Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalian ini rombongan teraneh yang pernah melintasi padang ini, Tuan-tuan," kata Fielder sambil mendekati mereka. "Belum pernah sebelumnya, ada dua manusia, satu Dwarf, satu Elf membawa senjata lengkap dan menunggang kuda melintasi daerah ini. Kalian belum mengungkapkan apa niat dan tujuan kalian."
- Misteri Pedang Skinheald II, hlm. 149
Masih teringat kejadian dua tahun lalu. Anak kecil itu tersipu-sipu ketika Tempo menunggu di rumahnya.
"Maaf, Om, tadi acara mendadak di sekolah. Jadinya terlambat pulang."
Sekarang ia kelas 3 SMP. Umurnya 14 tahun. Badannya masih ceking. Tingginya masih sekitar 130 cm. Berat badannya 30 kg. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya terlihat kedodoran. Bila ia mengenakan topi, seolah mukanya terbenam. Dan jika ia mencangklong tas punggung, tas itu tampak masih lebih besar dari tubuhnya.
Namanya Ataka. Lengkapnya Ahmad Ataka Awwalur Rizqi, dan ia tak seperti anak yang memiliki fantasi tinggi. Tapi ketika duduk di kelas satu SMP ia mengejutkan dunia perbukuan Yogya. Ia meluncurkan novel fantasi Misteri Pedang Skinheald: Sang Pembuka Segel. Kisahnya tentang seorang bekas guru biologi sekolah pertanian di Desa Burton bernama Robin yang memimpin sekawanan manusia, kurcaci, dan peri yang mencari tahu keberadaan sebuah pedang misterius.
Ataka ingin membuat trilogi. Dan kini bagian kedua telah terbit. Tebalnya 660 halaman! Bahkan bagi mereka yang merasa profesional di dunia tulis-menulis pun, novel itu mencengangkan.
Percakapan di atas adalah petilan ketika lima sekawan ciptaan Ataka itu saat mengembara melewati kawasan-kawasan berbahaya. Salah satunya wilayah kaum Fielder. Mereka ini ras yang masih buas, sehari-hari berbaju kulit binatang dan tak tahu memihak siapa, membuat Robin dan kawan-kawan harus hati-hati.
"Sebetulnya saya sudah berhenti percaya pada keajaiban di dunia tulis-menulis. Namun, Ataka ini lain," kata Arswendo Atmowiloto memuji buku kedua: Misteri Pedang Skinheald II: Awal Petualangan Besar, dalam diskusi di sebuah kafe di Jakarta.
Siswa SMPN 5 Yogyakarta ini belum pernah ke Eropa. Ia menciptakan sebuah benua antah-berantah yang bernuansa Eropa. Sebuah benua bernama Ethav Andurin yang masih dihuni berbagai ras manusia, makhluk setengah manusia, monster-monster, dengan wilayahnya masing-masing. Tiap kawasan memiliki keistimewaannya. Ada kota penuh mercusuar, ada yang mempunyai pelabuhan begitu cantik. Penduduk benua Andurin pun amat berlainan adab, dari yang memiliki tradisi menulis buku sampai bermain musik.
"Untuk novel kedua ini saya terpengaruh Narnia karya C.S. Lewis," kata Ataka.
Gagasannya memang sangat terpengaruh oleh cerita fantasi semacam Lord of The Ring atau Eragon.Tapi yang mengagumkan, untuk anak sekecil dia, adalah kemampuan berceritanya. Lancar, dialog-dialognya hidup. Kalimat langsungnya lincah dan daya tahannya luar biasa. Antara bab satu dan lain, ia mampu menjaga suspens dan bak pelari maraton ia sama sekali tidak terlihat ngos-ngosan.
Cara Ataka melukiskan suasana lumayan detail, terutama apabila tokohnya memasuki sebuah wilayah tertentu. Sangat deskriptif, tak ubahnya sebuah reportase:
"Daerah di depannya sangat gersang dan tandus. Hanya beberapa tumbuhan yang tumbuh di dekat mereka. Kebanyakan kaktus. Di sebelah timur tampak membentang padang lebih luas lagi, sampai-sampai Robin tidak bisa membedakan dengan padang di depannya. Kemudian menoleh ke barat, ia semakin terkejut. Sejauh mata memandang, kira-kira setengah mil ke barat, pemandangannya sangat monoton.
"Bahasa Indonesia Ataka sangat baik, bersih, mengejutkan sekali, apalagi untuk anak seumuran dia," kata Nirwan Dewanto, penulis. Maksud Nirwan adalah Ataka menulis dengan bahasa Indonesia yang tanpa dialek. Menurut dia, ini sebuah anomali mengingat kondisi dunia pendidikan di sekolah maupun lingkungan pergaulan Jakarta dan Yogya dipenuhi bahasa lisan. Apalagi, bila karya Ataka dibandingkan dengan penulis sebayanya yang banyak menulis chicklit dan teenlit. "Menurut saya, gaya bahasa chicklit adalah gaya bahasa lisan dalam bentuk tulisan," kata Nirwan.
Akan halnya Arswendo, ia melihat Ataka pada beberapa adegan menampilkan kalimat-kalimat dengan mutu yang hanya mungkin dilakukan taraf orang dewasa. "Bila kekuatan itu disadari dan dipertahankan oleh Ataka, luar biasa sekali." Arswendo kagum sekali, misalnya, pada kemampuan Ataka menulis dengan menggunakan anak kalimat yang panjang.
Apakah editor buku Ataka berperan sangat besar dalam cara ungkap Ataka ini? "Saya sama sekali tak menambah-nambah cerita atau mengubah gaya berbahasa Ataka," kata Faiz Ahsoul, yang menjadi editor novel kedua Ataka.
Ataka adalah bagian dari gelombang munculnya novelis-novelis cilik. Sekonyong-konyong di Jakarta, Bandung, Yogya kini lahir buku-buku fiksi dari penulis-penulis yang masih duduk di bangku SMP bahkan SD. Ataka salah satu yang melesat-mungkin ia yang paling berbinar.
Ia datang bukan dari keluarga pengarang. Rumahnya di bilangan perkampungan di Yogya, tepatnya di Jalan Turonggo No. 27, Pakuncen, Kecamatan Wirobrajan. Sebagaimana lazimnya anak-anak, ia suka badminton atau sepak bola. Tiap hari ia ke sekolah diantar-jemput dengan sepeda motor oleh Wargianto, orang suruhan ayahnya. Pulang sekolah ia tidur. Sorenya, ia bermain dengan kedua adiknya, Atya Sarah Faudina (kelas 3 SD) dan Nawa Bintang Jagadraya (3 tahun). Ia suka meladeni adik bungsunya itu bermain perang-perangan di teras rumah.
"Meski tubuhnya kecil, ia bisa diterima oleh teman-temannya yang bertubuh besar. Itu karena Ataka periang," tutur Yosepha Niken Sasati, guru bahasa Indonesia Ataka. Pada Sabtu dan Minggu, barulah biasanya Ataka berkutat dengan komputernya. Sejak November 2006 ia memiliki laptop sendiri, hadiah sebagai juara kedua Olimpiade Fisika di Semarang. "Hadiahnya Rp 4 juta, harga laptop Rp 6,95 juta. Kekurangannya ditomboki Abi (ayah-Red.)," kata Ataka.
Di pojok kamarnya yang rapi tampak dua rak buku besar yang penuh dengan koleksi buku. Terlihat deretan novel Pramoedya. "Saya sudah baca Arus Balik," katanya. Minat bacanya memang besar. Uang hasil royalti digunakannya untuk membeli buku. "Dahulu saya harus keluar Rp 300 ribu setiap bulan untuk membelikan buku. Itu berat bagi ukuran gaji saya," kata Taufiqurrahman, ayah Ataka yang pegawai sebuah lembaga swadaya masyarakat di Yogya.
Saat duduk di kelas 3 SD, ia sudah gemar melahap kisah Detektif Conan. Menginjak kelas 4 SD ia mulai tertarik pada Harry Potter. Ia minta dibelikan, tapi orang tuanya tidak langsung menyanggupi. "Pikiran saya sederhana, selain bukunya tebal, juga tidak ada gambarnya," kata Taufiqurrahman. Sang ayah tak percaya anaknya bisa memahami Harry Potter. "Setelah saya tes, ia ternyata bisa menceritakan dengan runtut."
Ataka sendiri mengaku ia mulai merencanakan triloginya saat kelas 6 SD. Ia menulis di atas kertas-kertas lepas. Suatu hari, saat ibunya membersihkan kamar, sang ibu menemukan gulungan-gulungan kertas yang diikat karet gelang. Ia terus membuangnya ke gudang ."Waktu itu saya mengira sudah nggak kepakai, wong kertasnya sudah lecek, sobek sana-sini," kata Nur Hilawa. Ataka mengamuk, mencari "harta karunnya" itu. Orang tua Ataka sempat curiga apa yang ditulis di atas kertas itu, karena Ataka tak membolehkan itu dibaca orang lain. "Jangan-jangan, Ataka membuat catatan yang nggak-nggak," kata Taufiqqurahman. Suatu malam, ketika Ataka tertidur, ia menyuruh istrinya memeriksa isi gulungan itu.
Setelah tahu isinya, suatu kali, ayah Ataka, mengundang Faiz Ahsoul, aktivis pada Akademi Kebudayaan Yogya, sebuah komunitas penulis muda Yogya, ke rumahnya. Ia meminta Ataka memperlihatkan "perkamen-perkamen rahasianya" kepada Faiz. Membacanya, Faiz terdiam, dalam hati terheran-heran dan membatin: "Dari mana pengetahuan fiksi fantasi anak ini?" Ia lalu menyarankan agar semuanya itu diketik di komputer. Saat itu Ataka belum memiliki komputer.
Lama tak bertemu, Faiz mendengar kabar bahwa novel Ataka telah rampung. Ia kaget, mencarikan penerbit, dan jadilah Misteri Pedang Skinheald jilid I, diterbitkan Alenia (2005). Faiz tambah terhenyak, ternyata Ataka juga sudah memiliki novel lain. Kisah detektif yang berlatar sekolah SMPN 5 Yogya yang membongkar kasus pembunuhan di sekolah mereka sendiri. Gang detektif ini berinisial A3R yang tak lain singkatan nama Ataka sendiri: Ahmad Ataka Awwalur Rizqi. Novel ala Sherlock Holmes kemudian terbit dengan judul Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter (Liliput 2005).
Sebagai editor untuk novel Misteri Pedang Skinheald jilid 2 ini Faiz sama sekali tak ingin campur tangan masalah tema. Ia hanya ingin memberikan stimulus kreatif. Sering dengan vespanya ia membonceng Ataka menuju daerah Babarsari untuk memancing sembari mengobrol secara umum. Ia tahu, wisata Ataka dan ayahnya dari Banyuwangi ke Madura membuat imajinasi Ataka tentang pulau-pulau meletup. Dari acara memancing di sungai, Ataka mendapat ide tentang "sungai tak bernama".
Ataka sendiri untuk keperluan memperkaya ide sering melakukan riset di Google atau Buku Pintar. "Saya juga membaca Ensiklopedia Encarta versi soft," kata Ataka. Yang lucu, karakter tokoh juga bisa diambil dari teman-temannya, misalnya di buku ada tokoh si kembar Ony dan Adi. "Itu karakternya dari teman saya Koko dan Kiki yang juga kembar."
Bila merasa mandek menulis, kadang-kadang Ataka datang ke kos Faiz di bilangan Gejayan untuk meminjam buku. Faiz lalu memilihkan buku yang bisa melecut fantasi Ataka. Sebagai editor, yang terutama diperiksa Faiz adalah logika. Misalnya ada adegan musuh Robin dikalahkan dengan tusukan di wilayah perut. "Ditusuk perut kan tidak mematikan." Ia lalu meminta Ataka agar lebih mengenali anatomi tubuh.
Setelah Misteri Pedang Skinheald jilid 2 itu sampai bab 10, Faiz mengumpulkan teman-temannya untuk bertemu dan berdiskusi dengan Ataka. Mereka adalah aktivis penerbitan di Yogya dan juga aktivis kebudayaan seperti Antariksa yang dikenal luas sebagai peneliti studi kebudayaan. Efek diskusi membuat kreativitas Ataka makin tak terbendung. Dari yang direncanakan sekitar 15 bab menjadi 18 bab.
"Ataka ini masih dalam perkembangan. Kita tunggu perkembangan selanjutnya," kata Nirwan Dewanto. Dr Murti Bunanta, pengamat buku anak, melihat yang penting pada diri Ataka (dan penulis cilik lainnya) adalah agar setelah dewasa kreativitasnya tidak mandek. "Kita memiliki pelukis-pelukis cilik yang menang lomba gambar di tingkat Asia, tapi setelah besar mereka malah menghilang."
Banyak yang berharap Ataka membikin novel dengan latar lokal, termasuk guru sastra sekolahnya, Niken Sasanti. Sesungguhnya Ataka telah menyiapkan dua novel berbau lokal: Kenangan di Bumi Rencong dan Bulan Sabit di Langit Parang Tritis. Semula ia berencana menulis satu novel, bercerita tentang seorang korban tsunami yang dibawa ke Yogya untuk pemulihan. Tapi saat di Yogya terjadi gempa, ia mengalami trauma lagi. Lalu editor menyarankan untuk menjadikannya dua buah novel. "Saya agak kesulitan mencoba menulis fiksi sosial tentang Aceh. Saya butuh adaptasi dari buku-buku fantasi ke buku-buku sosial," ujar Ataka.
Sebelum menyelesaikan SMP-nya, kini Ataka berniat menyelesaikan Misteri Pedang Skinheald III. Menurut sang ayah, ada penerbit besar di Jakarta yang mau menerbitkan bakal novelnya itu dengan iming-iming peluncuran novelnya bersama artis.
Di akhir kisah Pedang Skinheald II, Robin berhasil mendapatkan sang pedang. Ia meraih gagangnya. Tersibaklah kepenatan yang selama ini menderanya sampai ke mimpi, yang dengan sangat puitis dilukiskan Ataka seperti ini:
"Robin bermimpi tentang sesuatu yang aneh. Ia merasa bisa mendengar ombak laut yang dahsyat. Lalu, muncul pemandangan indah tentang laut dengan ombaknya yang bergulung-gulung dan gugusan pulau di depannya. Lalu, ia melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya sejak lahir. Sesuatu itu menyentuh pipinya. Rasanya dingin seperti es, tapi, berbentuk butiran-butiran kecil: salju."
Kita tunggu kejutan selanjutnya si ceking dari Yogya ini.
Seno Joko Suyono (Jakarta) dan Heru Catur Nugroho (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo