Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia memanggil dirinya Bella—kependekan dari Nabila Nurkhalisah Harris. Ketika usianya masih 8 tahun, ia menulis novel yang kemudian diberi judul Beautiful Days, tebalnya 101 halaman.
Beautiful Days bercerita tentang Bunga, gadis kecil berkerudung yang masuk panti asuhan An-Nasyir sejak masih kecil.
”Bunga mirip ustazah karena pintar agama, dan sering dimintai pendapat kawan-kawannya. Tapi Bunga juga gampang tersinggung,” Bella menjelaskan. Jadi, Bunga itu mirip Bella ya? ”Yeee... bukan! Itu kan cuma khayalan,” tampiknya cepat. Di pesantren itu, Bunga berinteraksi dengan banyak tokoh lain seperti Billa, Chintya, Catherine, Detya, Rafli, si kembar Cahya dan Marsha, Bunda Arma pengelola panti yang baik, sampai Bik Sum yang galak.
Uniknya, meski judul buku dibanderol dalam bahasa Inggris, seluruh kisah ditulis dalam bahasa Indonesia. ”Judul asli yang Bella kirim ke penerbit adalah Kisah Bunga. Ternyata judul itu diganti penerbit,” tuturnya. Bella adalah putri pasangan suami-istri pengarang, Gola Gong-Tias Tatanka, anak pertama dari empat bersaudara.
Melihat aktivitas pembelajaran yang dilakukan ayah-ibunya sehari-hari terhadap anak-anak penduduk setempat di rumahnya di Desa Ciloang, Serang, Banten, minat Bella pada buku bacaan pun tumbuh di atas rata-rata anak seusianya. Di umur 3 tahun ia sudah lancar membaca. ”Tapi baru umur 7 tahun Bella tahu bahwa ayah itu penulis terkenal,” katanya tentang sang ayah, penulis serial Balada si Roy, ”bacaan wajib” para pelajar di era 1980-an, jauh sebelum Lupus dan Catatan Si Boy menjadi bacaan mereka.
Metode Bella menulis novel lumayan unik. Kalau sedang menulis, yang tidak dilakukan setiap hari, maksimal ia hanya diberi jatah 90 menit oleh orang tuanya. ”Soalnya kalau kelamaan nanti mata Bella rusak,” ujarnya mengulang pesan sang mama. Jika idenya macet, siswi kelas 3 SD Peradaban Serang ini akan mematikan komputer dan jalan-jalan ke sawah yang banyak terdapat di sekitarnya. ”Habis lihat sawah itu rasanya semangat nulis lagi,” katanya bersemangat.
Ketika ditanyakan apakah ia pernah dapat ide dari sinetron televisi, Bella balik bertanya, ”Sinetron itu apa sih, Om?” Nah!
Dari novel pertamanya ini, Bella sudah mendapatkan honor Rp 250 ribu sebagai uang panjar royalti. ”Yang 50 ribu buat kasih jajan adik-adik, sisanya Bella tabung,” katanya. Kini Bella semakin mantap untuk menjadi novelis. Novel keduanya, It’s My Bedroom, sudah mulai digarap. ”Dulu sih cita-cita Bella mau jadi pramugari, tapi karena banyak kecelakaan pesawat kayaknya lebih enak jadi penulis atau guru,” ujarnya
Lain lagi kisah Ali Riza, 14 tahun, putra pasangan Lubna Assegaf dan Haidar Bagir, pemilik jaringan penerbit Mizan dan toko buku MP Book Point. Dua tahun lalu, Riza menuntaskan novel pertamanya yang berjudul The Tale of Three Travelers. Saat itu ia masih duduk di kelas 6 SD. ”Saya suka sekali bercerita apa saja kepada Ayah, meskipun beliau baru pulang dan sedang capek,” katanya. ”Satu kali Ayah bilang, coba kamu tuliskan ceritamu itu jadi novel,” kenangnya.
Tergelitik oleh tantangan itu, Riza yang juga penggemar permainan PlayStation ini mencari model cerita yang pas untuk imajinasinya. Dari sekitar 50-an permainan PS2 favoritnya waktu itu, ia memilih kisah Demon’s Stone sebagai basis cerita. Maka, setelah berkutat selama enam bulan, mengalirlah kisah tiga pendekar Rannek, Illius si penyihir, dan perempuan pemberani Zhai yang berkulit ungu, yang bertarung di berbagai tempat. Dari tambang Gemspark, hutan Chult, kuil Yuanti, sampai padang Idginora.
Berbeda dengan kisah Bella yang ditulis dalam bahasa Indonesia, kisah Riza ditulis sepenuhnya dalam bahasa Inggris dengan prolog yang sangat kental dibalut fantasi: It was a hundred years ago. Two mighty fighters and their armies from other dimensions fought each other for Faerun. One was Igor, a Slaad—strong and smart—Lord, fighting against a Githyank—smart, fast, and skillful—general.
Uniknya, dalam buku yang diterbitkan DAR! Mizan ini—juga dalam lini ”Kecil-kecil Punya Karya” seperti buku Bella—The Tale of Three Travelers dilengkapi juga dengan terjemahan bahasa Indonesia, yang bisa dibaca dengan membaca buku dari belakang.
Riza yang pernah bersekolah di Bloomington sewaktu kelas 2 SD, merasa lebih nyaman menulis dalam bahasa Inggris, yang menurut dia sendiri lebih ia kuasai dibandingkan bahasa Indonesia. ”Contohnya waktu saya baca (novel) Eragon (karya penulis remaja Christopher Paolini—Red.) dalam bahasa Indonesia, susah ngertinya. Tapi baca lanjutannya, Eldest, dalam bahasa Inggris malah lancar,” ujar anak ketiga dari empat bersaudara ini. Akibatnya, jika harus membaca karya fiksi dalam bahasa Indonesia, Riza hanya mau membaca komik saja.
Riza mengaku sudah menerima tiga kali pembayaran dari novelnya itu. Yang pertama Rp 1,2 juta, setelah itu Rp 700 ribu, dan terakhir sekitar Rp 1 juta. ”Honornya buat beli MP3 player, beli mainan, dan kelereng,” katanya. Selain itu, berkat novel perdananya tadi, siswa SMP Lazuardi Cinere ini mendapat anugerah khusus dari sekolahnya dalam rangka bulan bahasa tahun lalu. Ia juga diundang sebagai pembicara proses penulisan kreatif di New Zealand International School, Cilandak.
Kapan novel terbaru keluar? ”Kemungkinan tahun 2008, sekarang masih mengumpulkan bahan.” ujar Riza yang juga senang mempelajari sejarah, terutama Jepang, Cina, dan Romawi.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo