Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cerita Horor Dari Danau Jenewa

30 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KILAT yang menyambar-nyambar menyilaukan mataku, menerangi danau, membuatnya laksana selembar kertas berselimutkan api. Lalu, dalam sekejap, segalanya berubah menjadi gelap-gulita, hingga mataku pulih dengan sendirinya." Kepada R. Walton, ilmuwan yang menemukannya hampir mati membeku terapung di kereta es, Vicktor Frankenstein menceritakan pengalamannya menembus malam penuh badai.

Itulah sepotong cerita dari novel berjudul Frankenstein karangan penulis Inggris, Mary Shelley, yang pertama kali terbit pada 1 Januari 1818. Novel yang kemudian diangkat ke layar lebar pada 1910 itu bercerita tentang seorang pria bernama Vicktor Frankenstein, yang berambisi menciptakan makhluk serupa manusia. Menggabungkan potongan tubuh dari beberapa mayat, cita-citanya itu akhirnya bisa terwujud. Ketika akhirnya makhluk itu bangkit, Frankenstein ketakutan sendiri dan lari meninggalkan makhluk berpenampilan mengerikan tersebut.

Bill Phillips, profesor sastra dari University of Barcelona, Spanyol, menyebut cuaca buruk yang dialami Frankenstein-dingin dan badai-sesungguhnya dialami sendiri oleh pengarangnya. Dalam tulisannya yang berjudul Frankenstein and Mary Shelley's Wet Ungenial Summer, Phillips menerangkan, ketika Frankenstein ditulis, belahan bumi bagian utara mengalami perubahan iklim secara tiba-tiba akibat meletusnya Gunung Tambora di Indonesia pada April 1815. "Selama tiga tahun, cuaca buruk itu menyebabkan terjadinya kerusuhan dan bencana kelaparan," kata Phillips seperti tertuang dalam tulisannya yang dimuat di Atlantis Journal pada 2006.

Mary Shelley dalam kata pengantar novelnya pada 1831 menjelaskan kisah Frankenstein dia tulis ketika berlibur di Jenewa, Swiss, bersama suaminya, penyair Percy Bysshe Shelley, dan saudari tirinya, Claire Clairmont. Pada musim panas Juni 1816 itu, mereka menginap di Vila Diodoti di pinggir Danau Jenewa. Di vila itu menginap pula Lord Byron dan dokter pribadinya, John Polidori. Niat perempuan bernama asli Wollstonecraft Godwin ini untuk berperahu mengelilingi danau terpaksa dibatalkan lantaran cuaca amat tak bersahabat.

"Hujan yang terus-menerus membuat kami terkurung di dalam rumah selama berhari-hari," kata Shelley, seperti tertulis dalam surat yang dia kirim kepada saudara tirinya, Fanny Imlay. Agar tak bosan, mereka membaca keras-keras koleksi cerita horor Jerman yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Prancis, The Fantasmagoriana. "Dalam cuaca yang basah dan dingin seperti itu, berimajinasi tentang hal-hal gotik jadi hiburan tersendiri," kata Phillips.

Konon mereka sempat berbagi pengalaman supernatural yang pernah mereka alami. Byron lalu menantang setiap orang yang berkumpul di vila itu untuk membuat cerita horor sendiri. Inilah awal mula lahirnya novel Frankenstein yang selesai ditulis Shelley pada Mei 1817. Tantangan itu juga dijawab John Polidori, dokter yang juga penulis, dengan menulis cerita pendek The Vampyre, kisah vampir modern pertama, yang belakangan mengilhami Bram Stroker menulis Dracula.

Byron sendiri menulis sebuah puisi berjudul Darkness. Baris awalnya berbunyi: I had a dream, which was not all a dream/ The bright sun was extinguish'd, and the stars/ Did wander darkling in the eternal space/ Rayless, and pathless, and the icy earth/ Swung blind and blackening in the moonless air....

Byron sendiri selama di Swiss sempat mengirim surat kepada teman-temannya, mengabarkan kondisinya saat itu. Dalam salah satu surat bertanggal 29 Juli 1816 yang dipublikasikan pertama kali dalam Oxford Edition of Byron's Complete Poetical Works volume 4, Byron menuliskan, "Kami mengalami cuaca buruk, kabut tebal, dan hujan turun tiada henti."

Bukan cuma tulisan Byron dan teman-temannya yang menggambarkan suramnya kondisi Eropa saat itu. Penulis kenamaan Irlandia pada awal abad ke-19, William Carleton, juga menulis penderitaan masyarakat Irlandia yang kelaparan dalam novelnya, The Black Prophet: A Tale of Irish Famine. Dalam novel yang diselesaikannya pada 1847 itu, Carleton bahkan mengira saat itu kiamat telah tiba. Sedangkan penyair Inggris, John Keats, dalam puisi To Autumn, yang ditulis pada September 1819, mengungkapkan kegembiraannya karena masa-masa suram, cuaca mengerikan, dan kegagalan panen, yang terjadi tiga tahun sebelumnya, akhirnya berakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus