Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Mati, Jabbari Ingin Abadi

Tujuh tahun lamanya mendekam di penjara, Reyhaneh Jabbari dieksekusi di tiang gantungan. Ketika berusia 19 tahun, dia membunuh orang yang berusaha memerkosanya.

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya tidak ingin membusuk di dalam tanah. Saya tidak mau mata atau jantung saya yang sehat menjadi serpihan tanah. Saya mohon, setelah saya digantung, sumbangkanlah jantung, ginjal, mata, tulang, atau apa pun bagian tubuh saya yang bisa ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkan. Itu hadiah dari saya. Saya tidak mau mereka tahu nama saya, memberi saya karangan bunga, atau mendoakan saya. Saya tidak ingin Ibu mendatangi kuburan saya untuk berduka. Saya tidak ingin Ibu mengenakan baju hitam."

Itu kutipan surat perpisahan Reyhaneh Jabbari kepada ibunya yang disebarluaskan oleh para aktivis hak asasi manusia setelah perempuan 26 tahun itu dihukum gantung, Sabtu dua pekan lalu. Jabbari sebelumnya harus tujuh tahun mendekam di penjara Shahr-e Ray, kota di selatan Teheran, Iran, dengan tuduhan sengaja membunuh dokter, bekas pejabat intelijen, Morteza Abdolali Sarbandi, pada 7 Juli 2007. Padahal Sarbandi berusaha memerkosa Jabbari. Gadis yang ketika itu masih 19 tahun tersebut menusuk si pria 47 tahun dengan pisau lipat demi membela diri.

Menurut beberapa media Iran, Jabbari, seorang desainer interior (penata ruang), diajak berbicara oleh Sarbandi soal renovasi kantornya. Itulah yang membuat Jabbari ke apartemen Sarbandi pada hari nahas itu. Dalam persidangan pada 2009, Jabbari mengaku membunuh Sarbandi, meski demi membela diri.

Pengadilan tak mempercayai pembelaannya. Bahkan, hingga proses di Mahkamah Agung, Jabbari tetap dituduh sebagai pelaku pembunuhan berencana. Dalam pernyataan kantor kejaksaan yang dirilis setelah eksekusi disebutkan, Jabbari sudah membawa pisau ketika bertemu dengan Sarbandi. Ia menikamnya dari belakang. Tindakan ini merupakan bukti bahwa ia memang sudah berniat membunuh. Jabbari juga dinyatakan mengirim pesan pendek kepada temannya. Isinya: "Saya akan membunuh malam ini."

Upaya di luar jalur pengadilan yang bisa membatalkan hukuman gantung, dengan meminta maaf kepada keluarga Sarbandi, juga dilakukan, tapi gagal. Campur tangan pemerintah sebagai akibat tekanan yang kuat pun mendapati pintu tertutup. Menurut kantor kejaksaan Teheran, Jabbari digantung dengan hukum "mata dibayar dengan mata" karena keluarga Sarbandi tak memberi ampunan.

Hukuman mati atas Jabbari menambah panjang daftar orang yang dihukum mati di Iran. Menurut pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk hak asasi manusia di Iran, Ahmed Shaheed, sejak Juli 2013 hingga Juni 2014, setidaknya 852 orang dilaporkan dieksekusi di Iran. "Hukuman atas Jabbari merupakan noda darah lain pada catatan hak asasi manusia Iran," kata Deputi Direktur Amnesty International Program Timur Tengah dan Afrika Utara Hassiba Hadj Sahraoui.

Banyak orang mengutuk penggantungan Jabbari karena proses penyelidikan yang dianggap tak benar. Protes keras tak hanya terjadi di Iran. Masyarakat internasional juga ikut kampanye untuk membebaskan Jabbari dari hukuman mati. Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Hak Asasi Manusia menyatakan pengakuan Jabbari muncul karena di bawah ancaman penyiksaan. "Sekali lagi, Iran berkeras menghukum mati seseorang meski ada kekhawatiran soal kejujuran pengadilan," ujar Sahraoui.

Dan, dalam suratnya kepada ibunya, Jabbari menjelaskan mengapa dia harus membela diri.

"Dunia telah memberi saya 19 tahun untuk hidup. Pada malam jahanam itu, saya seharusnya sudah terbunuh dan mayat saya yang dibuang ditemukan di sudut kota..., kemudian diketahui bahwa saya korban pemerkosaan. Namun si pembunuh tidak akan pernah dihukum karena kita tak memiliki kekayaan dan kekuasaan seperti mereka. Hingga kemudian Ibu akan hidup dalam penderitaan dan ditimbun rasa malu. Ibu tahu lebih baik bahwa kematian bukan akhir dari kehidupan. Biarkan angin yang membawaku pergi."

Purwani Diyah Prabandari (New York Times, The Telegraph, Al Jazeera)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus