Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dengan cara masing-masing yang inspiratif dan konsisten, empat perempuan tangguh ini berjuang dalam pelestarian ekosistem dan pengelolaan hasil alam yang ramah lingkungan.
Arum Wismaningsih membina anak-anak sekolah menengah pertama untuk menjaga kebersihan Sungai Wonosalam di Jombang; aktivis lingkungan Prawita Tasya Karissa terjun langsung ke perairan Bali utara untuk memulihkan terumbu karang.
Lewat jaringan Tambora Muda, peneliti Sheherazade memfasilitasi munculnya generasi baru konservasionis; Asri Saraswati melalui lini usaha berbasis komunitas sukses memberdayakan ratusan petani empon-empon di Yogyakarta yang mayoritas perempuan.
INSIDEN tewasnya sepuluh siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Turi yang hanyut saat mengikuti susur Sungai Sempor di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 21 Februari lalu, mempengaruhi kegiatan Polisi Air di Jombang, Jawa Timur. Komunitas pencinta sungai yang beranggotakan puluhan siswa SMPN 1 Wonosalam itu harus menghentikan aktivitas “patroli” kualitas air Sungai Wonosalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arum Wismaningsih, 35 tahun, pembina kelompok Polisi Air, mengatakan kepala sekolah meliburkan para siswa dari kegiatan pelestarian sungai itu. “Saya juga khawatir membawa anak-anak ke sungai karena saat itu setiap hari hujan deras,” kata Arum, Kamis, 16 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi Air dibentuk Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) dalam kunjungannya ke Sungai Wonosalam pada 2010. Arum, warga Wonosalam, saat itu menjadi sukarelawan Ecoton. “Kami mengenalkan ilmu lingkungan dan mengajak siswa peduli terhadap sungai karena dekat dengan mereka,” kata Arum, yang sejak itu dipercaya menjadi pembina Polisi Air.
Arum Wismaningsih di Taman Hutan Rakyat R Soerjo, Jawa Timur. Dokumentasi Pribadi
Namanya Polisi Air karena bertugas menjaga mata air dan sungai supaya tetap lestari dan tidak dikotori, juga memberi warga informasi tentang kondisi air sungai. “Polisi kan tugasnya menjaga, he-he-he...,” ujar Arum. Di hilir Sungai Brantas, Ecoton membentuk komunitas serupa bernama Detektif Air yang beranggotakan siswa sekolah menengah atas.
Sungai Wonosalam adalah hulu Sungai Brantas yang bermuara di Surabaya. Menurut warga setempat, pernah terjadi pembalakan liar besar-besaran di hutan Wonosalam pada 1998 hingga mengakibatkan banyak sumber air rusak. Penduduk setempat lantas menanami lagi kawasan itu sehingga hutan kembali asri dan air sungainya bersih.
Dalam satu dasawarsa terakhir, tugas menjaga sungai dikerjakan Polisi Air. Setiap akhir pekan, Arum mendampingi sekitar 50 siswa menyusuri Sungai Wonosalam. Mereka menyensus serangga air yang menjadi indikator kualitas sungai. Mereka juga membawa karung untuk mengambil sampah plastik atau popok di sungai. “Selesai pemantauan, anak-anak memasang bendera hijau untuk segmen sungai yang bersih, kuning jika agak tercemar, dan merah untuk sungai yang kotor,” ucap Arum, yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga.
Di satu-dua desa, air sungai masih kerap kotor karena tercemar limbah dari kotoran sapi yang diternak warga. Selebihnya, banyak desa sudah melek kebersihan sungai. Bahkan warganya memasang poster-poster bergambar kartun bertulisan peringatan agar tidak membuang sampah ke sungai. “Poster itu dipasang di tepi-tepi sungai,” Arum bertutur.
Prawita Tasya Karissa, direktur Biorock Indonesia. TEMPO/Johannes P. Christo
Terjun melestarikan lingkungan ke ekosistem juga dilakoni Prawita Tasya Karissa. Pendiri dan Direktur Eksekutif Biorock Indonesia ini berfokus pada upaya pelestarian terumbu karang, khususnya di wilayah pesisir utara Pulau Bali. “Terumbu karang proses tumbuhnya sangat lambat, bisa puluhan hingga ratusan tahun,” kata Tasya, 36 tahun, Sabtu,18 April lalu.
Melalui Biorock Indonesia, Tasya berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya rehabilitasi terumbu karang secara berkelanjutan. Ia mengajak masyarakat tidak hanya berfokus pada penanaman terumbu karang, tapi juga pada pemeliharaan, perawatan, dan pengendalian penyebab kerusakannya. “Terumbu karang adalah hewan,” ujarnya.
Tasya antara lain menggagas program Biorock Experience yang menjembatani kegiatan konservasi dan pariwisata sehingga memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Pada peringatan Hari Bumi, 22 April lalu, Biorock Indonesia meluncurkan program Scholar Reef yang memberikan beasiswa pelatihan konservasi terumbu karang kepada 12 anak muda Indonesia.
Hingga sekarang, Biorock Indonesia sudah melatih lebih dari 1.000 orang di 13 lokasi. Mereka memulihkan 200 kilometer persegi terumbu karang dan 5 kilometer pantai dari abrasi.
Keanekaragaman hayati Nusantara, khususnya fauna, telah mendorong Sheherazade, 26 tahun, menggagas Tambora Muda, jaringan nasional untuk meningkatkan kapasitas para pelestari muda, pada Desember 2015. Saat itu, ia bekerja meneliti kalong di Banggai, Sulawesi Tengah. Shera—panggilan akrabnya—bersama beberapa kawannya memfasilitasi pelatihan bagi mereka yang ingin berkarier sebagai konservasionis. “Pelatihan soal statistik, penelitian ekologi, juga bentuk seminar yang seru untuk memperkaya pengetahuan mereka,” ucap Shera, Jumat, 17 April lalu.
Pada 2018, di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, Tambora menggelar kemah konservasi berupa pelatihan intensif selama dua pekan yang melibatkan mahasiswa dan konservasionis muda. “Kami mengundang para ahli konservasi untuk berbagi ilmu dan pengalaman,” tutur alumnus Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia itu.
Shera juga acap membantu mahasiswa dan konservasionis muda yang ingin mempresentasikan karya ilmiah di forum internasional. “Kami bisa me-review abstrak penelitiannya,” kata Shera, yang sejak tahun lalu bekerja di Wildlife Conservation Society Indonesia, yang berkantor di Bogor, Jawa Barat.
Sejak 2016, Tambora menggelar puluhan diskusi, pelatihan, dan lokakarya di berbagai kampus serta diskusi daring (online) yang melibatkan sekitar 1.500 mahasiswa dan konservasionis muda. Para alumnus kegiatan Tambora Muda banyak berkecimpung di lembaga konservasi di berbagai daerah.
Asri Iskandar. Anggaresa
Di Desa Sendangrejo, Minggir, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Asri Saraswati dan suaminya, Andhika Mahardika, memberdayakan sedikitnya 150 perempuan petani di tiga desa. Melalui Agradaya, usaha berbasis komunitas di bidang pertanian yang dibentuk pada 2014, Asri meningkatkan nilai jual empon-empon, yaitu jahe, kunyit, hingga temu lawak yang tumbuh liar di ladang masyarakat. “Banyak petani empon-empon di sekitar sini. Tidak seperti sekarang yang laris karena wabah corona, kunyit dan temu lawak dulu disebut tanaman yang disia-sia,” ucap Asri, 32 tahun, Sabtu, 18 April lalu.
Berbekal dapur yang telah disulapnya menjadi laboratorium sederhana untuk mengeringkan empon-empon, kunyit dan temu lawak basah yang dulu hanya dihargai Rp 800 per kilogram kini bisa dijual Rp 35 ribu per kilogram ke Agradaya. “Ibu-ibu petani bisa panen dengan harga yang layak dan kami bisa mengolah dan menjualnya ke konsumen.”
Sukses di Yogyakarta, Asri memperbesar produksi empon-empon kering untuk target ekspor dengan membangun pabrik dan menggandeng ribuan petani di Trenggalek, Jawa Timur. “Kami bekerja sama dengan badan usaha milik desa,” ujarnya.
Meski begitu, Asri tak menomorduakan kelompok petani di Yogyakarta. Produk olahan bahan jamu hasil panen mereka telah dijual di hampir semua provinsi. “Reseller kami sudah ada di 30 titik dari Aceh sampai Papua.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo