Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Amir atau pimpinan tertinggi terakhir Jamaah Islamiyah atau JI, Para Wijayanto menceritakan proses evaluasi hingga alasan deklarasi pembubaran organisasi. Dari segi internal organisasi, sejak Para memimpin JI ada perenungan mengenai At-Tathorruf yang meliputi empat hal yakni ekstrimisme, terorisme, radikalisme, dan kekerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para adalah narapidana teroris yang ditangkap pada 28 Juni 2019 di Hotel Adaya, Jalan Raya Kranggan, Jatisampurna, Bekasi. Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Para 7 tahun penjara karena terbukti terlibat dalam sejumlah aksi bom di Indonesia. Kini, Para menjadi tahanan di Polda Metro Jaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para menjelaskan poin pertama soal ekstrimisme atau ghuluw (berlebih-lebihan). Ia mengakui kelompoknya sangat mudah mengkafirkan seseorang. “Kami terjangkit pengaruh suatu kitab yang ditulis salah satu mufti Al Qaeda, dan tertular masalah takfiri dari NII,” ujar Para dalam wawancara di sebuah hotel di Jakarta Selatan pada Senin, 23 September 2024. Wawancara itu difasilitasi pihak Densus 88.
Namun, selama ia memimpin JI mulai dari 2008-2019 ada usaha meneliti mengenai paham takfiri itu dan mencari solusinya. Itu juga menjadi alasan tidak adanya aksi teror selama memimpin JI. "Bisa dicek, tidak ada aksi 'amaliyah' ketika saya menjadi amir," kata Para.
Poin kedua adalah aksi terorisme. Para mengakui kelompoknya terlibat dalam peristiwa seperti Bom Bali 1, Kedutaan Besar Filipina, Kedutaan Besar Australia, Hotel Marriot, dan Hotel Ritz-Carlton yang membuat orang ketakutan. “Penyakit kedua ini enggak lepas dari pengaruh dari luar,” ucap Para.
Poin ketiga mengenai radikalisme. Para menjelaskan dua buku panduan organisasi JI mencantumkan mengenai keinginan menegakkan Daulah Islamiyah atau negara dengan hukum islam. Buku tersebut sudah menjadi barang bukti. Sehingga, secara otomatis organisasinya melanggar undang-undang, karena ingin mengubah sistem. Demikian juga di Suriah, JI ikut telibat untuk mendirikan negara islam.
Lalu poin keempat adalah kekerasan. Para mencontohkan kasus mutilasi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang korbannya merupakan siswi sekolah menengah kejuruan. Ia mengakui bahwa anggota JI terlibat dalam kasus tersebut. Peristiwa itu dievaluasi, ternyata dasar syar’i-nya tidak ada. “Kalau ditanya, enggak bisa mempertanggungjawabkannya,” kata Para.
Karena keempat hal tersebut, JI menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 21 April 2008. Dampaknya kegiatan yang dianggap JI sebagai amal saleh menjadi delik. Termasuk aktivitas menghimpun dana untuk umat juga menjadi delik karena organisasinya dilarang. Bahkan, ia mengatakan, menjadi anggota JI tanpa melakukan pelanggaran bisa dihukum.
“Secara kaidah JI enggak bisa diteruskan,” kata Para. Menurutnya, JI hanyalah sebuah sarana yang memiliki tujuan untuk menegakkan islam. “Kalau sarananya enggak bisa dipakai ya harus ditinggalkan.”
Menurut Para Wijayanto, dampak dari empat hal itu menjadi alasan deklarasi pembubaran JI dilakukan di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 30 Juni 2024. Pembubaran itu dihadiri ratusan tokoh dan puluhan pentolan senior. Mantan Amir JI selain Para Wijayanto yang hadir yakni Abu Rusydan dan Zarkasih. Mantan komandan laskar JI dan pendamping Abdullah Sungkar—pendiri JI—pada 1990-an, Abu Fatih juga turut hadir. Termasuk perwakilan dari 42 pesantren yang terafiliasi dengan JI.
Abu Fatih, yang pernah menjadi Kepala Mantiqi (wilayah gerak) II JI di Indonesia, menjelaskan bukti JI serius membubarkan diri. Ia menuturkan JI telah menyerahkan senjata dan alat berbahaya ke Densus 88 sebelum 30 Juni 2024. Menurutnya, itu menbjadi bukti konkret bahwa deklarasi pembubaran JI tidak main-main. “Ini bukan gimik, bukan pura-pura,” kata Abu Fatih di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Secara logika, ia menjelaskan ada anggota yang ditahan dan menderita karena dampak persoalan Jamaah Islamiyah. Itu juga menjadi alasan JI membubarkan diri. Namun, alasan besarnya adalah karena hidup anggota JI untuk ibadah. "Kami merasa melebur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bentuk dari prinsip ibadah fardu ain," tutur Abu Fatih.
Juru bicara Detasemen Khusus Antiteror atau Densus 88 Polri, Komisaris Besar Aswin Siregar, membenarkan kelompok JI telah menyerahkan senjatanya sebagai bentuk komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Senjata dan bahan peledak yang mereka simpan, termasuk bahan-bahan lain yang masih mencerminkan kekuatan JI, itu diserahkan,” kata Aswin.
Kendati demikian, ia mengungkapkan penyerahan senjata itu masih dalam proses. Ia bergurau mungkin senjata dan alat berbahaya itu dikubur entah di mana. Bahkan, kata Aswin, anggota JI sendiri bisa jadi lupa di mana menyimpan peralatan tersebut. "Nanti kami cari lagi," ujar Aswin.