Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laut baru saja membiru tatkala kapal Pelni Tidar yang saya tumpangi bersama fotografer Ayu Ambong bersandar di Pelabuhan Neira, 14 Oktober lalu. Airnya jernih, tenang, dan berkilau bagai cermin. Bayangan Gunung Api Banda di seberang dermaga ikut terpantul di sana. Di dermaga yang sama, pada 1 Februari 1936, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir turun dari kapal Fommel Haut yang mengantar mereka dari pengasingan di Boven Digul, Papua, yang keras. Di Neira, mereka melanjutkan masa pengasingan hingga 1942. Saya lantas berpikir apa kira-kira tujuan Belanda menjadikan pulau seindah ini sebagai tempat buangan.
Lamunan saya buyar ketika terdengar pengumuman bahwa penumpang diminta segera turun. Di antara ratusan penumpang yang menghambur keluar, tampak Meutia Farida Hatta Swasono berjalan perlahan menuruni tangga kapal yang licin berembun. Tanpa sengaja kami bertemu dan menumpang kapal yang sama dengan anak Wakil Presiden Indonesia pertama itu. Meutia ke Neira untuk menghadiri acara wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan Hatta-Sjahrir, satu-satunya sekolah tinggi di Banda. "Belanda sengaja mengasingkan Bung Hatta dan Sjahrir di tempat yang indah ini agar sikapnya terhadap pemerintah melunak. Tapi upaya Belanda itu gagal," ujar perempuan 66 tahun ini menjawab pertanyaan saya.
Meutia menginap di Hotel Maulana, yang berada tepat di samping kanan dermaga. Hotel dua lantai bergaya Belanda itu dibangun Des Alwi Abubakar, tokoh Banda yang juga anak angkat Hatta dan Sjahrir. Semua kamarnya menghadap ke selat dan gunung api Banda. Pada 1993, Sarah Ferguson, menantu Ratu Inggris, dan dua anaknya berkunjung ke Banda dan menginap di hotel tersebut. Begitu juga tokoh selam dunia Jacques Yves Costeau serta vokalis grup Rolling Stones, Mick Jagger. "Mereka semua menempati kamar 214," ujar Tanya Marinka, putri Des Alwi, yang kini menjadi pengelola hotel itu.
Banda Neira atau Banda Naira adalah salah satu pulau utama di kepulauan Banda sekaligus menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Kecamatan Banda memiliki 12 pulau dengan luas total sekitar 172 kilometer persegi. Hampir tidak ada mobil di sini. Selama empat hari, kami hanya menjumpai tiga mobil dan semuanya tidak terawat. "Kami lebih suka jalan kaki dan naik sepeda. Apalagi bensin di sini sering langka," ujar Lukman Ang, warga lokal yang menjadi pemandu kami. Berjalan kaki di Neira menyenangkan. Jalanan bersih dan asri, di kiri-kanan berderet bangunan bergaya kolonial. Dua puluh lima meter dari pelabuhan terdapat Rumah Budaya Banda Neira. Di museum itu tersimpan berbagai jenis peninggalan zaman kolonial, dari meriam berbagai ukuran hingga tembikar.
Di samping kanan bangunan itu terdapat rumah pengasingan Sjahrir. Rumah bergaya Indis yang memadukan arsitektur kolonial dan tropis ini memiliki langit-langit tinggi dengan enam tiang penyangga berbentuk bulat, berjendela besar, dan beratap agak curam. Ruang utamanya luas diapit kamar tidur dan ruang kerja. Di sana terdapat gramofon kuno lengkap dengan piringan hitam berlabel Daphnis dan Chloe Suite Symphonique produksi Columbia. Kamar Sjahrir menyimpan lemari kayu berisi sejumlah buku catatan, alat tulis, pakaian, hingga surat pengangkatan sebagai perdana menteri oleh Presiden Sukarno. Di ruang kerja, tersimpan mesin ketik antik Underwood. Di sekitar rumah Sjahrir, berderet bangunan berarsitektur serupa. Salah satunya bangunan bekas rumah Kapten Christopher Cole, yang memimpin armada Inggris merebut Banda Neira dari Belanda pada 10 Agustus 1810.
Tidak jauh dari sana, dengan jalan kaki saya butuh sekitar 10 menit, terdapat rumah pengasingan Hatta. Rumahnya besar, terdiri atas bangunan utama di depan dan bangunan tambahan di belakang. Hatta menyewa rumah itu dari orang Belanda pemilik perkebunan pala bernama De Vries senilai 10 gulden. De Vries bersedia menyewakan rumah itu dengan harga murah karena konon berhantu. "Tapi ternyata tidak ada," kata Meutia.
Di ruang kerja terdapat meja tua lengkap dengan mesin ketik antik. Di ruangan itu dulu Hatta biasa membaca majalah atau mengetik artikel sambil menyeruput kopi tubruk. Ia mengirim tulisannya ke sejumlah media di Jawa atau Belanda. Majalah Sin Tit Po adalah salah satu media yang cukup sering memuat tulisan Hatta kala itu.
Di teras bangunan tambahan, berjajar tujuh bangku dan meja belajar model lama menghadap papan tulis kayu. Di sana dulu Hatta dan Sjahrir membuka kelas sore mengajar anak-anak Banda aritmetika hingga bahasa Inggris. Des Alwi (1927-2010) dalam Sejarah Banda Naira mengatakan Sjahrir memberi pelajaran kepada anak-anak kecil, sedangkan anak yang lebih besar dididik Hatta. Semua pelajaran mereka sampaikan dalam bahasa Belanda.
Diam-diam Hatta dan Sjahrir menyusupkan pendidikan patriotisme. Mereka mengajarkan bahwa ÂTeuku Umar dan Diponegoro adalah pahlawan yang menentang penjajah, bukan pemberontak seperti yang dikatakan pemerintah Belanda. Hatta pernah mengajak anak-anak mengecat perahu dengan warna merah dan putih. Sedangkan Sjahrir kerap mengajak anak-anak naik perahu ke Pulau Pisang, yang berjarak beberapa kilometer dari Neira. Di pulau gersang tidak berpenghuni itu, ia mengajar mereka bernyanyi Indonesia Raya. Untuk mengenangnya, nama pulau itu kini diganti menjadi Pulau Sjahrir. Nama Hatta juga diabadikan menjadi nama salah satu pulau tidak jauh dari Pulau Sjahrir. Pulau Hatta terkenal dengan terumbu karang dan keanekaragaman ikannya. Hiu martil, lumba-lumba, dan paus kerap ditemui di sekitar pulau itu.
Seratusan meter dari rumah pengasingan Hatta, berdiri bangunan Istana Mini Neira, tempat tinggal pemimpin VOC, yang memiliki arsitektur mirip Istana Bogor. Di depan istana terhampar pantai Neira menghadap Pulau Banda Besar. Di pantai Neira itu dulu Hatta dan Sjahrir ditemani anak-anak kerap berenang. Pantainya bersih dan memiliki terumbu karang dangkal, tapi banyak bulu babi. "Karena itu, biasanya Bapak berenang mengenakan sepatu kets, warnanya putih," ujar Meutia.
Di Neira juga terdapat rumah pengasingan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Iwa Kusumasumantri. Mereka berdua diasingkan di Banda sejak 1927. Rumah Tjipto luas dengan enam pilar besar menopang teras. Di dalamnya terdapat lemari kayu, kursi goyang, dan meja marmer persegi delapan. Rumah Iwa lebih kecil dan tidak banyak isinya selain kursi dan meja tua. Dulu, hampir setiap Sabtu malam, Hatta dan Sjahrir datang bertamu ke rumah Tjipto dan Iwa.
Benteng berbentuk pentagon itu berdiri gagah di puncak dataran tinggi Banda ÂNeira, hanya sekitar 300 meter dari pelabuhÂan. Luas benteng bernama Belgica itu sekitar 2.000 meter persegi dengan tinggi sepuluh meter. Bagian atas benteng dilengkapi meriam di setiap sisinya. Belanda membangunnya dari bekas benteng Portugis pada abad ke-16. Inggris pernah merebut benteng ini pada 1796. Pada masa pendudukan Jepang, benteng ini hancur, tapi pemerintah merestorasinya pada 1991.
Tak jauh dari Belgica terdapat reruntuhan bekas benteng Nassau, yang dibangun Belanda pada 1607. Bangunan benteng seluas 3.000 meter persegi itu sudah rusak. Hanya tinggal sisa temboknya yang sebagian telah runtuh. Nassau adalah benteng pertama Belanda di Banda. Pada 1621, benteng itu dijadikan tempat pembantaian 44 orang kaya Banda atas perintah Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen.
Dari Neira, kami ke Banda Besar. Pulau terbesar di Banda itu memiliki puluhan hektare kebun pala yang dipayungi pohon-pohon kenari raksasa berusia ratusan tahun. Di sana Belanda membangun dua benteng. Pertama benteng Concordia di Desa Waer. Letaknya tepat di pinggir pantai langsung menghadap ke laut lepas. Benteng yang dibangun pada 1621 ini setinggi 5 meter dengan dua pintu masuk, satu menghadap ke laut dan lainnya menghadap ke darat. Benteng kedua adalah Holandia di Desa Lonthoir. Benteng seluas 500 meter persegi itu dibangun Belanda pada 1642.
Menyewa kapal motor, kami menuju Pulau Ay dan Rhun. Perjalanan ke Ay sekitar satu setengah jam. Di pulau itu berdiri benteng Revengie, yang dibangun Belanda pada 1616. Berjarak sekitar 100 meter dari pantai, benteng ini memiliki tembok depan setebal 5 meter. Tembok benteng setinggi empat meter itu masih utuh meski telah ditumbuhi rumput dan semak. Empat meriam tua berkarat teronggok di antara semak yang memenuhi puncak benteng. Menurut tetua Desa Ay, Yusuf Maja, benteng itu dibangun untuk meredam pemberontakan penduduk Ay pada 1615.
Sekitar setengah jam perjalanan kapal motor dari Pulau Ay, terdapat Pulau Rhun. Tidak terlalu besar, panjangnya sekitar 2.600 meter dan lebar 1.600 meter. Namun dulu ini adalah pulau terpenting karena menjadi pusat perdagangan pala Banda. Rhun juga pernah menjadi daerah koloni Inggris pertama. Selanjutnya, pada 1667, melalui perjanjian Breda, Belanda rela memberikan Nieuw Amsterdam atau Manhattan di Amerika Serikat kepada Inggris untuk ditukar dengan pulau ini. Ya, di masa lalu, Rhun jauh lebih berharga daripada Manhattan.
Kini tidak banyak peninggalan kejayaan masa lalu Rhun. Satu-satunya yang tersisa adalah kerangka bangunan Rumah Besi, bekas gedung utama perkebunan pala di puncak bukit. "Pulau ini sempat hancur karena perang Belanda dan Inggris untuk memperebutkannya," ujar Burhan, tokoh masyarakat Pulau Rhun.
Dalam obrolan seusai makan malam di Hotel Maulana, Meutia bercerita bahwa Hatta dan Sjahrir memiliki kebiasaan agak ekstrem selama di Banda. Mereka kerap berenang sekitar 300 meter menyeberang selat Neira dan kemudian langsung mendaki hingga puncak gunung api Banda. "Bapak kerap merenung di sana. Pemandangannya indah," ujarnya.
Penasaran, besoknya saya dan Ayu naik kole-kole, sebutan kapal kayu kecil di Banda, menyeberang selat Neira menuju gunung api Banda dan mendakinya. Gunung ini termasuk unik karena kakinya langsung berada di dasar laut. Ketinggiannya hanya sekitar 600 meter dari atas permukaan laut. Namun jalur pendakian curam dan licin berkerikil. Dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk bisa mencapai puncaknya. Tepat pukul 12 siang, kami sampai di atas.
Tidak ada apa pun di atas sana, selain terik matahari, bebatuan panas, dan cekungan bekas kawah yang masih mengepulkan asap belerang. Namun pemandangan dari sana luar biasa. Lautan Banda berkilauan bagai hamparan cermin raksasa lengkap dengan perahu nelayan dan gugusan pulau-pulau Banda di atasnya. Saya membayangkan Hatta dan Sjahrir dulu duduk di puncak gunung ini, menatap ke bawah ke bentangan negeri yang indah tapi masih terjajah, lantas berdiskusi tentang masa depan Indonesia.
Kapan ke sana
Waktu paling tepat berkunjung ke Banda Neira adalah pada musim laut teduh, yaitu September hingga pertengahan Desember serta Maret hingga pertengahan Mei. Tidak disarankan pada Juni dan Juli karena angin dan gelombang tinggi di Laut Banda.
Spot wisata
» Museum Rumah Budaya Banda Neira
» Rumah pengasingan Sutan Sjahrir
» Rumah pengasingan Mohammad Hatta
» Rumah pengaÂsingan Tjipto MangoenkoeÂsoemo
» Rumah pengasingan Iwa Kusumasumantri
» Tugu Parigi Rante, monumen pembantaian kepala desa Banda oleh Belanda
» Gereja tua Hollandische Kerk
» Istana Mini Neira, bekas kediaman gubernur VOC
» Bekas rumah deputi gubernur VOC Banda Neira
» Bekas kediaman Kapten Christopher Cole
» Benteng Belgica, yang dibangun Portugis pada abad ke-16, selanjutnya diambil alih VOC. Benteng berbentuk pentagon ini sudah dipugar seperti bentuknya semula pada 1991.
» Benteng Nassau, bekas benteng Portugis yang dibangun kembali oleh VOC pada 1607. Ini adalah benteng pertama Belanda di Banda.
Menyelam
Snorkeling
Sewa kapal
Rute
Ambon-Banda Neira
Menggunakan pesawat Merpati berkapasitas 25 penumpang berangkat dari Ambon pukul 07.00 WIT dan sampai di Banda Neira pukul 08.00 WIT. Harga tiket Rp 300 ribu per penumpang. Penerbangan 6-8 kali sebulan, biasanya Sabtu, Minggu, atau Senin.
Menggunakan kapal penumpang Pelni: Kelimutu atau Tidar. Harga tiket kedua kapal sama: kelas ekonomi Rp 97 ribu, kelas II Rp 282 ribu, kelas I Rp 343 ribu per orang. Tiap kapal hanya ada dua pekan sekali. Biasanya berangkat dari pelabuhan Ambon pukul 18.00 WIT. Lama perjalanan ke Banda Neira 8-12 jam.
Catatan:
» Jadwal penerbangan Ambon-Banda Neira berganti tiap bulan dan tidak diumumkan secara online, sehingga mesti datang atau telepon langsung ke kantor Merpati cabang Ambon di Jalan Ahmad Yani 19 Ambon, telepon 0991-343937.
» Kedatangan di Ambon mesti disesuaikan dengan jadwal pesawat Merpati atau kapal Pelni ke Banda Neira jika tidak ingin menginap di Ambon. Namun, jika terpaksa menginap, banyak hotel di ibu kota Provinsi Maluku ini. Dari Bandara Pattimura ke Kota Ambon bisa naik bus bandara, Damri. Tiketnya Rp 30 ribu per penumpang. Jika terpaksa naik mobil sewaan, tarifnya Rp 150 ribu per orang.
SEJARAH MUSEUM
Rumah Pembuangan Sukarno, Ende, Nusa Tenggara Timur
Di Sini Pancasila Disemai
BANYAK cerita tersimpan di dalam rumah sederhana, beratap seng, di Jalan Perwira, Ende, ini. Di rumah ini, Sukarno tinggal bersama Inggit Ganarsih, istrinya; Ibu Amsi, mertuanya; dan dua anak angkat ketika diasingkan Belanda ke kota di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu. Rumah Sukarno mempunyai tiga kamar. Ada foto-foto Sukarno muda di sana, lukisan-lukisan karyanya, biola kesayangannya, juga naskah-naskah tonil yang dia tulis untuk dipentaskan di rumah teater setempat.
Sukarno tinggal di Ende mulai 1934 sampai 1938. Sekitar 100 meter dari rumahnya, terdapat sebuah tanah lapang. Orang Ende menyebutnya Lapangan Pancasila. Patung Sukarno seukuran orang tegak di tengahnya. Di dekat patung itu merimbun sukun bercabang lima, menaungi sebuah bangku panjang. Kepada Cindy Adams, penulis biografinya, Sukarno bercerita bahwa ia sering menghabiskan waktu berjam-jam merenung di bangku itu. Ketika itulah, menurut Sukarno, dia mendapatkan gagasan tentang Pancasila.
Ende bisa didatangi dengan pesawat dari Kupang atau Denpasar. Selain rumah Sukarno, ada banyak obyek menarik lain di sekitar kota itu. Danau tiga warna Kelimutu cuma dua jam bermobil dari sana.
Sawahlunto, Sumatera Barat
Terowongan Para Narapidana
DI Sawahlunto, sejarah merambat pada seng tua, rumah-rumah kayu, tiang tinggi dengan sice berpagar tembok, rel, juga terowongan Mbah Suro. Ini bekas galian tambang batu bara yang membelah kota kecil di lereng Gunung Singgalang, Sumatera Barat, itu. Terowongan ini dibuat pada 1898 oleh geolog Belanda, W.H. van Greve, 30 tahun setelah ia menemukan cadangan batu bara terbesar di Sumatera itu.
Panjangnya 700 meter. Gua tambang ini ditutup pada 1932 karena air tanah merembes tak terkendali menggenangi jalur pengerukan. Karena itu, di bawah Kota Sawahlunto masih tersimpan sedikitnya 14 ribu ton batu bara yang belum terkeruk. Hingga 2007, gua itu ditutup sampai wali kota dijabat Amran Nur. Pengusaha 67 tahun itu menggali ulang gua ini lalu membukanya untuk umum pada 23 April 2008. "Butuh delapan bulan untuk menyedot airnya," kata Medi Iswandi, Kepala Dinas Pariwisata Sawahlunto.
Tak semua air bisa disedot. Pemerintah kota hanya mampu menggali hingga kedalaman 15 meter sepanjang 186 meter. Itu pun sudah ditambah saluran udara agar pengunjung bisa memasukinya. Dan sejarah gua itu terekam di museum tambang yang dibangun di bekas reruntuhan rumah mandor Mbah Surono di muka gua. Selain kapak dan sekop, ada foto-foto orang rantai yang diangkut dari Padang. Para narapidana pemerintah Hindia Belanda itulah yang bekerja mengeruk batu bara untuk diekspor ke Eropa. Tak ada catatan berapa ribu orang rantai mati di gua itu.
Di ujung terowongan, berdiri Goedang Ransoem, dapur umum tempat memasak untuk buruh-buruh tambang itu. Foto-fotonya lengkap menggambarkan suasana saat penambangan masih berjaya dan rumah-rumah penduduk masih terjaga. Halamannya kini jadi ruang publik, tempat orang Sawahlunto menghabiskan sore yang sejuk dengan nongkrong atau berolahraga, sambil menyesap sejarah kota yang didirikan pada 1888 itu.
Gua Harimau, Sumatera Selatan
Menengok Lukisan Purbawi
SITUS prasejarah ini terletak di perbukitan karst, sekitar satu kilometer dari Desa Padangbindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Pengunjung harus mendaki lereng yang cukup terjal, licin, dan banyak lintahnya untuk mencapai gua ini. Mulut gua tersembunyi di balik pohon tinggi, rumput, dan semak belukar. Di kaki bukit, mengalir Aek Kaman Basah, kali kecil yang bermuara di Sungai Ogan.
Para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menemukan 17 kerangka manusia kuno, alat-alat serpih dari rijang dan obsidian, serta lukisan gua di sini. Ini menakjubkan. Selama puluhan tahun penelitian arkeologi di Indonesia, baru di sana ditemukan lukisan gua di wilayah barat Nusantara.
Komunitas Gua Harimau diperkirakan hidup sekitar 3.000 tahun lalu. Berbeda dengan Pithecanthropus erectus, Homo soloensis, dan Homo mojokertensis yang musnah pada zaman Pleistosen, ras manusia purba di Gua Harimau diyakini bertahan sampai sekarang. Arkeolog menduga mereka ras Neo Mongoloid dan Australoid. Mereka diperkirakan tiba di Sumatera sekitar 4.000 tahun lalu, setelah berakhirnya Zaman Es.
Pembuangan Kolonial, Boven Digul, Papua
Pengasingan Kaum Pergerakan
MEMISAHKAN diri dari Merauke, Papua, pada 2002, Boven Digul merupakan tanah pengasingan yang amat terkenal di zaman kolonial. Mohammad Hatta, Sayuti Melik, Sutan Sjahrir, dan tokoh pergerakan Mas Marco Kartodikromo pernah dibuang ke sini.
Mula-mula pemerintah Hindia Belanda menggunakan tempat ini pada 1927 untuk mengasingkan pemberontak. Lokasi pembuangan ada di beberapa tempat: Tanah Merah, Gunung Arang, zona militer, dan Tanah Tinggi. Bung Hatta datang membawa 16 peti buku. Dia rajin menulis selama di sana. Sjahrir lain lagi. Begitu tiba, dia disuruh menebang kayu dan membangun rumah sendiri. Awalnya Sjahrir suka mandi di Sungai Digul. Tapi, begitu mendengar cerita di sana banyak buaya, dia buru-buru pindah ke Kali Bening.
Pemerintah daerah kini mengembangkan Boven Digul sebagai daerah wisata terpadu. Peninggalan Belanda yang masih ada antara lain rumah sakit, penjara bawah tanah, makam tawanan, dan rumah panjang (loods) di Tanah Merah. Selain itu, pendatang bisa menyaksikan keindahan burung 12 antene dan cenderawasih kaisar; bertemu dengan suku Korowai, yang tinggal di rumah pohon; serta menikmati sajian budaya lokal.
Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, Papua
Ukiran Kayu hingga Tengkorak
JEJAK seni ukir suku Asmat yang bernilai tinggi dirawat di sini. Terletak di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua, museum ini menyimpan berbagai pahatan kayu, patung, panah dan anak panah, parang, tombak, perisai, serta atribut untuk perang dan tari-tarian. Di salah satu sudut museum, tergantung tengkorak kepala musuh, sisa prosesi perang di masa lalu.
Agats bisa dicapai dengan kapal laut dari Pelabuhan Pomako Timika atau dengan penerbangan lokal. Boleh dibilang, ini kota di atas rawa. Mayoritas orang Agats bekerja sebagai nelayan. Sebagian besar rumah mereka dan bangunan di sana, termasuk museum, merupakan rumah panggung. Mereka terhubung oleh jalan setapak dari jembatan papan setinggi sekitar satu meter.
Museum Kebudayaan dan Kemajuan dikelola gereja Katolik setempat, Keuskupan Agats. Setiap tahun, setelah Festival Budaya Asmat pada Oktober, isi museum ini bertambah. Semua ukiran yang dinilai paling baik dalam festival itu disimpan di sana.
Museum Batik Danar Hadi, Solo
Variasi-variasi Batik Sepanjang Abad
RIBUAN koleksi batik dari berbagai zaman disimpan museum ini, termasuk yang berusia lebih dari seabad. Koleksi dipajang sesuai dengan tahun pembuatan, asal batik, dan budaya yang mempengaruhi. Ada Batik Djawa Hokokai, Batik Pengaruh India, Batik Keraton, Batik Pengaruh Keraton, Batik Sudagaran, Batik Petani, Batik Indonesia, Batik Danar Hadi, hingga batik kontemporer.
Terletak di Jalan Slamet Riyadi, jalan utama di Kota Solo, Jawa Tengah, Museum Batik Danar Hadi mudah dijangkau dari mana pun. Dari bandar udara, pengunjung bisa menumpang Solo Batik Trans, yang lewat persis di depan museum. Kalau datang berombongan dan ingin perjalanan yang unik, pengunjung boleh menyewa kereta uap wisata. Tentunya dengan merogoh kocek jutaan rupiah.
Museum batik berada satu kompleks dengan House of Danar Hadi. Harga tiket masuknya Rp 25 ribu per orang, khusus untuk rombongan pelajar Rp 15 ribu per tiket. Pemiliknya, Santosa Doellah, mengintegrasikan museum, gerai batik, workshop batik, restoran, dan gedung pertemuan dalam satu kompleks. Pengunjung bisa berwisata sejarah sekaligus berbelanja dalam sekali berkunjung.
Kalau belum puas menyaksikan koleksi yang dipajang, pengunjung boleh melongok ke bagian belakang museum. Di sana akan terlihat ratusan perajin sibuk bekerja membuat batik tulis dan cap.
Museum Malang Tempo Doeloe, Jawa Timur
Ikut Menggali Arca Ken Dedes
Museum ini memamerkan beragam benda purbakala, seni, dan budaya yang pernah hadir dalam sejarah Malang. Dari ruang ke ruang, pengunjung diantar untuk mengenal asal-usul Malang, bahkan dari zaman prasejarah.
Ada pula lorong berisi foto-foto zaman dulu. Masuk lorong ini, pengunjung dibawa menuju 1.500 tahun yang lalu, ketika kawasan sekitar Malang baru terbentuk akibat letusan gunung berapi. Semula berupa danau, cekungan akibat letusan gunung purba itu lambat-laun berubah menjadi rawa-rawa yang dikelilingi pegunungan Anjasmara, Arjuna, Welirang, Kawi, Bromo, dan Semeru.
Pengunjung juga diajak merasakan menjadi arkeolog, melakukan pekerjaan ekskavasi di ruangan bawah tanah selebar 3 meter, panjang 6 meter, dan kedalaman 2,5 meter. Di lorong ekskavasi, dua arkeolog digambarkan menggali dan menemukan patung Ken Dedes, batu gong, serta batu bata permukiman kuno.
Museum Malang Tempo Doeloe terletak di Jalan Gajah Mada, persis di belakang Balai Kota Malang. Pengunjung dari kalangan umum dikutip biaya masuk Rp 15 ribu dan pelajar Rp 10 ribu. Pengelola juga menyediakan paket belajar membatik dan menjual topeng Malang sebagai oleh-oleh.
Gunung Penanggungan, Jawa Timur
Lereng-lereng Penuh Puing Candi
RAGAM peninggalan sejarah bertebaran di sekujur lereng Gunung Penanggungan. Kebanyakan berasal dari peradaban Hindu-Buddha sekitar abad ke-10 sampai ke-16 Masehi. Kala itu, gunung ini disebut Pawitra. Salah satu peninggalan tertua, pemandian Jalatunda, diperkirakan berasal dari tahun 977 Masehi. Berdiri di kaki Penanggungan, petirtaan ini dipercaya mengalirkan air keabadian.
Orang sering datang untuk melakukan meditasi atau bertapa di gunung yang terletak di perbatasan Pasuruan dan Mojokerto, Jawa Timur, ini. Penanggungan dipercaya memiliki karisma gaib. Puncaknya yang bulat, gundul, dan berbukit-bukit oleh masyarakat Jawa Kuno dianggap mirip puncak Mahameru, gunung suci di India. Sekitar 80 peninggalan sejarah ditemukan sejak dari kaki hingga puncak gunung ini. Ada punden berundak, gua pertapaan, hingga candi-candi kecil dengan berbagai arca dan pahatan batu.
Gunung setinggi 1.653 meter di atas permukaan laut ini memiliki kemiringan 30-70 derajat. Pendakian menuju puncak biasanya melewati jalur Trawas di Desa Duyung atau lewat Jalatunda di Desa Seloliman. Jalur Jalatunda agak menanjak, tapi banyak candi dapat ditemui di sepanjang jalur ini, seperti Candi Lurah, Guru, Gentong, dan Carik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo