Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gerakan konservasi mangrove di pesisir selatan Kabupaten Malang kini meluas.
Berawal dari pertanyaan bocah perempuan kepada bapaknya.
Lia Putrinda yang kini dewasa berada di garis terdepan pelestarian alam.
PANDEMI menjungkirbalikkan banyak hal dalam sekejap. Begitu pula yang dialami Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna. Kawasan ekowisata berbasis konservasi bakau di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ini menutup sementara pintu kunjungan sejak 23 Maret lalu untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Namun bagi Lia Putrinda Anggawa Mukti, pendiri Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru yang mengelola CMC Tiga Warna, tugas konservasi tak boleh surut. Sembari memikirkan cara agar warga desa setempat tetap berpenghasilan di tengah pembatasan kegiatan, perempuan 26 tahun ini bergiliran dengan lima-enam anggota Yayasan pergi ke lapangan untuk memantau kondisi di area seluas 118 hektare yang mereka kelola. “Sebenarnya saya lebih senang melihat kondisi saat ini. Kami bisa melihat seberapa pulih ekosistem dengan detail,” kata Lia kepada Tempo, Kamis, 23 April lalu.
Sore itu, Lia baru saja pulang dari pemantauan di kawasan konservasi yang dimulai sejak pagi pada hari yang sama. Gerakan pemulihan wilayah pesisir yang dimulai Lia pada 2004 bersama ayahnya, Saptoyo, kini memang meluas tak hanya di Pantai Clungup dan Pantai Gatra. Bentuk kegiatan konservasi juga makin beragam. Di Pantai Bangsong dan Pantai Teluk Asmara, misalnya, Lia dan kelompoknya memulihkan dan melindungi habitat peneluran penyu. Di Pantai Savana, Mini, Watu Pecah, dan Tiga Warna, mereka menggalakkan konservasi terumbu karang.
Kini, kawasan di tepi Samudra Hindia—sekitar dua jam perjalanan ke arah selatan dari pusat Kota Malang—itu makin rindang. Hutan bakau memanjang di pesisir pantai. Padang lamun dan terumbu karang terjaga di beberapa titik di selat kecil yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Sempu, cagar alam seluas 877 hektare yang dikenal dengan Danau Segara Anakan di dalamnya.
Kondisinya berbeda sekitar dua windu lalu. Lia masih ingat ketika dibonceng ayahnya dengan sepeda motor Honda Win 100 pada 2004. Keduanya menyusuri kawasan Pantai Clungup, sekitar 3 kilometer arah barat rumah mereka di dekat Tempat Pelelangan Ikan Tambakrejo. Kala itu, sang ayah berkisah tentang masa kecilnya di pantai yang penuh mangrove, rumah bagi beraneka jenis burung dan ikan.
Dongeng Saptoyo tak seperti yang dilihat Lia kecil. Hutan mangrove nyaris tak bersisa. Kawasan pesisir begitu gersang. Krisis makin terasa pada 2005, ketika paceklik ikan terjadi. Kepada bapaknya, gadis kecil itu meminta memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan Clungup seperti dulu. “Ucapanku itu semacam pelatuk,” ujar Lia, terkekeh.
Bapak-anak itu pun bersepakat untuk kembali menanam bakau di Clungup. Kegiatan baru ini mereka lakoni dengan bibit yang disemai sendiri menggunakan modal pribadi. Keduanya kini berada di barisan terdepan pegiat konservasi bakau dari Pantai Clungup.
Namun, seperti di banyak tempat, gerakan konservasi di Clungup tak selalu berjalan mulus. Butuh belasan tahun bagi Lia dan bapaknya untuk mengembangkan CMC Tiga Warna hingga menjadi seperti sekarang. Susahnya menarik minat masyarakat setempat untuk ikut serta dalam upaya pemulihan kawasan pesisir menjadi tantangan pertama yang mereka hadapi. Alasannya sederhana: kegiatan sosial pemulihan lingkungan hidup tak menghasilkan uang.
Semua mulai berubah setelah 2011. Kala itu, Lia yang, melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di Kota Malang, menyokong kegiatan bapaknya dari jauh lewat komunikasi yang ia bangun dengan perguruan tinggi dan kantor dinas terkait. Dari situ mereka mengenal program pembinaan untuk kelompok masyarakat pengawas di bawah naungan Dinas Kelautan dan Perikanan yang melibatkan pendamping dari tim ahli Universitas Brawijaya.
Lia pun mendorong Saptoyo agar membentuk kelompok masyarakat pengawas di Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, dengan modal pengalaman enam tahun menanam kembali hutan bakau di Clungup. Semula, masyarakat antusias. Sebanyak 78 orang berkumpul dalam kelompok tersebut. Sebagai pengawas, mereka bertugas rutin mengawasi sumber daya laut, bakau, terumbu karang, padang lamun, juga hutan pantai di daratan. Namun, hampir tiga tahun berjalan, sebagian besar anggota mulai rontok. Beberapa di antaranya memilih membuka lahan dan mendirikan warung di area konservasi yang menurut ketentuan tak diperbolehkan.
Kekurangan sumber daya manusia, kelompok pengawas itu terpaksa melihatkan personel bantuan dari luar daerah pada 2013. Pada tahun yang sama, Lia, yang baru menjadi mahasiswa tingkat pertama di Fakultas Komunikasi Universitas Brawijaya, bertekad keluar dari kampus, pulang kampung untuk membantu pengawasan area konservasi. Ibunya, Tri Andar Karyati, awalnya tak rela dengan keputusan itu. Tapi ia akhirnya memberikan restu. Syaratnya, Lia harus segera berkeluarga, yang belakangan diturutinya dengan menikahi Ruzzo Bhirawa Purwantara. Dua anak lahir dari pasangan ini.
Guncangan berikutnya datang dua tahun kemudian. Lia masih ingat betul hari itu, Sabtu, 30 Mei 2015. Saat itu, ia bersama Saptoyo dan seorang pengurus lembaga masyarakat didatangi polisi yang kemudian membacakan surat berita acara penangkapan dengan tuduhan dugaan korupsi dan masuk kawasan tanpa izin.
Menurut Lia, ketika itu kelompok masyarakat di Sendang Biru memang menerima donasi. Dari sumbangan sukarela ini, mereka bisa mengumpulkan kas hingga Rp 70 juta. Dia tak tahu bagaimana mulanya polisi datang dengan tudingan korupsi. Yang jelas, belakangan kasus ini tak berlanjut lantaran mereka dapat membuktikan catatan rinci keuangan lembaga. Lia dan bapaknya kembali pulang setelah semalam tinggal di bui.
Peristiwa itu menjadi pengalaman paling membekas dalam benak Lia. Namun sejak itu pula perhatian masyarakat setempat terhadap gerakan konservasi makin terbentuk. Wisata yang diisi dengan kegiatan menanam mangrove, bermain di gugusan pantai tersembunyi, hingga snorkeling di area terumbu karang rupanya menggiurkan bagi orang perkotaan.
Sekali lagi Lia memainkan perannya sebagai mata dan telinga bapaknya yang bergelut dengan penanaman hutan bakau. Pada pengujung 2015, dia mengikuti Forum Ekowisata Jawa Timur. Dari forum yang diisi akademikus dan praktisi pariwisata itulah Lia baru tahu kegiatan yang dilakukan kelompok masyarakat di gugusan pantai Sendang Biru selama ini adalah bentuk ekowisata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lia Purtiandi di konservasi mangrove Pantai Clungup, Malang, Jawa Timur. Dokumentasi CMC Tiga Warna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi embel-embel wisata sempat membuat Lia dan beberapa pengurus kelompok pengawas merasa antipati. Mereka tahu betul embel-embel itu bisa memunculkan masalah baru. Turis kerap datang tanpa kesadaran menjaga lingkungan. Benar saja, makin banyak orang berpelesir ke Sendang Biru, makin banyak sampah yang menumpuk di sana.
Pelajaran ini mendorong Lia menginisiasi Lembaga Masyarakat Konservasi Bhakti Alam Sendang Biru. Lembaga yang menjadi cikal-bakal lahirnya Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru pada 2016 ini dibentuk untuk memperketat aturan bagi pengunjung. Kuota kunjungan ditetapkan secara berkala. Barang bawaan pelancong pun diperiksa. Denda ditetapkan bagi mereka yang meninggalkan sampah di kawasan Clungup Mangrove Conservation Tiga Warna. “Dengan begitu, pengelolaan kegiatan ekowisata dan konservasi lebih terstruktur,” ucap Lia.
Ketua Forum Ekowisata Jawa Timur Agus Wiyono menyebut praktik ekoturisme yang diterapkan CMC Tiga Warna sebagai wujud pengelolaan wisata alam yang menyeluruh dan terbaik di Indonesia sejauh ini. “Mereka punya visi-misi konservasi yang kuat dan tak tergoda mass tourism,” tutur Wiyono.
Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru kini menaungi 109 warga lokal yang mengelola CMC Tiga Warna. Sekitar 1.000 orang lain juga terorganisasi dalam kelompok-kelompok tani hutan dan pendampingan wisata. Menurut Lia, merekalah yang berperan membesarkan gerakan konservasi berbalut pariwisata CMC Tiga Warna. “Saya hanya memegang sisi pertimbangan,” ujarnya.
Lia sedang berusaha memecahkan persoalan lain: kaderisasi. Itu sebabnya dia menggulirkan program Sidolan—akronim dari sinau dan dolan, yang berarti belajar dan bermain. Menurut dia, gerakan konservasi tidak semata penting bagi mereka yang hidup pada masa kini. “Tapi juga untuk generasi berikutnya.”
Di mata Marta Fitri Yuliana, 38 tahun, Bendahara Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru, Lia adalah pemecah masalah. “Kalau mendengar namanya, orang-orang akan yakin apa pun yang dibuat pasti berhasil,” kata Fitri. Menurut dia, Lia kerap menjadi mediator ketika muncul persoalan di dalam tim ekowisata yang melibatkan kelompok orang tua dan kaum muda. “Semua orang mau mendengarnya.”
Lia Putrinda Anggawa Mukti
Tempat dan tanggal lahir: Malang, 8 Juni 1993
Pendidikan: SMA Katolik St. Albertus Malang
Penghargaan:
- Adibakti Mina Bahari Kategori Pengembangan Kawasan Pesisir Tangguh (2015)
- Juara 1 Pemuda Pelopor Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan (2016)
- 72 Ikon Prestasi Indonesia Bidang Kewirausahaan Sosial (2017)
- Pemuda Utama Jawa Timur Bidang Pembangunan Ecotourism (2018)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo