menghubungi saya agar tak datang," ujar Ajeng Ratna Sumirat, politikus Demokrat dari Jawa Barat, yang tak terpilih kembali. "Kalaupun kami datang, mereka minta kami tak mendukung pemilihan langsung."

Menurut Ratna, ajakan Golkar tersebut disertai iming-iming imbalan uang yang disebut sebagai "penghargaan". "Politikus lain juga banyak yang ditawari. Dan itu biasa di DPR," katanya Kamis pekan lalu. Ratna mengatakan tidak menerima uang itu. "Kepada saya, mereka hanya mengajak, lagi pula untuk apa uang sebesar itu?" ujarnya.

Belasan politikus lain yang diwawancarai Tempo mengkonfirmasi cerita Ratna. Menurut mereka, ada dua modus Setya dan orang-orangnya untuk mempengaruhi politikus lain agar menang dalam voting pengesahan aturan pemilihan kepala daerah. Mereka yang sudah pasti menolak pemilihan langsung didorong datang ke rapat paripurna dengan imbalan Rp 50 juta per orang. Sedangkan yang mendukung pemilihan langsung, karena satu kubu dengan PDI Perjuangan, dilobi agar absen pada saat pemungutan suara. Imbalannya Rp 150 juta per orang.

Di Golkar sendiri ada sebelas politikus yang bergabung dengan koalisi PDI Perjuangan. Mereka pendukung Jokowi dalam pemilihan presiden. Inilah yang membuat Setya cemas suara penentang di partai sendiri bisa menggelinding mempengaruhi yang lain. Agar suara mereka tak menambah jumlah pendukung pemilihan langsung, Setya meminta mereka tak hadir.

Tiga dari sebelas politikus Golkar pendukung Jokowi itu kemudian dipecat dari partai. Mereka adalah Poempida Hidayatullah, Nusron Wahid, dan Agus Gumiwang Kartasasmita. Mereka tidak membenarkan atau menolak cerita tentang pendekatan Setya sebelum rapat paripurna aturan pemilihan kepala daerah. "Saya tak mau berkomentar," kata Zainuddin Amali, Ketua Golkar Jawa Timur, yang mendukung pemilihan langsung.

Adapun mereka yang berada di kubu pemilihan tak langsung diminta datang ke rapat paripurna. "Ada telepon dan pesan dari sekretariat fraksi," ujar Tubagus Ace, anggota Komisi Agama. "Soal imbalan uang, saya mendengar, tapi tak tahu persis karena sedang di Mekah mengawasi haji."

Untuk "menggerpol" politikus DPR agar berkongsi dengan Golkar, Setya meminta bantuan ketua-ketua kelompok fraksinya yang berada di sebelas komisi. Ia sendiri yang menghubungi mereka. Sayed Fuad Zakaria, Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Komisi Agama, membenarkan dihubungi Setya tiga hari sebelum rapat paripurna. "Saya kirim doa saja karena sedang di Mekah," katanya.

Transaksi pemberian uang dilakukan di banyak tempat: di Hotel Mulia, Hotel Sultan, Pacific Place, bertahap ataupun gelondongan. Seorang politikus Golkar bercerita, untuk partainya, uang diberikan dalam dua tahap: Rp 25 juta sebelum rapat paripurna dan Rp 25 juta setelah rapat sebagai imbalan kedatangan. "Tempat transaksi diserahkan kepada penerima, di mana mereka inginkan," ujar politikus tersebut.

Orang-orang Golkar menunjuk Roem Kono dan Robert Kardinal sebagai operator lapangan bagi Setya Novanto dalam mengalirkan uang tersebut. Setya tak menyangkal dekat dengan keduanya. Namun baik Robert maupun Roem menyangkal ada bagi-bagi uang ke politikus separtainya ataupun kepada politikus partai lain. "Duit dari mana? Memangnya Sinterklas? Kalau makan-makan, memang ada," kata Roem, Wakil Sekretaris Jenderal Golkar.

Nusron, Poempida, Zainuddin, dan Agus Gumiwang menolak ajakan Setya dan orang-orangnya. Mereka tetap hadir dan bergabung dengan tujuh politikus Golkar yang memberikan suara mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung. Dalam voting tersebut, Partai Demokrat meninggalkan ruang sidang. Walhasil, koalisi PDI Perjuangan kalah 91 suara karena hanya membukukan 135. Dengan hasil itu, pemilihan kepala daerah kembali ke zaman sebelum reformasi: dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah—walau kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganulirnya dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Setya Novanto menampik kabar bahwa ia ikut merencanakan keluarnya anggota Demokrat sehingga Koalisi Merah Putih memenangi voting pemilihan kepala daerah. Menurut dia, pemberian uang kepada politikus lain agar tak mengikuti rapat paripurna hanya rumor. "Dua ratus juta itu besar sekali," ujarnya. "Terus terang, saya juga terkejut dengan walkout Demokrat."

* * * *

SUKSES mengamankan pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah membuat Setya Novanto memiliki portofolio mensolidkan konsolidasi. Ia melanjutkannya dengan membersihkan jalan untuk pencalonannya sebagai Ketua DPR. Langkah pertama: mendapatkan tiket resmi dari partainya sendiri.

Pada 26 September 2014, Partai Golkar menggelar rapat pleno di markasnya di Slipi, Jakarta Barat. Ketua Umum Aburizal Bakrie memimpin pertemuan, didampingi Sekretaris Jenderal Idrus Marham, yang dihadiri separuh anggota Dewan Pengurus Pusat Golkar, yang berjumlah 300. Agendanya memutuskan calon Ketua DPR dari partai tersebut.

Beberapa hari sebelum rapat pleno, sudah beredar nama-nama yang layak dicalonkan Golkar memimpin parlemen. Setya bersaing dengan Ade Komarudin dan Fadel Muhammad. Muncul pula dukungan untuk Airlangga Hartarto. Agar pencalonannya lancar, menurut seorang politikus senior partai beringin, "Sebelum rapat itu, ada lobi-lobi di toilet."

"Lobi toilet" adalah istilah di kalangan politikus Golkar untuk menyebut pergerakan kaki tangan Setya Novanto, seperti Roem dan Robert, mempengaruhi suara pleno agar banyak yang mendukungnya. Uang yang dijanjikan antara Rp 150 juta dan Rp 200 juta. Salah satu yang dilobi adalah Leo Nababan, anggota staf khusus Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Di Golkar, Agung kerap berseberangan dengan Aburizal, yang satu kubu dengan Setya.

Roem dan Robert menyangkal cerita itu. Sama seperti Roem, Robert mengatakan tak mungkin menggerojoki teman-temannya sendiri untuk mendukung Setya di pleno. "Saya pastikan tak ada ajakan dan pemberian uang, baik di pemilihan kepala daerah maupun pemilihan Ketua DPR," kata Bendahara Fraksi Golkar ini. "Bertemu di toilet itu karena mau kencing," Roem menimpali.

Dalam catatan rapat, ada 22 orang yang mengajukan pendapatnya dan menyorongkan nama politikus Golkar yang layak menduduki kursi tertinggi di Senayan itu. Setelah penghitungan, ada empat nama yang menonjol: sepuluh orang menyebut nama Setya Novanto, enam orang menginginkan Ade Komarudin, dua orang mengusung Airlangga Hartarto, dan sisanya Fadel Muhammad. "Saya satu-satunya yang berbicara dua kali mengajukan Setya," ujar Leo.

Para pengusung nama-nama itu berdebat tentang kelebihan dan kekurangan para calon. Karena perdebatan empat jam tak kunjung mencapai kata sepakat, Aburizal meminta peserta menyandarkan keputusan kepada hasil Rapat Pimpinan Nasional Golkar pada November 2013. Dalam lampiran keputusan nomor 02/Rapimnas-V/Golkar/XI/2013 itu disebutkan pencalonan Ketua DPR dari Golkar ditentukan melalui musyawarah mufakat rapat pleno dewan pimpinan pusat. Jika mufakat tak tercapai, keputusan diserahkan kepada ketua umum.

Aburizal kemudian memilih Setya. Alasannya persis dengan yang disampaikan Leo Nababan. "Dia berpengalaman, dia juga gesit, pandai berkomunikasi, dan dekat dengan banyak orang," kata Aburizal. Nama-nama rival Setya yang muncul dalam bursa pencalonan akan ditempatkan terhormat di partai. Ade Komarudin kini menjadi Ketua Fraksi di DPR. Fadel Muhammad digadang-gadang menjadi Ketua Mahkamah Kehormatan DPR.

Restu Aburizal sebenarnya hanya persoalan kecil bagi Setya Novanto. Ia telah digadang-gadang menjadi Ketua DPR oleh partai-partai yang berada dalam koalisi oposisi pemerintah. PAN, PKS, Gerindra, dan PPP sudah setuju jauh-jauh hari menyokong Setya jika pemilihan itu dilakukan secara voting. Wakil-wakil partai itu akan menduduki kursi Wakil Ketua DPR.

Masalahnya, terjadi perubahan arah angin menjelang pemilihan Ketua DPR pada 2 Oktober lalu. Lobi koalisi Jokowi di luar parlemen untuk merangkul Partai Demokrat kembali gagal meski Ketua Fraksi PDI Perjuangan Puan Maharani sudah bertemu dengan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Demokrat malah bergabung dengan Golkar dengan jatah wakil ketua. Masuknya Demokrat membuat PPP terpental.

PPP mengancam akan bergabung dengan koalisi PDI Perjuangan. Tanpa dukungan PPP, suara koalisi Golkar belum cukup aman buat mengusung Setya. Lobi-lobi pun digencarkan. Beberapa politikus Golkar bercerita, Roem Kono dan Robert bertemu dengan petinggi PPP di ruang privat lantai 6 Pacific Place. Dua politikus menyebutkan ada transaksi senilai US$ 3 juta atau Rp 30 miliar lebih pada pertemuan itu. "Waduh, waduh, dari mana saya punya uang sebanyak itu?" kata Setya ketika dimintai konfirmasi.

Karena PPP terbelah menjadi kubu Ketua Umum Suryadharma Ali dan kubu Sekretaris Jenderal Romahurmuziy, menurut kolega-koleganya di Golkar, kubu Setya membagi dana dalam jumlah yang sama. "Kabar menggelikan," ujar Romahurmuziy, yang kini menjadi Ketua Umum PPP, tentang informasi itu. "Saya akan memakai kabar ini untuk menagih ke Setya Novanto."

Dalam pemilihan paripurna itu, PPP meminta sidang diskors dan berencana menyeberang ke kubu PDI Perjuangan. Namun, saat sidang kembali digelar, mereka sepakat memilih paket yang diajukan Golkar: Ketua Setya Novanto, Wakil Ketua Agus Hermanto dari Demokrat, Fahri Hamzah dari PKS, Taufik Kurniawan dari PAN, dan Fadli Zon dari Gerindra.

Tak jelas dari mana penggantian uang yang sudah begitu banyak dikeluarkan Setya Novanto. Namun Roem, yang ditunjuk Setya sebagai Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR, tiba-tiba mengaktifkan kembali rencana pembangunan gedung baru DPR. Proyek bernilai Rp 1,8 triliun itu dibatalkan atas desakan publik pada 2011.

Roem Kono memberi alasan tentang perlunya membangun gedung baru: "Dengan ruang kerja ukuran 7 x 4 meter, terlalu sempit jika kami menerima tamu."

Bagja Hidayat, I Wayan Agus Purnomo, Rusman Paraqbueq, Tika Primandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus