Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKILAS, tidak ada yang luar biasa dari hutan di lereng pegunungan Doi Tung, Provinsi Chiang Rai, itu. Di dataran setinggi 1.100 meter di atas permukaan laut itu, pohon lebat menghijau sejauh mata memandang. Jika diperhatikan baik-baik, barulah tampak deretan pohon kopi di sela pepohonan, terlindung dari sengatan matahari. Ada ratusan ribu pohon kopi di area seluas lebih dari 400 hektare itu. ”Ini kami namakan hutan ekonomi,” kata Narong Apichai, manajer wirausaha sosial di proyek Doi Tung, kepada Tempo, akhir Juni lalu.
Hutan ekonomi Doi Tung, yang terdiri atas kopi dan kacang makademia, adalah bagian dari inisiatif Kerajaan Thailand untuk menyelamatkan hutan di perbatasan Thailand-Myanmar. Dua dekade silam, hampir separuh wilayah seluas 150 kilometer persegi itu gundul akibat perladangan berpindah. Sekarang, selain hutan ekonomi yang disebut Narong, ada hutan lindung sekitar 1.400 hektare di puncak-puncak perbukitan. Sulit menyangka daerah asri ini dulu perbukitan meranggas yang penuh debu.
Penghutanan kembali Doi Tung bukan pekerjaan mudah. Kawasan ini dulu masuk area Segitiga Emas—daerah delta Sungai Mae Kong yang mempertemukan perbatasan Thailand, Laos, dan Myanmar—yang tenar dengan opiumnya. Tidak kurang dari 150 ton opium dihasilkan daerah ini setiap tahun. Chiang Rai terletak 830 kilometer di sebelah utara Bangkok.
Perlahan, para peladang opium ini insaf. Sebagian besar dari mereka berasal dari suku Shan, Akha, dan Lahu—penduduk pegunungan yang miskin dan berpendidikan rendah. Ada juga yang merupakan pelarian Kuomintang dari Tiongkok. ”Kuncinya adalah menyediakan alternatif pendapatan untuk mereka,” kata Narong. ”Ini bukan soal opium, melainkan soal ekonomi.”
Walhasil, hidup banyak orang berubah drastis. Sekarang lebih dari 2.500 keluarga suku-suku pegunungan yang semula menggantungkan hidup pada opium beralih menanam kopi, kacang makademia, sayur-mayur, dan komoditas pertanian lain. Penghasilan warga pun meroket sepuluh kali lipat dari 3.500 baht per tahun per orang pada 1988 menjadi 30.700 baht pada 2003.
Untuk memastikan keberhasilan program ini, lebih dari 10 ribu penduduk di kawasan itu didata. ”Nama, sidik jari, dan foto setiap orang di sini, dari balita sampai orang tua, tercatat dalam database kami,” katanya. Data itu diperbarui setiap lima tahun. Dengan demikian, kesehatan, kesejahteraan, dan masalah mereka bisa dipantau dan dicarikan solusinya.
Sejak itu, Doi Tung beralih rupa, menjadi pusat agrobisnis di sisi paling utara Thailand. Jalan penghubung Kota Mae Chan, Chiang Rai, dengan puncak Doi Tung mulus diaspal. Rumah-rumah warga tertata rapi dan bersih. Ini kontras dibanding dua dekade lalu. ”Saat itu klinik, sekolah, dan jalan raya tidak ada,” kata Narong.
Hasil panen kopi dan kacang makademia dari Doi Tung tidak dijual dalam bentuk mentah. Semuanya diolah dan dikemas apik sebelum dipasarkan. ”Pengolahan penting untuk mendongkrak harga,” kata Piondioen Sangkeankaw, manajer pabrik pengolahan kacang makademia di sana.
Piondioen membawahkan 25 pengumpul kacang makademia. Pohon makademia setinggi rambutan dan butuh 8-10 tahun untuk berbuah. Namun, sekali berbuah, dengan perawatan baik, makademia bisa berproduksi sampai lebih dari 80 tahun.
Pabrik kacang Doi Tung sendiri tak besar, hanya seluas dua lapangan bulu tangkis dengan dua lantai. Piondioen menjelaskan bagaimana kacang mentah diolah sampai siap dikonsumsi. ”Proses ini butuh 15 hari,” katanya. ”Semua untuk pasar domestik,” kata perempuan energetik ini.
Dengan pengolahan yang baik, produksi Doi Tung jadi berlipat. Bandingkan saja: jika dijual biasa, harganya per kilogram hanya US$ 2. Setelah dimasak, diberi bumbu rempah, dan dikemas, harga sekilo kacang makademia lompat sepuluh kali lipat. ”Apalagi kalau dilapisi cokelat dan dijual sebagai manisan, jadi US$ 100 per kilogram,” kata Piondioen seraya tertawa.
Panen kopi mendapat perlakuan sama. Pengelola proyek Doi Tung lebih suka menjual produknya dalam secangkir cappuccino ketimbang biji kopi mentah. Lebih dari selusin kafe dan toko Doi Tung kini berdiri di seantero Thailand—sebagian besar di Bangkok. ”Kami akan menjadi the next Starbucks,” kata Boonsiri Phongsawadi, manajer pariwisata Doi Tung. Total profit tahun lalu 45 juta baht atau setara dengan Rp 13,5 miliar.
Pendeknya, Doi Tung menyediakan model agrobisnis idaman Thailand. Negeri itu memang sudah lama ingin beranjak dari masa ketika hanya menjual mentah hasil panen. Dua tema kunci, produktivitas dan nilai tambah, kini jadi fokus kerja Departemen Pertanian dan Koperasi Thailand. ”Tanpa itu, kami tidak bisa bersaing,” kata Menteri Pertanian Thira Sutabutra di Bangkok pertengahan Juni lalu.
Untunglah pemerintah Siam tidak sendirian. Raja Thailand Bhumibol Adulyadej sudah lama dikenal peduli pada kehidupan petani. Lebih dari 2.000 proyek kerajaan serupa Doi Tung berkembang di seluruh Siam dan menjadi ujung tombak pengembangan pertanian dan agrobisnis Thailand. Embrio proyek Doi Tung, misalnya, adalah gagasan ibunda Raja Bhumibol, Putri Srinagarindra Boromarajajonani. Meski Thailand adalah monarki konstitusional, tidak ada campur tangan pemerintah dalam proyek kerajaan seperti ini. Seperti kata Boonsiri, ”Kami ini seperti swasta saja.”
Proyek kerajaan lain yang tak kalah mencorong ada di Chiang Mai, 700 kilometer di barat laut Bangkok. Raja Bhumibol memulainya pada 1969 karena prihatin melihat suku-suku pegunungan hidup dari berladang opium. Sekarang 300 desa dengan 80 ribu penduduk jadi bagian proyek ini. Empat laboratorium riset dan 35 pusat pengembangan masyarakat dibangun intensif 15 tahun terakhir, untuk memperkenalkan teknologi baru kepada petani. Sebagai pengganti opium, warga menanam 8 jenis buah, 10 jenis bunga, dan 26 jenis sayuran. Produknya dijual dengan label Doi Kham, yang berarti ”Gunung Emas”. Total omzetnya lebih dari US$ 800 juta.
Pemasaran pun mendapat sentuhan khusus. Sayuran dan buah organik Doi Kham dijual untuk restoran dan supermarket kelas atas di Bangkok. Sedangkan yang sedikit cacat diolah kembali menjadi jus buah, sirop, anggur, bumbu masak, dan penganan kecil. Harganya di atas rata-rata karena dijamin seratus persen bebas bahan kimia.
Salah satu pusat riset proyek itu ada di pegunungan Doi Ankhang, di distrik Fang, tiga jam perjalanan dari Kota Chiang Mai. Ketika Tempo bertandang ke sana, warga desa sedang sibuk mengumpulkan hasil panen sayur-mayur. Ada selada, sawi, dan kol. Tiga kali sepekan, administrator proyek kerajaan di Doi Ankhang mengirim dua truk trailer penuh sayur segar ke Bangkok. ”Kami menerima hasil panen dari sekitar seratus petani lokal,” kata Poo Leat, seorang pekerja di sana.
”Sejak 30 tahun lalu, kerajaan mengembangkan pertanian,” kata Profesor Benchaphun Ekasingh, peneliti di Universitas Chiang Mai, yang mengepalai lembaga riset pertanian di sana. Mereka bekerja bahu-membahu: kerajaan membuka akses pasar, sementara lembaga riset Benchaphun mendidik soal teknologi. Internet salah satunya. ”Kami ingin petani bisa memantau harga komoditas di pasar dunia.”
Benchaphun yakin masa depan ekonomi Thailand tak lepas dari sektor pertanian. Dia tak yakin sumbangan pertanian pada total PDB Thailand hanya 10 persen. ”Angka itu undervalued,” katanya. Sebab, pengolahannya di pabrik sehingga kontribusinya di statistik jadi bagian manufaktur.
Pekerjaan rumah Thailand saat ini, menurut dia, adalah peningkatan produktivitas, manajemen, dan teknologi. ”Pertanian harus bersinergi dengan industri,” katanya. Tanpa itu, ia khawatir petani Thailand akan tergilas banjir beras dan buah murah dari Cina, Vietnam, dan Laos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo