Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMUA bermula pada 2 Juli, 10 tahun silam. Hari itu, Menteri Keuangan Thailand, Thanong Bidaya, dan gubernur bank sentral Thailand, Rerngchai Marakanond, mengumumkan keputusan pemerintah bahwa kurs bath, mata uang negeri itu, diserahkan kepada mekanisme pasar.
Keputusan itu adalah bendera putih bank sentral yang enam bulan terakhir menghabiskan miliaran dolar untuk menjaga nilai baht dari serangan spekulan. Akibatnya, nilai kurs baht mendadak terjun bebas. Dalam satu hari, nilai tukar yang 12 tahun sebelumnya dipatok 25 baht per US$ 1 ambrol 15–20 persen. Titik nadir 56,5 baht per US$ 1 dicapai lima bulan kemudian.
Dampak itu membuat orang terkesiap. Utang luar negeri Thailand meroket menjadi US$ 120 miliar, padahal negeri itu nyaris tak punya celengan. Nilai kredit macet ikut melonjak menjadi 1.800 miliar bath—sekitar 46 persen dari total kredit perbankan.
Lantai bursa guncang. FinanceOne, perusahaan pembiayaan terbesar di pasar saham saat itu, bangkrut. Direktur utamanya, Pin Chakkapak, terbang ke London, Inggris, setelah dituduh melarikan uang senilai US$ 50 juta. Tahun itu, tak kurang dari 22 perusahaan yang listed di bursa Thailand tutup. Thailand mengawali krisis ekonomi di Asia.
ORANG Thailand mengenang peristiwa 10 tahun lalu itu dengan perasaan yang tak seragam. Sai Gam, 41 tahun, seorang petani leci di Ba Pieng Lueng, sebuah desa terpencil nun di kaki perbukitan Chiang Mai, 700 kilometer di barat laut Bangkok, mengikuti drama runtuhnya perekonomian Thailand dari surat kabar. ”Buat kami, tidak ada krisis, no crisis,” katanya tertawa.
Viroj NaRanong, analis ekonomi dari Thailand Development Research Institute, mengatakan tak semua penduduk Siam mengetahui dampak krisis moneter terhadap mereka. ”Tapi di Bangkok, dampak itu sangat terlihat,” katanya. Ribuan orang kehilangan pekerjaan, pabrik tutup dan proyek-proyek konstruksi raksasa ditinggalkan begitu saja. ”Massif, dampaknya massif,” katanya.
Benchaphun Ekasingh, guru besar Universitas Chiang Mai, mengaku masih ingat ada gelombang besar kepulangan warga dari Bangkok kembali ke kampung halaman mereka di utara pascakrisis itu. ”Mereka yang diberhentikan, pulang dan kembali menjadi petani,” katanya. Pertanian menjadi tempat mereka bertahan dan berlindung, menanti mendung ekonomi pupus.
Di jantung pemerintahan Thailand, bencana itu memicu persoalan lain: krisis politik. Keputusan Perdana Menteri Chavalit Yongchaiyudh melepaskan kendali baht dinilai menjerumuskan Siam ke dalam krisis hebat. Tiga bulan setelah keputusan itu, Chavalit mengundurkan diri.
Penggantinya, Chuan Leekpai, Ketua Partai Demokrat, ternyata tak lepas dari kritik. Dia dihujat karena manut saja pada program restrukturisasi ekonomi Dana Moneter Internasional (IMF). Didorong ketakpuasan publik pada Leekpai, Januari 2001, sebuah partai baru, Thai Rak Thai, menang dalam pemilu dengan suara mayoritas. Ketuanya, saudagar telekomunikasi yang kaya-raya, Thaksin Shinawatra, naik ke tampuk kekuasaan. Era Thaksinomics pun dimulai.
Pada masa inilah Thailand menggeliat. Semua indikator makroekonomi membaik. Angka kemiskinan turun dari 21,3 persen (2000) menjadi 11,3 persen (2004). Pertumbuhan ekonomi mencapai titik tertinggi 6,9 persen pada 2003. Utang sektor publik turun dari 57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2001 menjadi 41 persen lima tahun kemudian. Selain itu, cadangan devisa yang hanya US$ 30 miliar saat Thaksin menjadi perdana menteri berlipat dua menjadi US$ 64 miliar pada 2006.
Setelah dilantik, Thaksin mendirikan Thailand Asset Management Corporation, lembaga mirip Badan Penyehatan Perbankan Nasional di Indonesia. Akhir 2006, lembaga ini menerima lebih dari 15 ribu kasus kredit macet dengan nilai 775,7 juta baht. Kinerjanya sejauh ini tak bermasalah meski sempat dikritik lamban di awal aksinya. ”Tingkat pengembalian (recovery rate) kami sementara masih 48,09 persen,” kata Atittaya Chanthunyagarn, Manajer Perencanaan dan Informasi lembaga itu. BPPN Thailand ini akan bekerja hingga 2011.
Karena itu, sulit menafikan peran Thaksin dalam pemulihan ekonomi Thailand. ”Prioritas Khun Thaksin sejak awal adalah percepatan pembangunan ekonomi,” kata bekas juru bicara pemerintahan Thaksin, Jakrapob Penkair. Khun adalah panggilan penghormatan khas Thai kepada seseorang.
Tempo menemui Jakrapob di belakang panggung aksi demonstrasi menuntut turunnya junta militer Thailand di lapangan Sanam Luang, Bangkok, akhir Juni lalu. Sekitar seribu orang menyemut di lapangan depan Istana Raja Bhumibol sore itu. Emosi mereka sedang naik. Sepekan sebelumnya, Thaksin baru saja berbicara, membakar semangat pendukungnya lewat telekonferensi dari London. Puluhan polisi mengawasi aksi itu dari kejauhan. ”Publik pada akhirnya akan berpihak pada kami, tunggu saja,” kata Jakrapob, saat ditanya soal respons publik Bangkok yang adem ayem menyaksikan kudeta militer di depan mata.
Warisan terbesar Thaksin, kata Jakrapob, ada dua: sistem jaminan kesehatan nasional dan program penyaluran mikrokredit desa di Siam. ”Dua program itu memberikan kebebasan ekonomi dan demokrasi kepada orang Thai, terutama untuk mereka yang hidup di kampung-kampung,” katanya.
Karier politik Thaksin berakhir tengah malam pada 19 September 2006. Sekelompok jenderal Angkatan Darat yang menamakan diri Dewan Reformasi Demokrasi di bawah Monarki Konstitusional menggulingkan pria 57 tahun asal San Khampaeng, Chiang Mai, itu.
KINI badai itu sudah berlalu. Pasar saham Thailand yang dulu lebur diguncang krisis, kini tegak. Pada 2001, indeks bursa ini tumbuh 117 persen, menjadikannya salah satu pasar saham yang paling cepat pertumbuhannya di dunia. Nilai total kapitalisasi pasar modal yang pada 1997 hanya 1,1 triliun baht, kini naik drastis menjadi 6 triliun baht, dan melibatkan lebih dari 12,7 juta pemegang saham langsung maupun tak langsung.
Performa investasi juga menjanjikan. Deputi Sekretaris Jenderal Badan Investasi Thailand, Thamrong Mahajchariyawong, dengan bangga menunjuk nilai investasi (Foreign Direct Investment) Thailand pada triwulan pertama 2007 yang mencapai US$ 3 miliar. Padahal, 10 tahun lalu nilai total investasi asing ”hanya” US$ 3, 6 miliar. ”Kami yakin tahun ini saja nilai investasi langsung sudah tiga kali lipat dibanding 1997,” kata Thamrong. Tahun lalu, nilai FDI Thailand mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah: US$ 9,5 miliar (Rp 85,5 triliun).
Perlahan tapi pasti, ekonomi Thailand menggelinding. Perkembangan paling menjanjikan berasal dari sektor ekonomi yang tidak lecet oleh krisis 1997: pertanian. Kini Thailand tercatat sebagai produsen terbesar di dunia untuk produk karet alam, beras, ikan tuna kalengan, ikan segar dan beku, serta nanas kalengan. Nilai ekspor totalnya tahun lalu US$ 10,22 miliar (Rp 92 triliun). Meski sumbangannya terhadap PDB hanya 10,4 persen, hampir separuh dari 35,5 juta pekerja Thailand bekerja di sektor ini.
”Sebelum krisis moneter, ekspor pertanian masih bertumpu pada bahan mentah,” kata Thamrong. ”Sekarang kami membangun industri pengolahan makanan yang memberi nilai tambah lebih besar,” katanya. Tahun depan, sebuah kompleks industri makanan bersertifikat halal seluas 5.000 meter persegi mulai dibangun dengan investasi dari Timur Tengah.
SALAH satu industri pengolahan makanan yang paling moncer di Thailand adalah grup konglomerat Charoen Popkhand. Gedung markas perusahaan ini berlantai 30, menjulang di kawasan bisnis Silom Road, Bangkok. Saat berkunjung ke sana, Tempo ditemui eksekutif Charoen Popkhand Food Ltd. ”CEO kami, Dhanin Chearavanont, sedang ke Cina,” katanya. Dhanin adalah figur penting di CP Grup—demikian kelompok usaha bernilai US$ 14 miliar ini biasa dikenal.
Charoen Popkhand Food adalah hasil konsolidasi 20 usaha CP Grup di bidang agribisnis pada 1998. Penggabungan itu mendongkrak nilai penjualan dari 35,6 juta baht (1998) menjadi 124,93 juta baht tahun lalu. Produk utamanya adalah makanan beku, terutama dari ayam dan udang, yang diekspor ke Amerika, Jepang, dan Eropa.
Charoen Popkhand menerapkan prosedur pengolahan produk yang ketat. Mereka menguasai sektor hulu—ladang, tambak, dan peternakan—dan hilir: distribusi ke pelanggan. Ada 3.600 warung 7-Eleven milik Charoen di seluruh Thailand yang melayani 1,7 juta orang. Belum lagi jaringan supermarket Lotus kerja sama dengan Tesco (Inggris) dan Makro (Belanda).
Namun, keunggulan strategis utama Charoen bukan pada distribusi, tetapi inovasi teknologi. Tim riset CP, misalnya, mengembangkan jenis ikan baru yang disebut ikan tubtim. Pembibitan udang dapat perhatian khusus. Kini, ekspor bibit udang Charoen ke Amerika, Asia, dan Eropa bernilai miliaran dolar.
Untuk meniru kesuksesan model Charoen, jutaan petani Siam harus punya akses dua hal: modal dan teknologi. Bisakah? Meski tak punya tim riset sendiri, petani Siam punya senjata pamungkas lain: Biotec. Ini pusat riset semiotonom untuk rekayasa genetika dan bioteknologi. Laboratoriumnya di Science Park bersebelahan dengan Universitas Thammasat, Pathumthani, di pinggiran Bangkok. ”Kuncinya kami identifikasi kebutuhan petani, itu yang kita sediakan,” kata Direktur Biotec, Prof. Morakot Tanticharoen.
Biotec sudah memulainya. Lembaga itu kini meneliti padi Jasmine Super yang bisa ditanam di dataran rendah. ”Padi ini tahan banjir, namun tetap harum dan enak,” kata Morakot. Riset varietas ini akan rampung pada 2010.
Morakot menyarankan petani membidik pasar khusus. ”Misalnya ada daerah yang khusus memproduksi beras Jasmine, ada yang khusus beras untuk sereal, dan seterusnya,” ujarnya. Untuk itu, pertanian harus dikelola dengan sistem zona. Setiap daerah harus punya data kualitas tanah dan varietas tanaman yang cocok di sana.
Untuk mewujudkan mimpi itu Biotec bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Koperasi Thailand. ”Kami memasuki fase kedua pengembangan pertanian,” kata Menteri Pertanian Thailand, Thira Sutabutra, kepada Tempo di Bangkok. Dalam fase ini, pengolahan produk penting untuk mendongkrak nilai jual. Ini membuat ekspor pertanian Siam tahun lalu naik 20 persen. Biofuel dari tapioka dan tebu target berikutnya. ”Dalam 10 tahun, Thailand akan unggul di bidang ini.”
Departemen Pertanian dan Koperasi Thailand sadar betul akan potensi ekonomi sektor ini. ”Harga barang manufaktur cenderung turun, tapi harga produk pertanian naik terus,” kata Sutabutra sambil tertawa. Untuk itu, selain bantuan teknis, irigasi dan pupuk, petani Thailand juga mendapat kredit berbunga rendah lewat sebuah lembaga keuangan khusus, Bank Pertanian dan Koperasi Thailand.
Boonlert Chimsuwan, 45 tahun, petani jeruk di Distrik Fang, Provinsi Chiang Mai, mengaku usahanya tumbuh berkat kredit Bank Pertanian. Boonlert sudah seperempat abad bertani. Kini luas kebunnya 800 hektare.
Boonlert semula bertanam padi sebelum beralih ke bawang putih karena harganya bagus. Pada 1981, karena harga buah naik gila-gilaan, dia banting setir menanam leci. Ketika pasar bergairah 2002, dia mendiversifikasi produk. Kini dia menanam jeruk, mangga, dan buah naga (thang loy atau dragon fruit). Produknya diekspor ke Cina dan Taiwan.
Keberhasilannya tidak bisa lepas dari bantuan modal pemerintah. Setiap 60 hektare lahan bisa untuk jaminan kredit 1 juta baht dari Bank Pertanian dan Koperasi Thailand. Masa pengembalian 15 tahun dan bunga 8 persen setahun. Mengembalikannya perkara enteng. Dari sekali panen leci, Boonlert meraup 3,5 juta baht. Itulah sebabnya warga Thailand kini seperti melupakan krisis ekonomi 10 tahun silam. Kepada Tempo seorang warga Bangkok berkomentar tentang peristiwa itu. Katanya, bertanya, ”Krisis? Krisis apa?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo