Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gemuruh suara air Gua Barat begitu menguasai rongga telinga kami. Gemanya berdebur tiada henti, tak ingin menyisakan ruang bagi bebunyian lain. Suara dahsyat itu datang dari empasan air terjun yang menghantam keras ke jajaran karst—pelarutan batuan gamping. Lalu tampaklah panorama mengesankan itu: dari gerojokan tirta ribuan kubik tersebut tercipta butiran air yang melayang selembut kapas. Ia terbawa tekanan udara, hingga menyeberang permukaan sebuah telaga mungil. Semua ini ada di dalam gua....
Kami, semuanya berdelapan, menikmati suguhan karya alam itu dengan berbagai perasaan, awal Oktober lalu. Sudah sejauh 4 kilometer, rombongan kami—yang terdiri atas tiga jurnalis Tempo, empat mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan seorang penduduk Kebumen—menyusuri gua di Desa Jatijajar, Kecamatan Ayah, Kebumen, itu. Kini perjalanan sudah sampai di seberang sebuah air terjun. Kami menggigil kedinginan disergap lorong gua yang menyimpan sungai bawah tanah ini.
Tapi petualangan belum usai. Air terjun di seberang bagai mengundang untuk dicumbui. Byur! WahÂyudi Tapawira, seorang dari kami, tiba-tiba terjun ke telaga. Ia berenang ke seberang memenuhi undangan sang jeram. Delapan lampu kepala menyorot. Gulita kami tikam sekadar untuk menciptakan ketemaraman.
Gerakan Wahyudi begitu lincah meski sepatu bot membuntal kaki. Sejumlah karabiner yang bercantel di pinggang, juga tali melingkar di pundak kiri, tak membuatnya ribet bergerak. Maklum, penelusur gua ini sudah berpengalaman menyambangi sekitar 50 gua di pelosok Nusantara.
Sesampai di gerojokan air, Wahyudi mencengkeram tebing. Ia bergerak ke kiri, lalu merayap vertikal setinggi tiga meter. Air bagian ini memang kurang deras. Dia lalu bergeser ke kanan, menuju gempuran air yang lebih sangar. Dalam sekejap, tubuhnya lenyap ditelan guyuran. Atap batu di atas kolam juga menghalangi pandangan kami. Namun gerak-geriknya masih bisa ditandai oleh sorot lampu. Jejak cahayanya terlihat bergerak naik-turun, ke kiri dan kanan.
Setengah jam kemudian, Wahyudi bergerak turun bergelantungan pada tali yang sudah ia pasang. Sebelumnya, ia menambatkan ujung tali persis di batuan semi-horizontal di atas air terjun setinggi 8 meter ini. Tali terus dia tarik melintas permukaan telaga. "Air begitu deras. Rasanya sakit saat mengenai wajah," kata Wahyudi sesaat setelah kembali bersama kami.
Lalu ia menawari Tempo menjajal mendaki bukit air itu. Kami tersenyum dan menggelengkan kepala. Gabriela Setyaputri Noviani, 19 tahun, mahasiswi Atma Jaya, juga emoh. Tapi Eka Pratama dan Yusuf Syahputra, juga dari Atma Jaya, memilih mengambil kesempatan tersebut. Mereka lalu bersiap menjajal titik yang disebut Jump Ulysses itu. Dalam mitologi Yunani, Ulysses adalah petualang cerdik.
Seraya menunggu Eka dan Yusuf, Wahyudi berkisah mengenai ekstremnya Gua Barat. Menurut dia, petualangan sebenarnya baru dimulai setelah melampaui Jump Ulysses itu! Wahyudi bertestimoni, Barat gua paling berat dari semua gua yang pernah ia jelajahi. Ia mengatakan, sekitar 20 meter dari Jump Ulysses, ada air terjun setinggi 32 meter. Itulah Superman's Big Sister. Dia pernah mendaki jeram ini pada Agustus 2010.
Ke arah hulu di atas Superman's Big Sister, ada lubang selebar satu setengah meter yang tembus permukaan tanah. Dari lubang itu, Wahyudi pernah menerobos memakai tali, lalu ikut cucuran air. Dia membutuhkan waktu susur 18 jam!
Ekstremnya Gua Barat juga diceritakan Cahyo Alkantana. Lelaki inilah yang pertama kali menerobos Gua Barat hingga hampir ke ujungnya pada 1996. Dia menelusuri Barat bersama tim gabungan Indonesia-Prancis. Tim itu terdiri atas Cahyo, Galih Prabowo, Agung Wijanarko, George Robert, dan Luc-Henri Fage. Saat itu, mereka berhasil menjejaki gua hingga ruas yang mereka sebut Muddy Passage. Titik ini adalah sekitar 200 meter dari lubang keluar bernama Tataquine.
"Saya tiga hari tidak tidur," ujar Cahyo saat ditemui di rumahnya di Jalan Kenekan, Yogyakarta, 7 Oktober lalu. Ya, tim gabungan itu telah menyiapkan semuanya untuk menghadapi kerasnya tantangan Gua Barat. Saat itu, mereka membawa persediaan makanan berupa roti, cokelat, dan lontong.
Sukses pria kelahiran Yogyakarta pada 1966 yang kini menjabat Presiden Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia itu menembus Superman's Big Sister jadi perbincangan penelusur gua dunia. Sebab, tim-tim sebelumnya gagal.
Pada Desember 1983, misalnya, sebuah tim ekspedisi Belgia hanya mampu mencapai Superman's Big Sister, lalu balik kanan. Begitu juga tim dari Inggris, yang masuk setelahnya. Gagal!
Cahyo mengatakan Gua Barat memiliki setidaknya 100 air terjun. Jeram-jeram itu ada di ruas 2 kilometer terakhir setelah Jump Ulysses hingga Muddy Passage. Tinggi air terjun tersebut dari 1 meter hingga 32 meter. Menurut Cahyo, yang pernah menjelajahi banyak gua di penjuru dunia, "Gua Barat paling berat!" Di hadapan Tempo, ia lalu mengontak Luc-Henri Fage di Prancis. Suara telepon seluler ia keraskan. Dari ujung terdengar Fage menandaskan bahwa Gua Barat adalah lorong gila. "Itu gua paling melelahkan," katanya.
Cahyo menceritakan mereka memberi nama Superman's Big Sister karena saking derasnya air terjun dalam gua. Dia menggambarkan bising air dan empasan angin Superman's Big Sister setara dengan suara tiga helikopter aktif berdekatan. Adapun nama Gua Barat juga sesuai dengan karakter alamiahnya. Menurut Cahyo, di mulut gua kerap berembus angin kencang dari arah dalam. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan udara antara di dalam dan di luar gua. Derasnya air lalu mendorong angin dari dalam menuju arah luar. Angin dalam bahasa Jawa disebut barat.
Penuturan Cahyo klop dengan Ghufroni, 37 tahun, pemandu lokal Gua Barat. Ghufroni tinggal di rumah yang letaknya paling dekat dengan jalan menuju mulut gua. Sejak bocah, ia biasa bermain di gua. Menurut dia, nenek moyangnya memberi nama Gua Barat karena dari dalam gua bertiup angin kencang.
Gua Barat berada di kawasan geologi karst Gombong Selatan. Bagi penggemar wisata nonmainÂstream, amat tak layak melewatkan keindahan-keliaran yang ditawarkan si Barat. Masuklah, dan segera jumpai serakan stalagmit (batu di lantai gua yang terbentuk oleh cucuran material) dan stalaktit (kapur yang tumbuh dari atap goa) di dalamnya. Di sebuah sudut ada stalagmit putih mirip singgasana raja, lengkap dengan altar. Inilah yang disebut keratonan.
Terus melangkah ke dalam, di hampir setiap stalagtit, tampak air jernih siap menetes. Bulirnya sungguh menyerupai mata bening sebelum jatuh ke dasar. Sangat mengesankan!
Ada juga batu kolom tempat menyatunya stalaktit dan stalagmit. Dan, ups, kadang mata kita akan bersirobok dengan ornamen batu gordin di sana-sini. Seperti namanya, batu ini mirip tirai putih berwiru tajam dan berujung lancip.
Buat penelusur gua, perjalanan menuju Jump Ulysses bukan medan ekstrem. Tapi, buat tim Tempo, yang tidak terlatih, lorong gua itu telah membakar energi cukup besar. Kami harus merayapi dinding gua. Di sejumlah bagian, kami setengah berenang menerobos air setinggi dada. Di kilometer 2- 4, penelusur mesti pandai-pandai melewati celah sempit. Kadang perlu berjongkok karena langit-langit gua sangat rendah.
Gua ini juga bagai kerajaan kelelawar. Di sejumlah kubah, ribuan kelelawar tampak berkelepak. Tentu saja, selama perjalanan, bau khas kotoran hewan malam itu akan menyapa hidung. Tapi inilah alam liar, Kawan! Kita tak mungkin berharap karpet merah dan harum kesturi menyertai petualangan semacam ini. Maka, nikmatilah. Ketika tangan telanjang kita tercelup air, misalnya, capit udang akan "menyengat" jemari. Rasanya geli di kulit. Semua ini akan membuat diri kian akrab dengan alam liar. Tak jadi masalah!
Sekitar 2 kilometer dari mulut gua, ada lorong buntu sepanjang 200 meter menuju serong kanan. Menjelang ujung lorong buntu, tanah berukuran 2 x 3 meter telah ditinggikan selutut. Lalu di bagian tengah tampak membujur batu mirip jasad. Di bagian kepala "jasad" terdapat batu nisan bersandar miring. ÂGhufroni mengatakan lokasi itu diyakini sebagai petilasan Kiai Abdul Manaf atau Kiai Tunggul Nogo. Mereka percaya di sanalah Kiai Tunggul Nogo berkhalwat dan wafat.
Menurut Ghufroni, sejumlah pengikut tarekat kerap berziarah ke situ. Ada juga calon legislator, kepala desa, dan kepala daerah yang ngalap berkah. "Malam Selasa Wage dianggap paling baik untuk ziarah," ujar Ghufroni.
Baiklah, bagi pencinta wisata alam liar, hal-hal mistis semacam itu bisa menjadi tambahan wawasan. Ini semacam bonus untuk seluruh kenikmatan penjelajahan Gua Barat—yang saat itu total kami jalani selama 8 jam.
Lalu kini tiba saatnya kembali. Sepatu bot sudah penuh air, membuat langkah terasa memberat. Menjelang pukul lima petang, kami tiba kembali di mulut gua, tempat tadi penelusuran dimulai. Kelelahan mulai mendera, tapi rasanya itu cukup sepadan untuk penjelajahan yang tak biasa ini. Meski demikian, sepertinya masih banyak rahasia Gua Barat yang belum kami ketahui. Ah, tapi masih banyak waktu untuk kelak mengulanginya lagi....
Rute
Perlu sekitar tiga jam dari Yogyakarta untuk menjangkau Gua Barat. Jika naik kereta api eksekutif, kita bisa turun di Stasiun Purwokerto. Dari Purwokerto perlu menempuh sekitar satu setengah jam untuk sampai di lokasi. Mereka yang menggunakan kereta api kelas bisnis dan ekonomi bisa turun di Stasiun Gombong.
Dari Gombong ke Gua Barat, berjarak 30 kilometer, perlu waktu sekitar 30 menit menggunakan kendaraan bermotor. Ada juga bus ukuran tiga perempat yang mengangkut hingga ke terminal Gua Jatijajar dengan ongkos Rp 5.000 dari Gombong.
Menginap
Kapan
DATA
Dekat Gua Jatijajar
GUA Barat baru setahun lalu dikembangkan untuk wisata minat khusus. Gua ini dikelola oleh pemerintah Desa Jatijajar, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen. Pengelola menyediakan peralatan susur gua, seperti helm, pakaian khusus, sepatu bot, dan headlamp, serta pemandu. Satu paket perjalanan bisa dilakukan untuk maksimal 10 orang. Tarifnya Rp 300 ribu. Ada 11 pemandu lokal yang siap mengantarkan pengunjung.
Dari Jakarta, peminat bisa menjangkaunya lewat jalur udara via Yogyakarta. Silakan memilih pemandu profesional dari Yogyakarta atau nanti ditemani pemandu lokal Kebumen. Tarif pemandu dari Yogya berkisar Rp 1 juta per orang. Itu di luar ongkos sewa mobil, penginapan, dan makan. Dari Yogyakarta diperlukan sekitar tiga jam untuk sampai ke Gua Barat.
Jika naik kereta api eksekutif dari Jakarta, Yogyakarta, atau Surabaya, bisa turun di Stasiun Purwokerto. Dari sini perlu menempuh sekitar satu setengah jam untuk sampai lokasi. Mereka yang menggunakan kereta api kelas bisnis dan ekonomi bisa turun di Stasiun Gombong.
Tak jauh dari mulut gua, ada empat rumah tinggal. Sewa kamar per malam Rp 75-150 ribu. Sejumlah hotel juga ada di Gombong. Tarifnya di kisaran Rp 150-400 ribu.
Dari Gombong ke lokasi Gua Barat berjarak 30 kilometer, perlu waktu sekitar 30 menit menggunakan kendaraan bermotor. Ada juga bus ukuran tiga perempat yang mengangkut hingga terminal Gua Jatijajar dengan ongkos Rp 5.000 dari Gombong.
Gua Barat merupakan sungai bawah tanah, sehingga hanya aman disusuri ketika musim kemarau pada Mei-Oktober. Satu kilometer dari Gua Barat, ada Gua Jatijajar, yang sejak zaman Belanda dibuka untuk wisata umum. Di kompleks Gua Jatijajar, ada Gua Dempok dan Gua Intan.
GUA
Grubug-Jomblang, Daerah Istimewa Yogyakarta
Cahaya Tirai Gentong Raksasa
Sederet garis mirip tirai putih menerobos mulut Gua Grubug. Panorama mengesankan itu dihasilkan dari sinar matahari yang memancar di atas kepala. Lalu ada cahaya putih menembus hijau daun ingas dan beringin, yang tumbuh di bibir gua. Inilah Gua Grubug, yang berlokasi di Dusun Jetis Wetan, Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat menengok ke atas, tampak aneka tumbuhan paku mengalung leher mulut gua. Dua bongkah karst raksasa menghadang Tempo bersama tiga penelusur gua dari Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia dan seorang penduduk Kecamatan Semanu saat mulai memasukinya. Kini kami sampai di sebuah punggung batu. Jika berdiri di atasnya, seluruh rongga gua terlihat sekilas mirip gentong.
Dari sini terdengar suara jeram bergemuruh. Tetes air menambah keras deru tersebut. Bunyi gaduh air itu dalam bahasa Jawa disebut grubug. Itulah rupanya asal nama gua ini.
Terhubung lorong sepanjang 200 meter dari Gua Grubug, ada Gua Jomblang. Di dasar Jomblang terhampar hutan purba seluas seperempat lapangan bola. Di sini tumbuh pohon khas, berbuah mirip cabai rawit. Ada juga palem berdaun mirip sayap kupu-kupu, bergerigi, dan berlubang.
Bagi pencinta wisata nonmainstream, sepasang gua ini sungguh layak dikunjungi.
Pute, Sulawesi Selatan
Liang Dinding Putih Menghunjam
Leang Pute atau Gua Pute menerobos tanah di Dusun Pattiro, Desa Labuaja, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Gua vertikal ini menusuk bumi hingga 273 meter dengan diameter lubang 50 meter. Leang Pute berada di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Orang menyebutnya Leang Pute karena dinding gua berwarna putih. Leang dalam bahasa Maros berarti gua, sedangkan pute adalah putih.
Tim ekspedisi Inggris pada 1980-an berhasil menemukan Leang Pute. Tim Indonesia lalu melanjutkan ekspedisi tersebut. Untuk mencapai dasar gua, penelusur perlu setidaknya 45 menit, menggunakan tali SRT (single rope technique). Kekuatan fisik penelusur sangat penting. Ada kisah penelusur gua pingsan di dasar gua karena kelelahan. "Gua ini menguji mental dan adrenalin," kata penelusur gua dari Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia atau Hikespi, Wahyudi Tapawira, awal Oktober lalu.
Wahyudi menelusuri Leang Pute bersama 60 orang pada 2009. Mulut Leang Pute mirip gentong besar. Menurut Wahyudi, penelusur biasa mengelompokkan gua ini sebagai single pitch. Di dasar yang berpasir terdapat tanaman kayu putih dan kayu besi. Air mengalir di pinggiran gua. Tebingnya berbatu. "Saya harus merayap turun," ujar Wahyudi.
Leang Pute punya teras bernama Gua Dinosaurus, yang bergaris tengah 80 meter. Ketika matahari lurus di atas kepala, cahayanya menembus hingga dasar gua. Aneka tanaman paku dan perdu tumbuh di dasar gua berkontur naik-turun ini.
Salukkan Kallang, Sulawesi Selatan
Bunda Sungai Bawah Tanah
GUA Salukkan Kallang berada di Dusun Kappang, Kecamatan Bantimurung, Maros, Sulawesi Selatan. Salukkan Kallang, yang merupakan aliran sungai bawah tanah, terletak di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Salah satu mulut gua terletak di pintu masuk Dusun Kappang. Lebar mulut gua ini mencapai 20 meter dengan kedalaman 150 meter dari permukaan tanah. Titik ekstrem ada di mulut gua pertama atau K1. Mulut gua lain bernama K2, K3, dan K4. Salukkan Kallang memiliki kemiringan 15 derajat.
Gua ini tak jauh dari jalan raya Makassar-Maros-Bone. Salukkan Kallang berasal dari bahasa Makassar yang berarti lorong gelap. Penelusur hanya bisa masuk gua pada musim kemarau. Sebab, pada musim hujan, "Banjir bisa mengancam," kata penelusur gua dari Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia atau Hikespi, Wahyudi Tapawira.
Di dalam gua, para penelusur akan menemui air terjun setinggi 5 meter. Tak jauh dari sana terdapat rongga raksasa. Air terjun itu bukan satu-satunya karena di sebuah ruang besar ada air terjun setinggi 40-50 meter. Ada lagi air terjun setinggi 5 meter di sudut lain. Di bawah air terjun itu terdapat kolam berdiameter 6 meter.
Salukkan Kallang memiliki panjang 12,6 kilometer. Ini gua terpanjang di Sulawesi Selatan. Boleh dikata Salukkang Kallang adalah ibu semua sungai bawah tanah di kawasan karst Maros. Dari sana, sungai bermuara ke air terjun Bantimurung. Tim identifikasi dan pemetaan sebaran gua alam di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada 2010 mencatat ada 19 gua di kawasan ini.
Jaran, Jawa Timur
Tipis Oksigen dan Penuh Labirin
GUA Jaran kaya ornamen. Sepanjang lorong gua yang berlokasi di Desa Jlubang, Kecamatan Pringkuku, Pacitan, ini penuh stalagtit dan stalagmit. Batu makrogourdam dan mikrogourdam terlihat menyebar. Panjang gua yang sudah dipetakan oleh tim Indonesia dan Inggris pada 1994 adalah 25 kilometer.
Penelusur gua Cahyo Alkantana adalah sosok yang berhasil memetakan gua ini. Sampai sekarang, orang belum tahu di mana gua berujung. Untuk masuk ke gua, penelusur harus turun 14 meter secara vertikal.
Ekstremnya Gua Jaran pernah dirasakan penelusur dari Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia, Wahyudi Tapawira. Ia ke sana pada Agustus 2007 dan Mei 2009 bersama tiga mahasiswa pencinta alam Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Saat itu, mereka berhasil menembus hingga 6 kilometer.
Gua Jaran merupakan sungai bawah tanah. Di dalam gua itu ada ruang besar seluas setengah lapangan sepak bola. Para penelusur menyebut rongga besar ini sebagai hall. Air terjun meluncur 6 meter di dekatnya. "Orang harus susah payah merangkak," kata Wahyudi.
Sebelum mencapai hall, ada ruang yang menyempit. Inilah titik ekstrem di sana karena tipis oksigen. Menurut Wahyudi, keadaan ini disebabkan oleh pengaruh beda ruangan. Dari lorong lebar mendadak bertemu dengan rongga sempit. Setelah itu, bertemu lagi dengan ruang sangat besar. Dalam hall besar menuju 25 kilometer "ujung" gua, banyak rongga yang saling terhubung, mirip labirin.
Binaiya, Maluku
Kumpulan Lubang di Puncak Tinggi
GUA Binaiya di Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram, Maluku, punya setidaknya 24 mulut gua. Lubang gua berada pada ketinggian 2.127 meter di atas permukaan laut. Gua ini berada di Gunung Binaiya, yang berketinggian 3.035 meter di atas permukaan laut. Gua vertikal ini tidak dalam—antara 2 dan 7 meter—serta miskin ornamen.
Gua Binaiya berada di kawasan karst Binaiya. Tidak seperti kebanyakan gua di Jawa yang berhawa hangat, Binaiya lembap sehingga tubuh terasa dingin ketika berada di lubang gua. Banyak burung sriti bersarang. Secara fisik, kumpulan gua ini tak menantang. Yang menantang justru saat berupaya menjangkau gua ini.
Tim mahasiswa pegiat alam Satu Bumi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengalami hal itu saat mengadakan ekspedisi Binaiya, Agustus lalu. Dari berdelapan orang, hanya tiga orang yang mencapai ketinggian gua. Mereka adalah Hilary Reinhart, Shabrina Tamimi, dan Rahmad Suyudi.
Saat itu, dari Ambon rombongan menuju Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah. Dari Masohi, perjalanan dilanjutkan ke kawasan Taman Nasional Manusela. Untuk sampai ke Negeri Kanikeh, desa terakhir sebelum menggapai puncak Binaiya, dibutuhkan waktu lima hari. "Sebelum naik Binaiya, tim diberkati tetua adat setempat," kata Hilary Reinhart.
Tim butuh enam hari dari desa terakhir untuk menuju puncak. Mereka melewati berbagai medan, dari menyusuri sungai, lumpur sedalam dengkul, hingga hutan belantara. Langkah pun perlu waspada karena semak dan lumut menutupi muka tanah hutan. Dengan segala tantangan alam liar ini, tentu kepuasan mencapai mulut gua menjadi demikian tak tepermanai.
Tewet, Kalimantan Timur
Jejak Telapak Tangan Purba
Ini gua yang paling nyeni. Di dalam Gua Tewet terdapat ornamen lukisan purba dengan aneka motif. Setidaknya ada 200 lukisan purba berbagai corak: garis, titik-titik, dan polos. Ada pula lukisan telapak tangan dengan warna merah, cokelat, dan hitam. Peneliti biasa menamai lukisan ini rock art paint.
Diperkirakan lukisan di gua yang berlokasi di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat, Desa Tepian Langsat, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur, ini berumur 10 ribu tahun. Menurut Adi Kusumo, penelusur gua dari Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia, masyarakat Desa Tepian Langsat percaya lukisan telapak tangan itu melambangkan hubungan mereka dengan arwah leluhur.
Tewet merupakan gua horizontal. Atap gua berbentuk kubah. Untuk mencapai ke sana dibutuhkan perjalanan 15 jam dari Balikpapan. Lalu, dari kampung terdekat, pengunjung harus menggunakan perahu ketinting.
Tewet pernah menarik minat penelusur gua asal Prancis, Luc-Henri Fage, dan Pindi Setiawan dari Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung untuk menelitinya pada 1988-1999. Menurut cerita penduduk Desa Tepian Langsat, Tewet adalah nama orang yang pertama kali menemukan gua ini pada 1964.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo