Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak makanan yang tidak habis dikonsumsi terpaksa dibuang ke tempat sampah.
Eva Bachtiar merintis gerakan bank makanan di Surabaya melalui Garda Pangan.
Garda Pangan menampung makanan dari restoran untuk disumbangkan kepada masyarakat miskin.
LIMA pemuda menurunkan ratusan kotak berisi makanan dari dalam mobil Alphard di Jalan Baratajaya XVII, Surabaya, Sabtu siang, 18 April lalu, dengan cekatan. Rompi hijau yang mereka pakai terlihat mencolok ketika kelimanya membagikan kotak-kotak itu ke rumah-rumah sederhana di sepanjang pinggir Kali Jagir. Sesekali para pemuda itu mengobrol dan tertawa dengan para pemulung yang menyambut kedatangan mereka dengan riang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tini, 29 tahun, penduduk yang menerima bingkisan, langsung menyantap makanan yang ia terima. Bersama anak dan keponakannya, Tini melahap makanan itu dengan khusyuk. “Sejak pagi belum makan,” katanya kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pemuda yang membagikan makanan itu adalah relawan Garda Pangan, komunitas bank makanan di Surabaya. Sejak tiga tahun lalu, para relawan rutin membagikan makanan untuk penduduk kurang mampu, mereka yang tinggal di pinggir kali, atau pemulung. Para relawan berasal dari berbagai kalangan dan pekerjaan, dari pelajar, mahasiswa, hingga pengusaha.
Tak sedikit dari para relawan itu juga merangkap donatur. Misalnya Agung Dwi Kurnianto, pemilik sekaligus manajer proyek Revolt Industry Surabaya. Ia salah satu dari lima pemuda yang membagikan makanan di Jalan Baratajaya.
Sejak satu tahun lalu, Agung menyisihkan 10 persen hasil penjualan kerajinan tangan perusahaannya untuk Garda Pangan. Selama pandemi virus corona (Covid-19), dia melelang dompet kulit yang diproduksinya secara terbatas. “Terkumpul Rp 4,6 juta,” ucap pemuda 29 tahun itu. “Kami sumbangkan untuk dibelikan makanan bagi mereka yang membutuhkan.”
•••
GARDA Pangan didirikan oleh Eva Bachtiar. Gadis asal Bontang, Kalimantan Timur, yang kuliah di Institut Teknologi Bandung ini terdorong oleh fakta banyak sisa makanan di Surabaya yang terbuang ketika ia mendirikan organisasi relawan itu. Di kota ini volume sampahnya 1.600 ton sehari. Di tingkat nasional, dari 64 juta ton produksi sampah Indonesia setahun, 50-60 persen adalah sampah organik dan sisa makanan.
Bersama beberapa temannya, Eva lalu mengumpulkan makanan sisa yang tak terjual dari restoran, acara pernikahan, dan warung makan. Makanan-makanan itu ia bungkus dengan kotak kertas sebelum dibagikan kepada mereka yang ada di jalan atau bantaran sungai; atau para pemulung yang berserobok di jalan.
Pada September 2016, Eva bertemu dengan Dedhy Bharoto Trunoyudho dan Indah Audivtia dalam sebuah kegiatan sosial. Dedhy dan Indah adalah suami-istri yang menjalankan bisnis katering dan biasa menyalurkan makanan berlebih dari usahanya untuk sejumlah panti asuhan di Surabaya. “Kami memiliki visi yang sama dan bersepakat mendirikan Garda Pangan pada 10 Juli 2017,” ujar Eva, 34 tahun.
Mereka lalu mengajak beberapa teman bergabung. Garda Pangan juga kerap berkampanye di media sosial, menyerukan pentingnya menyelamatkan makanan untuk disumbangkan kepada mereka yang tak bisa mengakses makanan layak.
Puluhan orang mendaftar menjadi relawan. “Tidak semua menjadi relawan penuh,” kata Eva. “Sebagian hanya relawan sementara atau relawan publik.”
Setiap dua pekan Garda Pangan membuka penjaringan relawan publik. Eva melibatkan mereka dalam kegiatan sosial di bawah koordinasi relawan inti selama dua pekan. Jika para relawan publik ingin terus menjadi relawan, mereka bisa mendaftar lagi. Dalam setiap pertemuan, Eva mengajak para relawan berdiskusi tentang kondisi lingkungan dan kesenjangan sosial. Maka kepedulian relawan terhadap lingkungan dan masyarakat terus menguat.
Tidak mudah menjadi relawan Garda Pangan. Mereka diwajibkan mematuhi aturan serta wajib datang setiap ada panggilan pengambilan atau pengiriman makanan. Saat banjir melanda Surabaya pada awal Januari lalu, misalnya, para relawan mesti menembus hujan dan banjir untuk mengambil makanan dan membagikannya. Relawan yang tidak mematuhi aturan atau menolak pengambilan makanan akan dikeluarkan dan dilarang bergabung lagi.
Sejak Garda Pangan berdiri, tak banyak relawan yang dicoret. Titis Jyhan, mahasiswi Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, bergabung dengan Garda Pangan sejak pertengahan 2018. Titis bertahan menjadi relawan karena, menurut dia, Garda Pangan punya visi yang jelas. “Gerakan sosialnya juga terus jalan dalam kondisi apa pun,” ujarnya.
Konsep bank makanan Garda Pangan cukup sederhana. Ibarat sebuah bank, Garda Pangan hanya bertugas menampung makanan. Nasabahnya adalah restoran, hotel, warung makan, dan pembuat acara pernikahan. Para nasabah menyetorkan makanan berlebih mereka ke Garda Pangan. Para relawan memilah dan mengolah makanan tersebut, lalu menyalurkannya.
Meski tampak sederhana, praktiknya lumayan repot. Soalnya sebagian besar makanan yang mereka terima berupa makanan basah. Akibatnya, para relawan Garda Pangan mesti berlomba dengan waktu agar makanan itu tak basi ketika diterima penduduk.
Meyakinkan orang untuk bersedia menjadi “nasabah” juga tidak gampang. Saat Garda Pangan baru berdiri, dari puluhan restoran, toko roti, dan hotel yang mereka dekati, hanya restoran Tanak Melayu yang berminat. Itu juga karena pemilik Tanak Melayu pernah kuliah di luar negeri dan telah mengenal konsep bank makanan. Yang lain masih ragu. “Mereka takut makanan yang mereka setorkan kami jual. Ada juga yang takut nanti ada yang keracunan jika kami salah mengolahnya,” kata Eva.
Eva Bachtiar membagikan makanan bersama sejumlah relawan di kawasan Barata Jaya Surabaya, Jawa Timur,18 April lalu. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Eva dan Dedhy lalu menyusun prosedur operasi standar kelayakan makanan yang meliputi pengecekan visual, aroma, hingga pengecekan secara acak. Hanya makanan yang layak konsumsi yang mereka salurkan ke masyarakat. Sedangkan makanan yang tidak layak konsumsi diolah menjadi kompos atau biogas. “Saya memiliki sertifikasi resmi penjamah makanan dari Dinas Kesehatan Surabaya,” ujar Dedhy.
Pengelolaan dan penyaluran makanan juga dilakukan dengan transparan. Setiap bulan Garda Pangan rutin mengirimkan laporan distribusi makanan kepada mitra mereka.
Lambat-laun kepercayaan publik kepada Garda Pangan meningkat. Saat ini mereka memiliki sebelas mitra yang terdiri atas restoran, toko roti, dan distributor buah di Surabaya. Jumlah warga penerima bantuan juga naik. Selain membantu kelompok pemulung, mereka membantu anak jalanan, panti asuhan, hingga rumah singgah. Saat ini ada sekitar 100 titik lokasi distribusi bantuan makanan yang tersebar di seluruh Surabaya.
Bukan hanya warga yang merasa terbantu. Para pengusaha mitra juga merasa tertolong oleh Garda Pangan. Misalnya Yonathan Alexander Widjaja. Distributor Sunpride di Surabaya itu dulu sering pusing memikirkan nasib buah-buahan yang menumpuk di gudang gara-gara ditolak supermarket. Supermarket hanya mau menerima buah setengah matang supaya bisa dipajang dan lebih tahan lama. “Buah yang mereka jual tidak langsung habis dalam satu hari, sehingga mereka tidak mau jika kami kirim buah yang sudah matang,” katanya.
Yonathan pernah mencoba menyumbangkan buah langsung ke sejumlah panti asuhan. Namun keterbatasan tenaga karyawan menyebabkan pengiriman sering tertunda. “Akhirnya banyak buah yang telantar hingga busuk.” Kini, setiap mendapat pasokan buah, Yonathan hanya perlu menghubungi Garda Pangan.
Popularitas Garda Pangan di Surabaya juga acap dimanfaatkan penduduk yang menggelar pesta pernikahan. Sementara pada awal berdiri para relawan yang mendatangi gedung-gedung resepsi, kini para penyelenggara acara yang menghubungi mereka karena hendak menyumbang makanan sisa pesta.
Masalahnya, sumbangan pesta perkawinan acara tak terencana. Panitia menghubungi Garda Pangan pukul 10 malam dan minta relawan mengambil makanan saat itu juga. Akibatnya, Eva dan para relawan harus menunda tidur untuk menyelamatkan makanan sisa itu.
Eva Bachtiar
Tempat dan tanggal lahir: Bontang, Kalimantan Timur, 3 Mei 1986
Pendidikan: Teknik Industri Institut Teknologi Bandung
Pekerjaan: Direktur Utama Garda Pangan
Penghargaan: Startup with Best Social Impact pada 2017 dalam Tempo Startup Awards
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo