Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH kayu itu terlihat kusam. Letaknya tersembunyi akibat desakan bangunan modern di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Kendati begitu, rumah tersebut punya ukuran yang lebih besar dibanding milik warga keturunan Tionghoa lain di sana. Ia juga cukup menonjol karena masih mempertahankan arsitektur gaya lama: berpanggung dan memiliki anak tangga menuju ruang utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dinding bagian depan rumah dihiasi ukiran Tiongkok yang berpadu dengan selembayung Melayu. Tapi keindahannya sudah tak tampak karena termakan usia. Sebuah piano tua teronggok di ruang utamanya. "Ini rumah peninggalan kakek saya," kata Tono, Sabtu dua pekan lalu. Kakek Tono, Ng Cong Bun, adalah warga keturunan Tionghoa yang menjadi kapitan, jabatan prestisius yang diberikan pemerintah kolonial Belanda atas dasar ketokohan seseorang dalam masyarakat Tionghoa. Adapun Tono merupakan ahli waris generasi kelima keluarga kapitan di Bagansiapiapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah kapitan milik Ng Cong Bun diperkirakan dibangun pada 1900-an, masa ketika industri perikanan masih berjaya dan menjadi tumpuan ekonomi masyarakat Bagansiapiapi. Dulu di rumah itu dijalankan otoritas penting dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk kontrol dalam bidang perdagangan. Karena itu, tak mengherankan jika kapitan menjadi orang paling kaya di masyarakat. "Seorang kapitan diberi wewenang oleh Belanda untuk menarik pajak perdagangan," ujar Siswaja Mulyadi, tokoh keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi.
Rumah kapitan di Bagansiapiapi itu dianggap sebagai bukti sejarah peradaban warga keturunan Tionghoa di Rokan Hilir. Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir tengah mendorongnya agar menjadi cagar budaya karena rumah seperti itu di Bagansiapiapi kian tergerus zaman. Saat ini, jumlah warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi mencapai 10 ribu keluarga. Namun hampir separuh dari rumah mereka yang bergaya lama telah berubah menjadi bangunan permanen berbentuk rumah toko.
Kini permukiman warga keturunan Tionghoa dengan arsitektur seperti rumah kapitan tersebut hanya terlihat di sepanjang Jalan Perniagaan. Di sana, rumah-rumah warga berjajar cukup rapat. Bangunannya berbahan dasar kayu dengan gaya lama. Semuanya punya desain yang sama, yakni menempatkan pintu utama di bagian tengah rumah. Jembatan yang menghubungkan jalan raya dengan anak tangga juga dibuat sejajar dengan pintu rumah yang langsung berhadapan dengan toapekong di ruang utama. "Maknanya, biar masuk lancar, keluarnya pun lancar," ucap Rendy Gunawan, Ketua Yayasan Multi Marga Tionghoa Bagansiapiapi.
Pemukiman warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi bermula pada 1820. Saat itu, 18 orang bermarga Ang dari Provinsi Fujian, Cina, mendarat di Bagansiapiapi setelah terombang-ambing tak menentu di tongkang. Kisah mereka kemudian diperingati setiap tahun di Bagansiapiapi melalui ritual bakar tongkang. Ritual itu menjadi tradisi warga keturunan Tionghoa yang sudah berlangsung ratusan tahun di Bagansiapiapi.
Orang-orang dari Fujian itu menetap di Bagansiapiapi dan menjadikan laut tempat mencari rezeki. Ketika itu, ikan yang berlimpah di lautan sekitar Bagansiapiapi membuat hampir semua warga keturunan Tionghoa bekerja sebagai nelayan. Mereka menguasai perdagangan ikan hingga mengekspornya ke luar negeri. Saking berlimpahnya hasil laut, Bagansiapiapi pernah dikenal sebagai daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia. Bagansiapiapi juga pernah menjadi penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. "Semula masyarakat keturunan Tionghoa bekerja sebagai nelayan," kata Rendy.
Geliat ekonomi di sektor perikanan membuka peluang usaha lain di Bagansiapiapi. Misalnya banyak warga keturunan Tionghoa yang membuka usaha penggalangan kapal. Karena itu, tak mengherankan jika warga keturunan Tionghoa dari Bagansiapiapi kini banyak tersebar di sejumlah wilayah pesisir Indonesia, termasuk di Jawa. "Ada pepatah mengatakan: di mana ada air, di situ ada orang Bagan," ujar Rendy.
Seiring dengan berjalannya waktu, penghasilan dari menangkap ikan di laut sekitar Bagansiapiapi kian berkurang. Hal itu membuat warga Tionghoa memilih merantau ke sejumlah daerah. Saat ini, kebanyakan anak muda keturunan Tionghoa memilih meninggalkan Bagansiapiapi untuk bersekolah atau membuka usaha di tempat lain. "Sekarang penghasilan dari sektor perikanan menurun," ucap Rendy.
Walau begitu, Rendy menambahkan, ada juga warga Tionghoa yang tetap tinggal di Bagansiapiapi. Kebanyakan dari mereka menjadi pedagang. Bahkan warga Tionghoa kini menguasai sektor perdagangan di Bagansiapiapi. Mereka memiliki hampir semua toko dan pusat belanja di tengah kota. Adapun warga yang memilih berkecimpung di bidang pemerintahan tak banyak. "Orang-orang keturunan Tionghoa lebih senang berdagang dan menjadi nelayan," katanya.
Menurut Rendy, interaksi sosial antara warga Tionghoa dan masyarakat Melayu di Bagansiapiapi terjalin baik. Mereka saling membantu dalam setiap pergelaran acara atau tradisi di Bagansiapiapi. Di sana tak pernah ada gejolak sosial saat warga Tionghoa merayakan hari besarnya, seperti malam Cap Go Meh, festival lampion, dan ritual bakar tongkang. "Masyarakat Melayu sangat menghargai kebudayaan Tionghoa," ujarnya.
Riyan Nofitra (Bagansiapiapi)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo