Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti penguin, Sandi Slamet menyelam ke bawah gelombang setinggi gedung tiga lantai. Ia menghilang, lalu nyembul ke permukaan dengan badan membungkuk. Gelombang kemudian berkembang biak di bawah papannya, membentuk barrel alias terowongan ombak. Ia bertahan di terowongan itu selama delapan detik. "Yes, I defeated him (ombak)," teriaknya dalam bahasa Inggris dengan logat Bali campur Sunda.
Karena aksinya itu, Sandi memperoleh tepuk tangan peselancar lain yang sedang nangkring di tengah laut, duduk di atas papan untuk menunggu ombak. Mereka berada di E-Bay, titik ombak di barat laut Pulau Masokut (Nyang-Nyang), Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Awal Oktober lalu, saya dan fotografer Tommy Satria menjelajahi titik ombak di Mentawai. Khususnya di sekitar Pulau Siberut dan Masokut. Kami mengajak Sandi, peselancar peringkat ke-10 Asian Surfing Championships (ASC). Ini ketiga kalinya Sandi mencicipi ombak di sana.
Sandi terlahir sebagai peselancar. Sewaktu sekolah dasar, ia sudah menari di atas ombak dengan tripleks yang ia curi dari toilet umum di pantai. Jarak rumahnya dan pantai Sunset, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, memang dekat, hingga ia bisa berlatih kapan pun. Keahliannya berkembang pesat, hingga pada usia 15 tahun dia mendapat sponsor dari Quiksilver. Setahun berikutnya, ia menyabet posisi pertama kejuaraan dunia Quiksilver King of the Groms di Kuta, Bali.
Sore itu, setelah mengalahkan ombak di E-Bay, adrenalin Sandi masih tersisa. Ia berniat melakukan three sixty—gaya berputar 360 derajat di udara—sebelum mentari terbenam. Dengan perahu motor kayu mungil, kami pun menuju Pit Stops, titik ombak yang berjarak 1 kilometer dari E-Bay.
Sial, di situ gelombang segede bus menggulung Sandi. Papan sepanjang 5,5 kaki yang dikendarainya terpelanting. Darah mengucur dari bibirnya. Sobek! "Bagian menakutkan adalah bukan elu yang menangkap gelombang, tapi elu yang ditangkap gelombang," ujarnya tertawa setelah luka di bibirnya diobati di Puskesmas Pulau Pei-Pei.
Pit Stops terdapat di utara kawasan Playgrounds (taman bermain), di ujung Pulau Simaimu. Lokasi ini memiliki garis pantai dua kali lapangan bola. Banyak pohon kelapa di sisinya dengan air ombak biru kehijauan. Pasirnya putih dengan butiran mirip gula.
Disebut "taman bermain" karena ada belasan titik ombak dengan jarak amat dekat. "Yang seperti ini cuma ada di Mentawai. Ombak di sini surga," kata Pendi Arianto, pemandu kami, yang juga peselancar.
Mentawai bukan cuma surga, melainkan merupakan tanah suci peselancar. Sementara Hawaii dikenal sebagai Mekah-nya peselancar, Mentawai adalah Yerusalem-nya. Peselancar Prancis, Wahid Nafir, 40 tahun, menyatakan Mentawai salah satu kiblat selancar di muka bumi. "Saya muslim, tapi saya menyembah ombak di sini," ujar Wahid terbahak.
Setiap kali bertandang ke Mentawai, ia selalu mendapatkan kekhusyukan berselancar di tempat terpencil dan eksklusif. Di atas papan selancarnya, ia merasa berada di puncak dunia. "It makes me high," katanya. Baginya, perasaan seperti itu ibarat candu.
Pantai di Mentawai memang masih sepi, bersih, dan bebas sampah. Sebagian besar daratan masih hutan yang memiliki spesies endemik yang dilindungi, seperti beruk Mentawai. Hutannya juga masih didiami suku asli Mentawai, disebut Mentawi. Sewaktu di Siberut, kami melihat mereka turun gunung untuk bergaul dengan warga. Mereka memakai cawat dengan bunga di rambut dan telinga.
Tapi keperawanan Mentawai ini ternyata jadi rebutan. Ada pertempuran di antara peselancar untuk memperebutkan ombak eksklusif. Meski Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sudah membatasi 10 peselancar di satu tempat, kenyataan di laut berbeda. Saling selak mendapatkan ombak terus terjadi, bahkan ada yang berujung adu jotos.
Kata Sandi, senggolan antar-peselancar sebenarnya terjadi di mana-mana. Ketika bermain di Prancis, ia bahkan mendapat perlakuan diskriminatif. Ia hanya dikasih pinggir gulungan ombak yang tingginya tidak seberapa. Sedangkan di posisi tengah, gelombang dikuasai peselancar kulit putih. Di Mentawai, ia balas dendam dengan menguasai ombak, meski mayoritas yang berada di sana tetap saja berambut pirang.
"Selancar adalah perkelahian jalanan. Satu-satunya cara untuk menang adalah menjadi berengsek. Tak ada aturan seperti di lapangan sepak bola. Yang ada hanya antara elu dan gelombang," kata Sandi emosional.
Muhammad Ridwan, anggota komunitas Surfguard Pulau Sipora, mengakui sentimen antar-peselancar asing dan lokal. Bahkan beberapa lokasi yang ombaknya bagus sengaja disembunyikannya dari orang asing agar tidak diserobot. Sebab, kalau diketahui orang asing, ujar Ridwan, di tempat itu akan dibangun resor.
Jumlah resor di Mentawai kini 15, kebanyakan milik orang asing. Itu belum termasuk yang ilegal. Di sejumlah resor, harga sewa semalam US$ 150-200 (sekitar Rp 1,5-2 juta). Resor itu, kata Nursyam Saleh, Komisaris Operator Surfing dan Resort Pulau Nyang-Nyang, kebanyakan dibangun tanpa analisis dampak lingkungan dan dibangun dengan membabat pohon bakau. "Izinnya hanya dari camat," ujarnya.
Kami sempat mengunjungi Pit Stops Hill, resor populer di Mentawai. Bangunan utamanya didominasi kayu yang memiliki bar dan ruang tamu. Bentuk langit-langitnya berkubah dengan konsep rumah panggung. Kapasitas resor ini 10 orang. Untuk menginap di situ, kita harus merogoh kocek dalam-dalam. "Paket sekali main saja Aus$ 7.000 (sekitar Rp 75 juta)," kata Travis Micale, peselancar asal Australia, yang menginap di sana.
Biaya main selancar di Mentawai memang tidak murah. Untuk menyewa perahu motor selama dua hari, kami dikenakan harga Rp 9 juta. Menurut Pendi, sang pemilik perahu, harga itu wajar karena harga Premium per liter di Mentawai Rp 15 ribu. Untuk mencari ombak, kata dia, perahu menghabiskan 300-an liter sehari.
Jangan bayangkan badan perahu itu terbuat dari fiberglass berwarna putih mengkilat. Lebih tepatnya malah seperti kapal poci dalam film Life of Pi, bedanya cuma dikasih motor dan atap. Patut disyukuri kami selamat dari amukan ombak ketika diserang badai saat menyeberang dari Pulau Pei-Pei ke Pulau Sipora—selama tiga jam.
Posisi geografis yang langsung menghadap Samudra Hindia memang membuat ombak di Mentawai membengkak. Itu adalah berkah bagi peselancar. Tapi, kalau terlalu besar, bisa jadi bencana. Jika badai datang, semua transportasi laut berhenti beroperasi. Kepulauan ini terletak 150 kilometer dari lepas pantai Sumatera dengan garis pantai sepanjang 758 kilometer. Periode Juni-November, yang bertepatan dengan libur musim panas Eropa, adalah waktu terbaik berselancar di sana. Pada periode itu ombak bisa 10 meter.
Karakter ombak Mentawai disukai karena memiliki terowongan (barrel) panjang. Jarak antara gulungan pertama dan selanjutnya juga dekat. Maka peselancar tidak perlu lama menunggu gulungan ombak datang.
Pengakuan dunia dapat diukur dari banyaknya kejuaraan selancar yang digelar di kepulauan ini. Setiap tahun digelar World Champions Surfing Series Mentawai pada Agustus. September lalu, digelar juga Mentawai International Pro Surf Competition, yang merupakan program Pemerintah Kabupaten Mentawai, di area ombak Lance's Right.
Ada 99 titik ombak kategori internasional di Mentawai. Area itu tersebar di daerah Nyang-Nyang, Karang Bajat, Karoniki, Pananggelat, dan Mainuk (Pulau Siberut), Katiet Basua (Pulau Sipora), dan Pagai Utara (Pulau Sikakap). Setelah tsunami 2010, tidak ada perubahan lokasi ombak. Justru Dinas Pariwisata Kabupaten Mentawai mencatat ada 74 tempat ombak yang baru.
Setiap titik ombak memiliki karakter sendiri. Misalnya di No Kanduis Left—asal kata dari no can do it. Di sana cocok untuk peselancar Goofy foot alias kidal karena ombaknya kiri. Artinya, gelombang akan pecah dari kanan ke kiri—dari sudut pandang peselancar ketika menghadap ke pantai.
Disebut Goofy foot ya memang karena berasal dari tokoh kartun Disney: Goofy. Dedi Saraina, peselancar Mentawai, mengatakan, dalam film Disney berjudul Hawaiian Holiday, Goofy mencoba bermain selancar dengan memakai gaya reguler, tapi ia terjatuh tiga kali. Namun, ketika memindahkan kaki kanan ke depan papan dan kaki kiri yang mengendalikan, ia justru jadi mahir. Peselancar yang melegenda di planet ini, seperti Kelly Slater, Andy Irons, dan Mick Fanning, adalah penganut agama Goofy.
Jika Anda adalah tipe regular foot (kanan) kemudian ingin bermain di ombak kiri, Anda harus pandai berselancar dengan membelakangi ombak. Jika tidak, Anda akan jadi bulan-bulanan ombak.
Di Mentawai, banyak sekali jenis ombak kiri. Karena itu, Kelly Slater kesengsem betul. Hampir tiap setengah tahun sekali, kata Dedi, peselancar legendaris Amerika Serikat itu mengunjungi Lance's Left.
Bukan cuma Slater yang tertarik. Pangeran Charles, putra Ratu Elizabeth II, bahkan menyambangi Mentawai setiap tahun, meski tidak berselancar. Rijel Samaloisa, Wakil Bupati Kepulauan Mentawai, mengatakan orang dari Kedutaan Besar Inggris akan menemuinya untuk meminta izin jika Charles akan datang. "Jangan-jangan dia mau buat negara di sini," kata Rijel tertawa.
Budaya selancar di Mentawai muncul baru pada 1990-an. Saat itu, para peselancar asing mulai menjelajahi Mentawai dengan menyewa perahu reot nelayan lokal, bukan memakai kapal pesiar seperti sekarang. Mereka tidur di papan, makan nasi di pantai, dan menghabiskan waktu berminggu-minggu di laut.
Saat itu, Dedi mengaku ikut-ikutan para bule asal Australia tersebut. Bersama teman-temannya, ia membentuk komunitas kecil dan patungan membeli bahan bakar untuk perahu. Sedangkan papannya hibah dari turis atau membuat sendiri dari kayu. Kini rata-rata 5.000 orang datang tiap tahun ke sana.
Di Mentawai, kita bisa melihat berselancar adalah pengalaman yang amat menular, paling tidak dari segi fashion dan filosofi hidup. Anda bisa melihat otot kotak di perut saat para peselancar berdiri di papan dan tetap tampak asyik ketika cuma memakai celana pendek belel. Satu lagi: mereka terus mengatakan segala sesuatu adalah mungkin, termasuk menunggangi ombak sebesar rumah di Pondok Indah.
Saya mendapat kabar bahwa Sandi sudah kembali ke laut untuk berselancar lagi—kurang dari tiga hari setelah kecelakaan yang merobek bibirnya. Dia membiarkan air asin yang menyembuhkannya, dan menolak membiarkan rasa takut menang. Sandi selalu bilang, "Life's swell." Hidup itu hebat, seperti gelombang besar.
JENIS PAPAN
Guns:
Mini Malibu:
Retro single fin:
Semi guns:
GAYA/GERAKAN
MENUJU 'YERUSALEM'
Cara termudah untuk ke Mentawai—Yerusalem-nya selancar—adalah dengan kapal motor penumpang Gambolo dari Pelabuhan Bungus, Padang. Kapal dengan tiket Rp 85 ribu dipilih karena jadwal penerbangan perintis tidak jelas. Di bandara Padang memang tertulis bahwa Susi Air melayani tiga kali penerbangan dalam seminggu, yakni Senin, Rabu, dan Jumat, ke Bandara Rokot, Mentawai. Tapi empat nomor telepon Susi Air yang tercantum semuanya tidak bisa dihubungi. Perjalanannya 11 jam. Kapal berangkat pukul 20.00 dan tiba di Pelabuhan Muara Siberut pukul 07.00.
Kapal berkecepatan 8,5 knot ini melewati perairan yang merupakan pertemuan arus Samudra Hindia. Teror badai pun mulai datang di tengah malam. Ombak menggoyang dan mengerang kapal. Kata nakhoda KMP Gambolo, Budi Winaryo, 37 tahun, penyeberangan Padang-Mentawai memang kerap diganggu badai. Bila cuaca tidak memungkinkan, biasanya penyeberangan ditutup untuk alasan keselamatan.
Dari Pelabuhan Muara Siberut, kami melanjutkan perjalanan darat dengan naik ojek Rp 50 ribu per orang. Padahal perjalanan ke Hotel Manai Koat, yang per malamnya Rp 175 ribu per orang, jaraknya tidak sampai 3 kilometer.
Di sana tak ada transportasi reguler ke tujuan wisata. Angkutan juga cuma ada di ibu kota Kabupaten Mentawai di Tua Pejat, Pulau Sipora. Jika ingin berselancar, kita harus menyewa perahu kayu bermotor. Harga sewanya membuat mata merem-melek: Rp 9 juta untuk dua hari. Jika mau cepat, sebenarnya kita bisa menyewa kapal pesiar dan speedboat. Tapi ongkosnya selangit, di atas Rp 20 juta.
Beng-Beng
Nipussi
Pit Stops
No Kanduis Left
A-Frames
E-Bay
Lance's Left
Macaroni's
Thunders
SURFING
Krui, Lampung
Main Ombak di Ujung Sumatera
PESISIR Krui tak pernah terdengar punya laut dan ombak yang diidam-idamkan para peselancar. Ibu kota Kecamatan Pesisir Tengah di Kabupaten Lampung Barat ini lebih terkenal sebagai rumah pohon damar mata kucing (Shorea javanica), yang hanya tumbuh di pegunungan Bukit Barisan Selatan. Laut Krui yang masih perawan tempat mukim ikan marlin hitam tak dilirik wisatawan lokal. Dari Bandar Lampung jaraknya 250 kilometer atau enam jam perjalanan dengan mobil.
Maka pendatang yang lalu-lalang di Pantai Labuhan Jukung dan Pantai Mandiri adalah turis asing yang menenteng papan selancar. Seperti di Mentawai, ombak di Krui diberi nama asing. Lidah ombak Jimmy's di Pugung Penengahan, misalnya, bisa mencapai 6,9 meter jika sedang mengamuk. Hanya peselancar profesional yang bisa menungganginya.
Tapi Krui tak melulu untuk mereka yang sudah ahli menaklukkan ombak deras yang pecah di karang dangkal. Bagi yang masih belajar, banyak lokasi yang tak terlalu berbahaya. Ombak di Tanjung Setia paling banyak diminati peselancar asing. Selain ombaknya besar, perairannya dalam sehingga tak terlalu berbahaya.
Plengkung dan Pulau Merah, Jawa Timur
Dua yang Tersembunyi di Banyuwangi
Jika berminat mencari tempat yang indah dan cocok untuk menyepi selain Bali, coba saja menyeberang ke Banyuwangi. Di sana ada pantai-pantai tersembunyi yang tak kalah dengan pantai Pulau Dewata. Plengkung dan Pulau Merah adalah dua di antaranya.
Pantai Plengkung, yang oleh para peselancar dunia disebut G Land, merupakan tempat yang ideal dan menantang. Ombak panjang yang menggulung tinggi jadi tantangan tersendiri. Plengkung merupakan bagian dari Taman Nasional Alas Purwo, jadi jangan terlalu berharap jalanan mulus.
Sedangkan Pulau Merah terletak 80 kilometer dari Banyuwangi. Berbeda dengan Plengkung, ombak di Pulau Merah lebih ramah, dengan rata-rata ketinggian dua meter. Sebuah pulau tanpa penghuni menghiasi panorama pantai. Manakala matahari mulai tenggelam, semburat surya membuat pulau itu berwarna merah.
Dasar pantai Pulau Merah tak berkarang seperti di Plengkung, sehingga aman untuk diarungi wisatawan. Di kedua pantai ini sudah terdapat pemondokan, jadi tak perlu terburu waktu jika ingin menikmati ombak dan panoramanya.
Klayar, Jawa Timur
Beranda Tanah Seribu Gua
GUGUSAN pantai yang terbentang di selatan Pacitan—sebuah kabupaten di Jawa Timur yang berjulukan tanah seribu gua—sungguh membelalakkan mata. Pasirnya putih dengan debur ombak tinggi yang garang menghantam karang. Belum lagi suasananya yang sepi membuat pantai seolah-olah milik sendiri.
Di Pacitan, sedikitnya ada 11 pantai yang layak dikunjungi. Namun Watu Karung, Srau, Pancer, dan Klayar merupakan pantai yang keindahan panoramanya tak perlu diragukan.
Kebanyakan ombak yang menghantam gugusan pantai itu bisa diselancari. Tebing karang yang tinggi dan tanaman liar khas pantai masih terlihat lebat mendominasi vegetasi pantai yang alami. Pulau-pulau kecil tanpa penghuni menjadi aksesori tersendiri.
Bagi yang berminat melancong ke pantai-pantai ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ketiadaan angkutan umum yang sampai ke tepian pantai. Kedua, jalur jalannya yang sempit dan berkelok naik-turun. Dengan beberapa kendala perjalanan itu, tak mengherankan kalau hampir semua pantai yang ada di Pacitan terbilang masih perawan.
Soal penginapan tak perlu khawatir. Semua pantai tersebut berdekatan dengan permukiman, sehingga banyak rumah penduduk yang bisa dijadikan rumah singgah.
Ombak Tujuh, Jawa Barat
Bersiap Digulung Tujuh Ombak
Ombak Tujuh adalah pantai tersembunyi yang masuk kawasan wisata Pantai Ujung Genteng, Kecamatan Ciracap, Sukabumi, Jawa Barat—enam-tujuh jam dari Jakarta. Dari namanya bisa langsung dibayangkan betapa idealnya tempat ini untuk dinikmati para peselancar. Ada tujuh ombak yang bergulung berurutan di pinggiran Samudra Hindia.
Pantai Ombak Tujuh sangat sepi dan asri. Hampir tak ada kehidupan, apalagi seliweran orang yang berjualan. Hal ini wajar karena, selain jauh dari permukiman, siapa pun yang hendak menuju bibir pantai cantik ini harus melewati perjalanan yang menegangkan.
Perjalanan bisa diawali dengan lebih dulu menggapai Pantai Ujung Genteng. Dari sana, para petualang bisa menyewa jasa perahu nelayan. Nah, dalam perjalanan ini, pelancong harus siap mental karena perahu yang harga sewanya Rp 50-100 ribu ini bakal meniti ombak yang tinggi.
Jalur lain adalah menggunakan ojek, melalui medan berbatu serta kelokan tajam selama satu setengah jam. Satu hal yang harus dipastikan: pelancong wajib membawa bekal air minum plus makanan. Sebab, di Pantai Ombak Tujuh tak ada yang berjualan. Menyempatkan waktu untuk berkemah dan menghabiskan malam merupakan petualangan yang sangat direkomendasikan.
Sungai Kampar, Riau
Selancar Sungai Terhebat
Pekan ini berlangsung festival selancar sungai di Sungai Kampar, Desa Teluk Meranti, sekitar tujuh jam perjalanan ke timur laut Pekanbaru. Berselancar di sungai? Ya. Hanya ada dua sungai di dunia yang bisa diarungi dengan berselancar. Pertama Sungai Amazon, yang mengalir di Benua Amerika bagian selatan. Sungai lain yang disebut memiliki ombak layaknya laut—yang secara ilmiah disebut gelombang Bono—adalah Sungai Kampar. Untuk kualitas ombak, Kampar lebih hebat daripada Amazon.
Bono merupakan fenomena alam yang terjadi karena pertemuan arus Sungai Kampar dengan arus Laut Cina Selatan. Gelombang yang kuat masuk lewat muara dan mendesak hingga berkilometer jauhnya ke hulu. Desakan itu jelas menimbulkan gelombang serupa ombak yang bisa dinaiki para peselancar.
Uniknya, di Sungai Kampar, gelombang yang tercipta tak hanya satu, tapi tujuh gelombang bersamaan menyapu dengan kecepatan 40 kilometer per jam. Saking takjub dan terpesonanya, masyarakat lokal menyebut keajaiban alam itu: Gelombang Tujuh Hantu.
Bono dengan ketinggian mencapai enam meter biasanya muncul pada purnama bulan Agustus-Desember. Puncak gelombang besar terjadi pada November dan Februari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo