Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Panglima Militer Jamaah Islamiyah (JI), Khoirul Anam alias Bravo, blak-blakan tentang bagaimana organisasinya menyiapkan pasukan militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anam bercerita dia mulai fokus mengelola kemiliteran Jamaah Islamiyah pada 2006. Mulanya ia dipercaya oleh pimpinan tertinggi JI, Para Wijayanto, untuk membenahi moral dan skill tempur anggota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat tahun kemudian ia pun menjabat kepala bidang militer JI atau Panglima Militer JI. “Saat itu saya mutlak memegang kuasa penuh soal kemiliteran,” kata Bravo kepada Tempo di sebuah hotel di Jakarta Selatan pada Senin, 23 September 2024. Wawancara itu difasilitasi pihak Densus 88 Antiteror Polri.
Pria yang pernah terlibat dalam kerusuhan Ambon, Maluku itu mengaku membawahi dua wilayah di Indonesia, yakni barat dan timur. Di kedua wilayah tersebut masing-masing memiliki sekitar seribu personel yang ahli soal kemiliteran
Menurut Bravo, ia dipercaya Para Wijayanto untuk fokus di kemiliteran karena memahami karakter organisasi militer JI dan merupakan lulusan dari Ma’had Ali—sebutan JI untuk pondok pesantren setingkat perguruan tinggi.
Sebagai panglima militer JI, Bravo pernah mengikuti pelatihan militer di Suriah sekitar awal 2012, tepatnya di kawasan pegunungan Jabal Akrat. Selama satu bulan, bersama enam orang anggota JI lainnya di Suriah, Bravo berlatih kemiliteran dari cara menggunakan senjata hingga operasional tank.
Kegiatan pelatihan di Suriah itu dilakukan bergiliran. Selain Bravo dan kelompoknya, JI juga mengirimkan beberapa kloter anggota lainnya. Suriah menjadi tujuan berlatih, karena tidak ada tempat latihan di Indonesia. “Di sana peralatannya lengkap,” katanya.
Sementara itu, kata dia, di Indonesia, peralatannya terbatas. Biasanya pasukan militer JI hanya berlatih bertahan hidup selama tujuh hari di hutan. Termasuk mempelajari peta topografi.
Namun, JI juga punya tempat latihan khusus di beberapa wilayah di Indonesia seperti di Jawa Barat dan Lampung. Bravo pernah memiliki program semi akademi militer yang melatih anggota JI untuk bertahan hidup selama empat bulan di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Setidaknya program ini diikuti oleh tiga regu, dengan tiap regu terdiri dari 10-12 orang. “Lulusan program ini akan menjadi tim inti dari pasukan militer JI.
Selain itu, kata Bravo, JI juga memiliki empat kurikulum besar yang menjadi fokus Latihan militer mereka. Pertama, bongkar pasang senjata; kedua, peledakan yang fokus pada alat kontrolnya; ketiga, taktik perang dan pertempuran; dan keempat, cara membaca peta. “Kami juga diajarkan bagai mana menyerang rombongan secara dadakan, ini masuk di taktik perang,” tutur Bravo.
Saat ini, organisasi yang dilarang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 21 April 2008, itu sudah memdeklarasikan pembubaran diri. Deklarasi dilalkukan di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 30 Juni 2024. Pembubaran itu dihadiri ratusan tokoh seperti mantan Amir JI, Para Wijayanto, Abu Rusydan, dan Zarkasih,
Selain itu, mantan komandan laskar JI wilayah Aceh hingga Nusa Tenggara Timur dan pendamping Abdullah Sungkar—pendiri JI—pada 1990-an, Abu Fatih juga turut hadir. Termasuk perwakilan dari 42 pesantren yang terafiliasi dengan JI.
Menurut Bravo, ada konsekuensi yang harus dibayar setelah organisasi dibubarkan, yakni tanzim siri (organisasi rahasia) dan tanzim askary (organisasi kemiliteran) harus ikut dibubarkan. “Tanzim siri dan tanzim askary ini mejadi ruh utama, jika JI bubar konsekuensinya dua itu juga harus dibubarkan,” tutur Bravo.
Dikutip dari laporan Majalah Tempo edisi 22-28 Juli 2024, Abu Fatih juga menceritakan pengalamannya saat tergabung dalam pasukan militer JI. Ia mengaku pernah ditawari 6.000 eks prajurit Afganistan dan negara lain untuk “berjihad” di Indonesia pada 1990-an. Namun, ia menolak tawaran itu.
Abu fatih menuturkan, kini JI telah menyerahkan senjata dan alat berbahaya ke Densus 88 sebelum 30 Juni 2024. Menurutnya, itu menbjadi bukti konkret bahwa deklarasi pembubaran JI tidak main-main. “Ini bukan gimik, bukan pura-pura,” kata Abu Fatih di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Juru Bicara Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, Komisaris Besar Aswin Siregar, membenarkan kelompok JI telah menyerahkan senjatanya sebagai bentuk komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Senjata dan bahan peledak yang mereka simpan, termasuk bahan-bahan lain yang masih mencerminkan kekuatan JI, itu diserahkan,” kata Aswin.
Kendati demikian, ia mengungkapkan penyerahan senjata itu masih dalam proses. Ia bergurau mungkin senjata dan alat berbahaya itu dikubur entah di mana. Bahkan, kata Aswin, anggota JI sendiri bisa jadi lupa di mana menyimpan peralatan tersebut. "Nanti kami cari lagi," ujar Aswin.