Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PA Noi, 50 tahun, perempuan penjual sayur di Pasar San Khampaeng, Chiang Mai, mengaku masih menunggu Thaksin Shinawatra. Tempo bertemu dengannya di sebuah pojok dekat warung penjual daging ayam, akhir Juni lalu. Siang itu, pasar sepi pembeli. Sambil berbicara, Noi sibuk menghalau lalat yang hinggap di jualannya.
Thaksin Shinawatra adalah mantan Perdana Menteri Thailand, yang terguling dalam kudeta militer September 2006. ”Apa pun kata Thaksin, saya ikut,” ujarnya. Noi mengenakan kaus putih dengan tulisan besar-besar dalam bahasa Thai, yang artinya ”Thaksin berjuanglah”.
Di San Khampaeng, Noi tak sendiri. Thaksin lahir di kota ini. Keluarganya punya toko sutra yang laris, Shinawatra Thai Silk, di pinggiran kota. Dinding toko itu penuh foto Thaksin semasa jadi perdana menteri. ”Dulu kota ini sepi,” kata Somsak Khamai, pemilik apotek di jalan utama San Khampaeng. Baru setelah partai Thaksin, Thai Rak Thai, menang pemilu 2001, seantero kota berubah wajah. Jalan-jalan diaspal dan toko baru bermunculan. ”Bagi saya, Thaksin berhasil.”
Pendapat Khamai ini umumnya dipercaya publik Thai empat tahun lalu. Namun, pada 2005, memasuki pengujung masa pemerintahannya, situasi berbalik. Banyak orang mulai gelisah dan mempertanyakan strategi Thaksinomics-nya yang terkenal itu.
Strategi pembangunan Thaksin bertumpu dua pendekatan: merangsang pasar domestik dan menjaga ekspor kompetitif. Resep pembangunan yang mengandalkan modal asing di manufaktur dan buruh murah dinilai tak efektif mengangkat ekonomi Thailand. Thaksin tak sepenuhnya percaya pasar: intervensi tetap penting.
Untuk itu, Thaksin menggelontorkan miliaran baht buat program bagi-bagi kredit untuk masyarakat yang tak punya akses modal. Petani, nelayan, dan pedagang kaki lima bersukacita. Penyaluran kredit berbunga rendah melalui dua bank: Bank Rakyat dan Bank Usaha Kecil dan Menengah, yang khusus didirikan Thaksin untuk program ini. Program andalannya adalah ”Dana Pedesaan”, sebuah sistem kredit bergulir untuk 70 ribu desa di seantero Siam. Setiap desa mendapat jatah 1 juta baht (sekitar US$ 24 ribu), yang kemudian dipinjamkan kepada warga berbunga 4 persen per tahun. Pemerintah mengampuni utang petani tiga tahun.
Tak hanya itu, selama masa pemerintahan Thaksin, infrastruktur dibangun. Suvarnabhumi, bandar udara baru di Bangkok yang ultracanggih, dibangun atas perintahnya. Sedangkan pembangunan kawasan industri khusus di pesisir timur Thailand memakan US$ 11 miliar. Bangkok kini menjadi metropolitan dengan kereta bawah tanah senilai US$ 2 miliar dan kereta layang senilai US$ 1,3 miliar.
Untuk mendorong ekspor, Thaksin memberikan keringanan pajak, mempermudah perizinan, serta mendirikan zona ekonomi khusus untuk industri. Zona paling moncer adalah Kawasan Ekonomi Pesisir Timur, dua jam perjalanan ke tenggara Bangkok. Di sana berdiri 26 zona industri—12 di antaranya dikelola swasta—yang menampung 1.300 pabrik dan mempekerjakan 350 ribu orang. Total investasi asing di sana 788 miliar baht (US$ 20,8 miliar).
Di bawah Thaksin, ekonomi Thailand tumbuh dari 4,5 persen (2002) menjadi 6,9 persen (2003) dan 6,1 persen (2004). Karena itu, eks juru bicara Thaksin, Jakrapob Penkair, tak putus-putusnya menyesali kudeta terhadap bekas bosnya. ”Kalau saja Thaksin dibiarkan menuntaskan kerjanya, Thailand akan sangat berbeda,” katanya kepada Tempo di sela demonstrasi antikudeta di Lapangan Sanam Luang, Bangkok, pertengahan Juni lalu.
Awal 2006 menandai titik balik masa keemasan Thaksin. Para penentangnya turun ke jalan karena ia dituduh menjalankan nepotisme dan menggelapkan pajak penjualan perusahaan telekomunikasi raksasa, Shin Corp., kepada Temasek Singapura. Enam bulan mereka berdemo, Thaksin terguling.
Lalu apa setelah Thaksin? Pidato Raja Thailand Bhumibol Adulyadej pasca-krisis moneter 1997 soal filosofi pembangunan ekonomi berkecukupan (self-sufficiency economy) kini kembali ramai disebut. Konsep yang menekankan kemandirian, kesinambungan, dan moderasi itu dinilai sebagai antitesis Thaksinomics.
Namun Viroj NaRanong, ekonom Thailand Development Research Institute, khawatir pemerintah pasca-Thaksin tak mampu menerjemahkan konsep itu. ”Konsep itu baik, tapi bisakah diterapkan?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo