Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin seperti inilah wajah alam ketika Adam dan Hawa masih belia.
Bukit dan lembah begitu hijau. Separuhnya tertutup rumput setinggi 20 sentimeter. Di sana, rusa dan banteng menikmati sarapan dengan tenang. Separuh lainnya tertutupi gerombolan pohon besar. Dari dalam kerumunan itu terdengar suara uwa-uwa yang menggema.
Burung merak berteriak-teriak dengan suara cempreng. Juga terdengar lengkingan burung enggang gading (Buceros/Rhinoplax vigil), yang keanggunannya dipuja suku Dayak. Gayanya terbang menjadi gerak tarian, dan bulunya mereka pakai pada topi kebesaran. Burung ini adalah simbol alam atas, tempat para dewa bersemayam.
Bukit dan lembah itu berada di kawasan Long Tua, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Kami—saya, fotografer Aditia Noviansyah, dan adventure specialist Dody Johanjaya—mengunjunginya bulan lalu setelah empat hari melintasi Bahau, sungai yang 90 persen tepiannya tertutup hutan tebal.
Padang alang-alang Long Tua (long berarti sungai) ini terletak di Kayan Mentarang, taman nasional dengan luas 1,35 juta hektare. Letaknya di ketinggian 200 meter hingga 2.500 meter di atas permukaan laut, membuat hewan dan tanamannya begitu beragam.
Pada 1996, kawasan yang sebagian besar terletak di Kabupaten Malinau dan sedikit di Kabupaten Nunukan ini ditetapkan sebagai taman nasional. Diapit Sungai Kayan di selatan dan Sungai Mentarang di utara, taman nasional ini memiliki kawasan hutan primer dan sekunder tua terluas di Asia Tenggara.
Selain kerapatannya hampir tak tertandingi oleh hutan lain di Kalimantan, koleksi satwa liarnya lengkap. Berdasarkan penelitian World Wildlife Fund, ada lebih dari 70 mamalia di sana—termasuk banteng, rusa, kijang, dan macan akar. Ada 210 jenis burung, termasuk berbagai elang yang sangat sering kami lihat merentangkan sayap di atas pohon-pohon tepi sungai.
Pada siang yang terik, kami tiba di Apau Ping, desa paling hulu di Sungai Bahau. Satu-satunya desa yang berada di dalam Taman Nasional Kayan Mentarang. Tak ada penginapan di desa dengan 60 rumah kayu ini, jadi kami harus menginap di rumah Kepala Desa Yusuf Apuy.
Dua jam setelah kedatangan kami, ruang tamu rumah Pak Yusuf penuh. Salah satu yang datang adalah Ding Njuk, 28 tahun. Badannya subur dan dia suka tersenyum. Di lengannya ada tato Playboy, oleh-oleh dari Malaysia saat ia bekerja di perusahaan kayu di sana. Ding bersedia mengantar kami menjelajahi hutan di Long Tua, dua hari kemudian. Besok dia terlalu sibuk mengangkat kayu untuk memperbaiki rumah orang tuanya.
Pada hari kedua, seperti yang sudah direncanakan, kami berangkat menuju Long Tua memakai dua ketinting—perahu sepanjang 3 meter dengan mesin motor kecil. Selain Ding, kami ditemani oleh Dan Salo, Rodes Jan, dan Titus Lawing. Mereka adalah orang Kenyah, suku Dayak terbesar di Malinau. Kecuali Titus, yang memiliki badan seperti Rambo. Ia bersuku Punan.
Sudah sore saat kami sampai di Long Tua. Tak perlu mendirikan tenda, karena ada pondok kayu sumbangan dari WWF yang bisa dipakai menginap. Peralatan di dalamnya cukup lengkap, dari perangkat dapur hingga kasur.
Sekitar pukul lima, Titus mengajak saya dan Aditya mencari makan malam. Ia menenteng senapan berburunya dan mulai memasuki hutan. Awalnya, kami masih bisa mengikuti karena ia berjalan di atas jalan setapak. Kami mulai tertinggal saat Titus masuk ke kelebatan hutan, menerobos di sela-sela pohon besar dan yang baru tumbuh, mengikir di pinggir tebing, masuk ke tanah berlumpur, menyeberangi kali kecil. Dia berjalan seperti tanpa arah di dalam rimba yang amat pekat. Kami tak tahu apakah dia tahu jalan kembali ke pondok.
Tapi kami percaya pada nalurinya.
Sebenarnya dia mengikuti jejak babi yang banyak tercetak di tanah basah. "Ada banyak bekas, tapi tak ada yang kelihatan. Ini jejak baru," katanya menunjuk tapak yang amat jelas di tanah. Selain melihat jejak celeng, kami melihat bekas tapak banteng dan rusa, juga tahi banteng yang masih segar.
Perburuan berakhir di tepi Sungai Bahau. "Kita istirahat sebentar," kata Titus, yang melihat saya dan Aditya mandi keringat.
Tak berapa lama terdengar tok-tok-tok.... Senyap. Lalu terdengar lagi, tok-tok-tok…. "Dengar suara itu?" tanya Titus. Kami jelas mendengar suara dari seberang sungai itu, tapi tak tahu apa. Bagi kami yang tidak akrab dengan hutan, itu bisa suara apa saja. Mungkin burung pelatuk, mungkin monyet iseng yang memukulkan ranting ke pokok kopong. Atau mungkin ada tukang kayu sedang bekerja. Tebakan konyol, karena kami benar-benar tak tahu.
Tapi tidak bagi Titus. Itu seperti panggilan makan malam.
Ia membuka kaus hingga tubuhnya yang kekar terbuka, mengambil senapan, dan berdiri di atas batu, memandang ke seberang. Ia berpikir sebentar sebelum menyeberangi sungai yang dalamnya seleher.
Sesampai di seberang, ia tak lagi berpikir, langsung masuk ke kelebatan hutan. Lima menit kemudian..., dor! Satu letusan terdengar. Satu saja, dan Titus keluar dari balik pohonan dengan menenteng babi betina yang montok. Sebagian besar babi hutan di sini adalah Sus barbatus, babi berjanggut, karena memang memiliki janggut panjang. Suara tok-tok tadi berasal dari dia, yang mengetuk pokok pohon untuk menjatuhkan buahnya.
Berburu, juga mengambil kayu dan membuka hutan untuk berladang, memang dilakukan masyarakat di sana. Tapi itu bukan untuk kepentingan komersial. Semua dilakukan secukupnya. Justru karena sangat bergantung pada hutan, mereka tak mau merusaknya. "Bagi orang Dayak, hutan adalah identitas mereka. Tanpa hutan, tak ada orang Dayak," kata Cristina Eghenter, peneliti asal Italia di WWF yang mendapatkan gelar doktor antropologi di Amerika Serikat untuk penelitian tentang Dayak.
Misalnya soal berladang. Memang, untuk berladang, mereka membuka hutan. Setiap keluarga memiliki dua-tiga ladang, tapi hanya satu yang dipakai. Yang lain dibiarkan menjadi hutan. Setiap 5-10 tahun, setelah ladang tak lagi subur, mereka pindah ke ladang lain yang sudah jadi hutan itu. Ladang yang ditinggalkan dibiarkan menjadi hutan kembali.
Selain mengambil dalam jumlah secukupnya, mereka tidak bisa memanfaatkan sembarang hutan. Ada kawasan yang masuk tana ulen atau tanah terlarang. Hutan di tana ulen tak boleh dimanfaatkan untuk berladang, berburu, dan sebagainya. "Hukum adat berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan di sana," Eghenter melanjutkan. Jika ada yang ketahuan menembak rusa atau banteng di Long Tua, mereka kena denda Rp 10 juta.
Salah satu tokoh penting yang menjaga adat sekaligus kelestarian hutan di sana adalah Anyie Apuy. Dia kepala adat besar Hulu Bahau. Dalam perjalanan menuju Apau Ping, kami sempat menginap di rumahnya di Long Alango. Anyie mendapat penghargaan Kalpataru pada 2009 atas jasanya menjaga hutan Kayan Mentarang. "Tanpa hutan, kami masyarakat adat ini akan mati," kata Anyie, 70 tahun.
Setiap tahun Anyie mengumpulkan kepala adat dari sejumlah desa untuk mengevaluasi aturan adat, termasuk menambah hal yang diperlukan. Akhir bulan lalu, di Long Alango, mereka berkumpul dengan isu besar rencana pembangunan jalan darat ke kawasan tersebut. Ini berkah sekaligus ancaman.
Kayan Mentarang memang terpencil, berada di ujung wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia. Untuk sampai ke sana hanya bisa lewat sungai yang tidak terlalu besar dan penuh jeram. Bandar udara di Long Alango yang berlandasan rumput hanya bisa melayani pesawat kecil, maksimal berpenumpang selusin. Jalan darat cuma setapak.
Dengan kondisi seperti itu, tidak ada perusahaan pembalakan atau tambang batu bara yang tertarik. Hampir mustahil menghanyutkan balok kayu hasil tebangan di sungai. Ini semua bisa berubah jika jalan dibangun menembus hutan.
Subuh, ketika dunia masih gelap, saya, Aditya, dan Ding kembali masuk hutan. Tujuan kami adalah padang alang-alang tempat rusa dan banteng merumput. Matahari baru terbit ketika kami mulai menaiki salah satu punggung bukit di padang alang-alang itu. Meski langit tak lagi hitam, sinar matahari belum sampai ke sini, terhalang oleh bukit yang lebih tinggi di belakang. Alam hanya berbentuk siluet. Tapi Ding sudah bisa mengenali beberapa bayangan yang berkelebat. "Lihat, itu ada banteng sedang merumput," katanya menunjuk siluet di bukit sebelah. "Kalau itu rusa," ujarnya sambil menunjuk bayangan yang melompat-lompat di lembah.
Awalnya kami tak bisa mengenali dengan jelas apa yang ditunjuknya. Tapi satu jam kemudian alam berubah dari bayang-bayang menjadi penuh warna. Kami bisa melihat banteng-banteng berpantat putih yang merumput, kijang dan rusa yang melompat-lompat, serta hijaunya pohon dan rerumputan. Sinar mentari tak hanya membangkitkan warna, tapi juga membangunkan hewan-hewan yang cerewet.
Pagi ini matahari bekerja keras untuk bisa menghangatkan seluruh lembah. Ia sudah sampai di atas bukit, tapi kabut masih hilir-mudik di antara puncak-puncak bukit. Di lembah terbawah, di balik pepohonan, Sungai Long Tua mengalir pelan.
Masuk ke Hutan
Kapan sebaiknya?
Berapa biayanya?
Apa yang mesti dibawa?
- Tabir surya (terutama kalau Anda naik perahu).
- Ransel tahan air (dry bag).
- Celana dan kaus cepat kering (ada di toko adventure).
- Jas hujan.
- Pelampung (harus bawa sendiri karena perahu tradisional tak menyediakan).
- Uang kontan yang banyak (tak ada ATM, sedangkan sewa perahu sangat mahal).
Data Kunci Kayan Mentarang
Padang alang-alang di Long Tua.
Bagaimana ke Sana
Jika tak ingin menikmati pemandangan Sungai Bahau dan Kayan, Anda bisa langsung terbang ke Malinau, lalu disambung dengan pesawat kecil ke Long Alango atau Long Pujungan. Perjalanan ke Apau Ping dapat diteruskan dengan ketinting. Tapi jadwal pesawat sering berubah, bisa menunggu hingga dua minggu.
Kalau ingin menikmati sungai sebelum ke Taman Nasional Kayan Mentarang, Anda bisa turun pesawat di Tarakan, kemudian naik perahu cepat ke Tanjung Selor (1-2 jam). Disambung dengan perahu cepat ke Long Bia (3 jam). Pagi-pagi sekali berangkat lagi ke Long Pujungan (8 jam). Keesokan harinya dapat disambung ke Long Alango (3 jam) atau langsung ke Apau Ping (6 jam). Total waktu perjalanan 3-4 hari.
HUTAN
Cikaniki-Citalahab, Jawa Barat
Aroma Hutan Tropis
Hawa sejuk langsung meruap begitu Anda menjejakkan kaki ke dalam hutan hujan tropis Cikaniki-Citalahab. Kesejukan itu semakin lengkap dengan naungan tajuk ratusan pohon raksasa di kanan-kiri sepanjang jalan setapak: rasamala, puspa, beunying, dan kimokla. Semua berdiri rapat. Terasa teduh.
Cikaniki-Citalahab merupakan kawasan wisata hutan tropis yang masuk Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Letaknya di perbatasan wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Kondisi hutannya masih sangat alami meski salah satu sisinya berbatasan dengan perkebunan teh peninggalan zaman Belanda dan permukiman penduduk.
Dekat dengan Ibu Kota, wajar kawasan ini jadi tujuan wisata alam warga Jakarta, Bandung, dan sekitarnya. Tapi, bukan hanya turis lokal, wisatawan mancanegara juga menggandrungi lokasi ini. "Turis dari Belanda banyak datang ke sini," ujar Suryana, pengelola Citalahab Central, kompleks permukiman warga yang menyewakan fasilitas penginapan bagi pengunjung.
Ada 14 rumah di desa wisata ini yang menyewakan kamar-kamar penginapan dengan harga terjangkau. Di wisma milik Suryana, misalnya, Anda cukup merogoh kocek Rp 75 ribu per malam untuk satu kamar berisi dua tempat tidur. Tarif untuk turis asing Rp 150 ribu. Anda bisa memperoleh makan dan camilan tiga kali sehari dengan menambah Rp 75 ribu. Untuk pemandu, Anda cukup membayar Rp 100 ribu per hari.
Cikaniki-Citalahab menawarkan bermacam obyek wisata, dari jalan-jalan menembus hutan sampai memotret sunrise di perkebunan teh. Sembari trekking, Anda bisa mampir ke sejumlah curug atau sekadar mengamati pepohonan, serangga, dan burung. Jika cukup beruntung, Anda bisa menjumpai owa Jawa, lutung, atau surili, tiga jenis primata yang suka bergelantungan di pepohonan.
Apabila Anda gemar pelesir beramai-ramai, ada area perkemahan yang patut dicoba. Warga setempat yang mengelola wisata di sini sedang menyiapkan camping ground seluas dua hektare untuk menambah area berkemah yang telah ada.
Taman Nasional Wasur, Merauke
Serengeti di Merauke
Kekayaan flora dan fauna membuat Taman Nasional Wasur dijuluki sebagai Serengeti-nya Indonesia. Serengeti adalah taman nasional superlapang di Tanzania, Afrika, yang terkenal karena biodiversitasnya. Terletak di Merauke, ujung barat Indonesia, Wasur—yang ditetapkan sebagai taman nasional pada 1990—berlahan 4.138 kilometer persegi.
Fotografer Komunitas Titik Nol, Muhammad Abdul Syah, yang kerap menyambangi Wasur, menyebut taman nasional itu gudang obyek wisata menarik. Jika Anda ingin berwisata budaya, ada sejumlah kampung suku Kanum yang bisa dikunjungi. "Adat penduduk setempat, yang gemar berburu dan meramu, menarik dipelajari," ujarnya.
Jika ingin tambahan tantangan, bisa saja menyambangi Kampung Rawa Biru, yang memiliki sumber mata air terbesar di Merauke. Dari jalan nasional yang ada di dalam kawasan Wasur, kata Abdul, Anda bisa mencapai Rawa Biru dalam waktu satu jam dengan perahu. Tak mengapa datang malam, karena taman nasional ini buka 24 jam.
Hutan Gunung Tompotika, Sulawesi Tengah
Melihat Maleo Bertelur
Anda tertarik melihat burung langka maleo bertelur pada malam hari? Anda bisa melihatnya di hutan Gunung Tompotika, Sulawesi Tengah, tepatnya di dekat Desa Taima. Tapi akses ke sana lumayan sulit. Dari Makassar, Anda harus terbang ke Luwuk, Kabupaten Banggai, kemudian menyewa mobil penduduk yang akan memakan waktu satu jam ke lokasi. Selanjutnya adalah trek hutan.
Lokasi lahan konservasi seluas 200 meter persegi ini memang agak jauh dari kota dan sepi. Djoko Iskandar, Ketua Dewan Pembina Yayasan Aliansi Konservasi Tompotika, menyarankan Anda meminta bantuan pemandu. Di konservasi ini cuma ada 10 maleo. Maka, sewaktu melihat mereka, pastikan Anda menjaga jarak agar tidak mengganggu.
Kenapa malam hari? Kata Djoko, ini karena pada waktu itulah maleo merasa aman bertelur. Karena harus malam hari, mau tidak mau Anda mesti menginap. Sayangnya, tidak ada resor, apalagi hotel, di sana. Djoko mempersilakan turis bermalam di rumah penduduk, tapi dengan konsekuensi tidak bisa mandi, karena di sana sulit air.
Yang pasti, tidak ada tarif khusus untuk melihat burung maleo. Selain maleo, di obyek wisata ini ada penyu dan burung gosong. Panorama alam di kaki Gunung Tompotika juga menarik. Ada air terjun dan pemandangan hutan di semenanjung terpencil Sulawesi ini. l
Bukit Bangkirai, Kalimantan Timur
Bersantai di Hutan
Menikmati panorama hutan tropis paling bagus di hutan Bukit Bangkirai, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara Timur, Kalimantan Timur. Tidak perlu harus trekking keluar-masuk belukar hutan. Cukup memakai sepatu olahraga, naik tangga yang melilit pohon setinggi 30 meter, dan berjalan-jalan melewati jembatan gantung sepanjang 64 meter yang menghubungkan lima pohon bangkirai setinggi 50 meter, kita bisa menikmati hutan itu.
Bukit Bangkirai adalah kawasan konservasi pohon bangkirai, pohon khas hutan Kalimantan yang semakin langka. Ada koleksi pohon bangkirai berusia lebih dari 150 tahun setinggi 40-50 meter. Hutan seluas 1.500 hektare ini juga menjadi tempat hidup burung-burung migrasi dari Taman Nasional Bukit Soeharto. Kawasan konservasi itu dapat dicapai sekitar satu setengah jam dengan mobil dari pusat Kota Balikpapan.
Taman Nasional Lore Lindu, Poso
Surga Setelah 'Neraka'
Ingin mendapatkan danau, sungai, gunung, hutan, dan lembah sekaligus? Taman Nasional Lore Lindu jawabannya. Menurut Farchan Noor Rachman, seorang pendaki, Lore Lindu menawarkan bentang alam yang sangat mempesona. Bukan hanya itu, taman nasional yang terletak di Poso ini juga dihuni belasan spesies satwa endemik Sulawesi.
Di jantung Lore Lindu, terdapat danau yang luasnya lebih dari 200 hektare. Danau Lindu dan panorama di sekitarnya disebut Farchan amat cantik. Di sekitar danau, kita bisa melihat gugusan pegunungan Nokilalaki, Adale, Kona'a, Tumaru, Gimba, Jala, Rindi, dan Toningkolue, yang berjajar gagah.
Wisata di Lore Lindu tak sekadar menikmati alam. Anda juga bisa mengunjungi kampung suku asli daerah ini dan menginap di kediaman mereka. Atau, jika waktu berlibur Anda panjang, tak ada salahnya menapakkan kaki ke Kamarora, Doda, dan Bada, yang letaknya tak begitu jauh dari Lore Lindu. Trekking ke empat tempat itu memakan waktu sepekan.
Sementara di Kamarora kita bisa melihat tarsius alias monyet hantu pada malam hari, di lembah Doda dan Bada tersebar banyak batu peninggalan zaman megalitikum. Mengunjungi tempat-tempat ini disarankan pada Juli-September. "Pemandangan di Doda-Bada luar biasa indah. Batu-batunya mirip seperti yang ada di Pulau Paskah," ujar Farchan.
Hutan Arfak, Papua
Tarian cenderawasih
Hutan Gunung Arfak menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi bird of paradise atau burung surga. Sayangnya, nama keren ini tak berlaku di sana. Masyarakat asli dengan sederhana menyebutnya burung cenderawasih atau burung kuning. Tapi, yang pasti, Arfak merupakan destinasi pengamatan burung cenderawasih terpopuler di dunia.
Untuk menuju ke sana, harus ingat waktu yang pas agar penjelajahan Gunung Arfak tidak sia-sia. Waktu yang tepat adalah pada pagi hari. Datanglah sekitar pukul 8 atau 9 pagi, karena saat itulah burung-burung cantik tersebut terlihat seperti menari dan berdansa di dahan-dahan pohon memamerkan bulu-bulunya yang indah.
Lokasi Arfak berjarak 35 kilometer dari Manokwari, ibu kota Papua Barat. Dari titik awal pendakian hingga ke tempat pengamatan cenderawasih, jaraknya tak terlalu jauh. Sekitar satu setengah jam, Anda akan menyusuri lereng pegunungan yang lumayan terjal. Tak apa, lelah mendaki akan terbayar lunas saat melihat indahnya tarian si burung surga.
Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat
Riam Delapan Tingkat
Kepala Bidang Pengelolaan Betung Kerihun Wilayah II Kedamin, Garendel Siboro, menjelaskan, banyak hal menarik bisa didapat saat mengeksplorasi taman nasional ini. Di antaranya bertemu dengan burung enggang, fauna mistik khas Borneo yang menginspirasi tari tradisional suku Dayak. Ada pula anggrek jenis baru yang mitosnya mengandung zat yang bisa memperpanjang umur.
Bagi mereka yang suka memancing, Betung Kerihun adalah pilihan tepat. Sembari menikmati bentang alam nan cantik, Anda bisa memancing di lokasi khusus. Garendel menyebutkan banyak tangkapan menarik di sungai area taman nasional. Satu di antaranya ikan semah yang berukuran jumbo dan harganya mahal.
Jika ingin tantangan lebih, Anda bisa ber-water trekking di bagian sungai yang mengarah ke hulu Kapuas. Menurut Pengendali Ekosistem Hutan Betung Kerihun, Nur Rohman, trekking menyusuri Sungai Kapuas-Mahakam perlu waktu 7-8 hari. Di perjalanan, tak hanya bertemu dengan bunga bangkai dan rusa, Anda bisa mempelajari budaya Dayak Punan—jika berkunjung ke kampung suku Dayak tertua di Kalimantan itu.
Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Nusa Tenggara Timur
Rumah Burung Sumba
Menurut Pengendali Ekosistem Hutan Manupeu Tanah Daru, Hartoto, kawasan taman nasional di bagian barat Sumba ini merupakan habitat terbaik burung-burung Sumba. Di sana ada 123 jenis burung dan 8 jenis burung endemik. "Sejumlah 14 jenis di antaranya terancam punah," kata Hartoto.
Manupeu Tanah Daru juga menawarkan kesempatan bertemu dengan rusa Timor dan tujuh jenis kupu-kupu endemik. Perkenalan kita dengan satwa khas Sumba ditunjang panorama taman nasional yang kaya sabana atau padang rumput. Ada pula sejumlah pantai berpasir putih yang cantik.
Trekking di seluruh wilayah Manupeu Tanah Daru menghabiskan waktu 5 hari 4 malam. Namun, jika Anda sekadar melakukan pengamatan burung, seperti kakatua cempaka, julang Sumba, dan kepodang-sungu Sumba, 2 hari 1 malam sudah cukup. "Minat di taman nasional kami memang pengamatan burung, jadi umumnya orang hanya sebentar di sini," ujar Hartoto.
Waktu kunjung terbaik adalah Maret-Juni dan Oktober-Desember.
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara
'Markas' Monyet hantu
Di bantaran sungai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Gorontalo, kita bisa menjumpai banyak buaya berkaki lima. Konon, buaya-buaya itu bersahabat dengan Pokkambango, pahlawan wong cilik dalam legenda Gorontalo. "Pokkambango, jika bepergian, naik buaya berkaki lima tersebut," ujar peneliti sejarah swadaya Gorontalo, Abdul Wahab. Wahab biasa mendampingi ilmuwan asing melakukan penelitian di Bogani Nani Wartabone.
Di Bogani Nani Wartabone banyak terdapat air panas yang rasanya asin. Salah satu titik idola wisatawan adalah air terjun panas di dalam gua stalaktit. Lokasi itu kerap disambangi penduduk lokal yang mencari air panas untuk diminum dan dibawa pulang.
Di taman nasional seluas 193.600 hektare ini ada "markas" burung khas Sulawesi, maleo. Adapun saat malam, kita bisa melihat langsung tarsius alias monyet hantu. Bila ingin pengalaman berbeda, Anda bisa menyambangi Desa Tua Tinogu, yang ditinggali klan Wartabone keturunan Sultan Bone, Aru Palaka. Desa Tua bisa dicapai dengan berjalan kaki selama sepuluh jam dari gerbang taman nasional. Di sana, Anda bisa menginap di rumah penduduk Wartabone, yang terkenal ramah dan bersahabat.
Bantimurung , Sulawesi Selatan
Kerajaan Kunang-kunang
Di Sungai Salenrang, pohon-pohon bercahaya ketika malam. Bukan oleh pantulan cahaya bulan atau lampu-lampu di pohon Natal, melainkan oleh kunang-kunang. Serangga itu beterbangan di tanaman bakau yang berjela-jela di sepanjang sungai di Dusun Rammang-rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan—50 kilometer dari Makassar. Mereka juga tak sungkan hinggap di tangan manusia yang berada di sekitar pohon itu.
Sungai yang gelap dan sepi itu pun terang hingga cahayanya terbantun di ombak payaunya yang tenang. Menurut Daeng Baco, penduduk setempat, jumlah kunang-kunang bertambah saat musim hujan seperti hari-hari ini, memenuhi garis sungai yang bermuara di gua-gua pegunungan karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas 40 ribu hektare.
Bantimurung tak hanya menyimpan 256 spesies kupu-kupu hingga dijuluki Alfred Wallace sebagai "Kingdom of Butterfly", tapi juga merupakan "Kingdom of Firefly", kerajaan kunang-kunang untuk wisata hutan tengah malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo