Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bulan madu selayaknya menjadi salah satu momen terindah dalam hidup seseorang. Tapi tidak bagi John Constable, pelukis Inggris yang hidup sejak 1776 hingga 1837. Bersama istrinya, Constable menghabiskan bulan madunya di Pantai Weymouth, Inggris selatan, pada musim gugur 1816. Tahun yang dikenal sebagai tahun tanpa musim panas atau "year without a summer" di Eropa ini membuat bulan madu Constable begitu muram. Suasana itu setidaknya tampak dalam lukisan yang dia buat pada 1816-1817, Weymouth Bay: Bowleaze Cove and Jordan Hill.
Lukisan itu kini dipajang di Sackler Room National Gallery, London. Total ada enam lukisan Constable yang dipajang bersama 23 lukisan lain di galeri yang dibangun pada 1824 itu. Lukisan-lukisan tersebut dibuat Constable pada 1816-1836. "Dia punya kekhasan menggambar lanskap atau pemandangan," kata Alex Day, pegawai museum yang menjaga ruangan itu, kepada Tempo, yang mengunjungi galeri pada 27 Februari 2015. "Gayanya sangat Inggris," ujar pria setengah baya itu.
Lanskap itulah yang tersaji pada lukisan Weymouth Bay: Bowleaze Cove and Jordan Hill. Lukisan berukuran 53 x 75 sentimeter ini menggambarkan pantai berpasir yang menyambung dengan bukit di sekitarnya. Bagian cakrawala atau langit mengambil porsi lebih dari setengah bagian lukisan. Awan gelap membubung menghiasi cakrawala. Di samping lukisan itu dicantumkan kertas bertulisan "Lukisan dibiarkan belum rampung".
Awan gelap itu diyakini sebagai gambaran Constable tentang iklim buruk yang merundung Eropa pada periode tersebut akibat letusan Gunung Tambora di Sumbawa setahun sebelumnya. Langit yang gelap, hujan terus-menerus, juga badai. Kondisi itu berlangsung selama beberapa tahun di Eropa. "Hipotesisnya, angin musim panas melemah sehingga iklim gelap," kata Profesor Stefan Brönnimann, ahli klimatologi Universitas Bern, Swiss, kepada Tempo.
Lukisan Constable itu digunakan Profesor Gillen D'Arcy Wood sebagai sampul bukunya yang berjudul Tambora: The Eruption that Changed the World, yang diterbitkan Princeton University Press pada 2014. Pelukis beraliran realis ini diduga terpengaruh oleh letusan Tambora pada April 1815. Letusan itu membuat Eropa kehilangan musim panas pada 1816. Tak cuma di Weymouth Bay, awan gelap atau cakrawala yang murung kerap muncul di lukisannya yang lain.
Pada lukisan The Hay Wain yang dia buat pada 1820, misalnya, Constable membuat lukisan pemandangan kehidupan masyarakat pedesaan Inggris, lengkap dengan gerobak kuda pengangkut hasil pertanian, perempuan mencuci di kali, hingga orang-orang yang memanen di kejauhan. "Ini salah satu lukisan yang populer di sini. Kehidupan pedesaan seperti ini disukai banyak orang," kata Alex Day menunjuk lukisan Constable.
Ciri desa agraris tergambar jelas di sana. Namun, di antara langit cerah berawan, terdapat sekelompok awan hitam-sesuatu yang janggal atau tidak mungkin terjadi. Ketika cakrawala cerah dan masih terlihat langit yang biru, hampir mustahil ada awan hitam di sekitarnya. Awan serupa muncul pada lukisan Stratford Mill, The Cornfield, dan Salisbury Cathedral and Leadenhall from the River Avon, yang ada di National Gallery London.
Sejatinya bukan hanya Constable yang karyanya terpengaruh oleh letusan Tambora. Dalam sejumlah karyanya, pelukis asal Jerman, Caspar David Friedrich, juga menggambarkan langit dengan tingkat kekelaman atau kepekatan yang disebabkan oleh semburan Tambora, yang disebut dengan istilah erupsi kolosal. Dua di antara lukisannya yang terkenal adalah Ships in the Harbor at Night (after Sunset), yang dilukis pada 1816, dan Woman in Front of the Setting Sun. Dibuat Friedrich pada 1818, lukisan itu berupa siluet perempuan dengan tangan terentang di bawah langit jingga.
Pelukis lain yang juga terpengaruh letusan Tambora adalah Joseph Mallord William Turner, yang hidup pada 1775-1851. Sama seperti Constable yang menggemari lanskap dan cakrawala, Turner menangkap sejumlah akibat letusan Tambora yang "diderita" Eropa, terutama Inggris, tempat asalnya, lewat lukisan lanskapnya. Salah satu lukisan sketsanya yang terkenal berjudul Red Sky and Crescent Moon, yang dibuat Turner menggunakan cat air pada 1818. Lukisan ini tersimpan di Tate Museum of Modern Art, London.
Gillen D'Arcy Wood dalam bukunya, Tambora: The Eruption that Changed the World, menjelaskan karya Turner dalam abstraksi warnanya melukiskan langit kemerahan yang garang. Tebaran sulfur pada debu vulkanis menjadi penyebab merahnya langit sehingga menimbulkan efek optikal yang spektakuler.
Christo Zerefos, ahli meteorologi-fisika dari Academy of Athens, Yunani, menjelaskan, ketika Tambora meletus, para pelukis di Eropa menjadi saksi perubahan warna langit. Langit Eropa tercemar menampilkan suasana temaram aneh. Kesimpulan itu didapat setelah Zerefos serta tim ilmuwan dari Yunani dan Jerman meneliti banyak lukisan pemandangan matahari tenggelam.
Dalam penelitian itu, lukisan Turner mendapat perhatian lebih mengingat sang pelukis mengalami tiga kejadian letusan gunung berapi selama hidupnya, yakni Gunung Tambora pada 1815, Gunung Babuyan Claro di Filipina pada 1831, dan Gunung Cosiguina di Nikaragua pada 1835. "Karya Turner secara khusus mengungkapkan bahwa abu dan gas dari letusan Gunung Tambora yang tertahan di udara membuat matahari tenggelam terlihat kemerahan," tulis Zerefos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo