Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Hai, aku Yulia! Memang betul, aku primadona balet. Itu karena ibuku, Charllote Damastus, primadona balet terkenal seluruh Paris. Rambutku pirang keemasan....”
Begitu Yulia Damastus, balerina belia yang berdomisili di Paris, memperkenalkan diri. Dan Yulia, tokoh dalam novel Powerful Girl karya Sri Izzati, digambarkan sangat menyukai kota Paris. Sri tak pernah mampir ke kota itu, tapi imajinasinya sudah terbang ke sana. Yang lebih mengesankan tentang pengarang ini: usianya baru 11 tahun.
Izzati, anak ketiga pasangan Setio Soekarsono dan Hetty, kini duduk di kelas 1 SMP Negeri 5 Bandung, sangat produktif. Menulis novel dan cerpen hanya salah satu yang dilakoninya. Sudah 10 judul novel dan kumpulan cerpen yang sudah diterbitkan.
Karya-karya Izzati sangat feminin: hampir semua tokoh utamanya perempuan. Ia juga suka menggunakan nama-nama yang kebarat-baratan, nama-nama tempat di belahan dunia itu. Bahkan judul bukunya juga Barat. Nama-nama yang semuanya dia ambil dari buku ibunya, berjudul ”Year Book”. Di situ termuat daftar nama orang-orang Barat.
Izzati mulai menulis sejak kelas 1 SD (4 tahun). Apa saja yang dia alami dalam kesehariannya selalu ditulisnya di komputer. Ayahnya lalu membantu mencetak pada kertas HVS. Izzati kemudian menyusunnya seperti buku dan membagikannya kepada teman-temannya. Ketika Izzati sudah di kelas 4 SD itulah, ayahnya memulai menawarkan tulisan anaknya itu ke penerbit
Diakui Hetty, ibunya, sejak kecil Izzati sering dia dongengi. Itu untuk merangsang anak membaca, karena membaca dapat menyembuhkan otak yang sakit dan bisa mencerdaskan anak. ”Mendongengi mereka juga memperkenalkan kosakata” kata Hetty. Hasilnya, sejak kelas 2 SD Izzati sudah suka membaca komik, cerpen, dan novel anak-anak. Bukan cuma membaca, ia juga meresensi buku-buku yang sudah dibacanya. Resensi itu disampaikan secara verbal kepada ibunya. Itu syarat untuk bisa dibelikan buku baru. ”Dia harus menceritakan dulu isi buku yang dibelinya, baru saya belikan buku baru,” kata Hetty.
Lain Izzati, lain Sha Sha. Sha Sha Saputra, gadis belia kelahiran Magelang, 7 Juni 1994, ini telah meluncurkan novel pertamanya, Twins. Untuk anak seusianya, Sha Sha berpengetahuan sangat luas tentang kelompok musik, film, maupun sepak bola . ”Saya memang sangat mencintai musik, pernah les piano klasik, dan suka banget melihat MTV,” katanya.
Novelnya berputar di persoalan remaja, namun Sha Sha lebih membidik dari sudut keluarga. Dimulai dengan perkenalan tokoh dalam deskripsi karakter keluarga anak kembar Raga dan Rara. Bergulir dengan munculnya konflik lumrah di antara saudara kembar yang selalu bertengkar, alurnya maju lurus dengan bahasa gaul diimbuhi cas-cis-cus bahasa Inggris. Baginya, novel dengan latar kehangatan keluarga sangat menarik.
Pada awalnya, cerita ini hanya akan dituliskannya dalam bentuk cerpen. Eh, ternyata ide terus mengalir sehingga menjadi sebuah novel. Inspirasinya didapat dari kesukaan nonton So Little Time (serial TV Olsens Twins) dan The Suite Life of Zack and Cody (serial TV tentang anak kembar di Disney Channel). ”Kayaknya lucu kali ya menuliskan novel saudara kembar yang kerap berantem, tapi sebenarnya saling sayang,” ujarnya.
Sebagai penulis novel anak, Sha Sha boleh dibilang maju selangkah dalam hal kreativitas. Pada bab Memory of Bev. High School ia menampilkan pembuatan film oleh murid sekolah itu. Tampilan pada bab ini persis seperti orang membuat naskah skenario film. Ada adegan 1–10 dengan penjelasan di setiap bagiannya, termasuk dialog utama yang harus dilontarkan pemain.
Keseharian Sha Sha seperti juga anak lain yang mengenyam pendidikan. Ia kini memilih home schooling (sekolah di rumah) setelah sebelumnya bersekolah di SMP I Chaya Bangsa Classical di Kota Baru. Niatnya ini muncul setelah melihat adiknya memilih sekolah di rumah. Alasan lainnya, sistem ini bisa memperlancar bahasa Inggrisnya secara maksimal. Kemampuan yang ia tuangkan dalam Twins.
Sha Sha memiliki kegemaran membaca yang tinggi. Selain novel teenlit dan novel milik John Grisham, ia juga melahap biografi. Baru saja Sha Sha selesai melahap biografi Martin Luther King dan Soe Hok Gie. Saat ini, ia tengah menyelesaikan novel terbaru yang berbau suasana sebuah keluarga.
Inilah fenomena Izzati dan Sha Sha. Fenomena lahirnya buku karya anak-anak di Indonesia mulai muncul pada 2003. Awalnya, penerbitan buku karya anak-anak itu dipelopori Divisi Anak dan Remaja (DAR) Mizan. Kala itu, Andi Yudha Asfandiyar, seorang desainer grafis lulusan Institut Teknologi Bandung, merasa perlu membuat buku cerita anak. Ia pun mengusulkan hal ini di tempatnya bekerja, penerbitan Mizan. Sebuah kegelisahan melihat banyaknya novel yang kurang layak dibaca anak-anak. ”Saya justru melihat anak punya cerita dan logika sendiri untuk menuliskannya,” katanya.
Edisi pertamanya adalah novel milik Sri Izzati berjudul Powerfull Girls (2003), selanjutnya Kado untuk Umi, Milie Sang Idola (Alline, 10 tahun), Nasi untuk Kakek (Qurota Aini, 7 tahun), dan lain-lain. Dengan label ”Kecil-kecil Punya Karya”, buku-buku terbitannya mendapat sambutan yang bagus, terutama itu terlihat ketika ada diskusi yang dihadiri anak-anak dan orang tua mereka. Para orang tua mendorong semangat menulis pada anak-anak. Sebaliknya, pada berbagai diskusi yang digelar DAR Mizan, anak juga menjadi tahu kalau mereka boleh juga menulis novel. ”Hingga saat ini telah ada 12 edisi, terakhir milik anaknya Gola Gong,” ujarnya.
Izzati, Sha Sha, kemudian Melissa Chandra Puspa, 18 tahun, dengan karyanya, Jip Perak Bercerita. Buku ini menceritakan seorang remaja bernama Gita yang melakukan perjalanan keliling nusantara. Istimewanya, Melissa Puspa Chandra tak lagi bisa melihat sejak ia berumur 12 tahun. Dunia yang sebelumnya penuh warna, tiba-tiba kompak menjadi satu, gelap. Ia mengalami kebutaan setelah sekian lama bisa melihat. Kebiasaannya mencorat-coret di atas kertas sejak kecil terhenti. Padahal, menulis dan menggambar adalah kegemarannya. ”Tapi saya nggak mau menyerah. Saya minta mama untuk menyediakan software komputer JAWS yang bisa berbicara,” kata Melissa.
Referensinya dalam menulis tentu saja menjadi terbatas setelah indra penglihatannya hilang. Toh, semangat yang tumbuh bisa mengalahkan semua itu. Selain mengandalkan ingatannya selama masih bisa melihat, Melissa sering mendengarkan narasi sebuah acara televisi untuk bahan tulisan. Indra penglihatannya digantikan oleh indra pendengaran. Kalau itu masih terasa kurang, biasanya sang ibu membantu mendeskripsikan.
Melissa sendiri biasanya menyukai acara yang berbau petualangan. ”Narasinya saya perhatikan dengan serius.” Makanya, dalam novel bertajuk Jip Perak Berbicara ia bercerita tentang petualangan dan persahabatan yang erat. ”Sekarang saya tengah membuat beberapa cerpen, novel, dan akan ikut lomba cerita bersambung Femina,” ujarnya.
Banjirnya novel teenlit bagi remaja masih menyisakan ruang bagi anak untuk menuliskan cerita. Tema yang sederhana mereka rangkai menjadi satu rangkaian kisah panjang. Tak lagi sekadar mengarang pelajaran bahasa Indonesia, seperti berlibur ke rumah kakek, pergi ke kota bersama ayah, atau panen padi di desa.
Andi Dewanto/Rinny Srihartini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo