Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUAN orang keturunan Tionghoa berkumpul di kompleks Kelenteng In Hok Kiong, Jalan Kelenteng, Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, pada Sabtu dua pekan lalu. Mereka bergantian mengambil tiga batang hio-dupa Cina-yang tersedia di atas sebuah meja panjang di halaman kelenteng, kemudian menyulutnya dengan api dari lilin-lilin berukuran besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di hadapan sebuah replika tongkang yang dipajang di halaman kelenteng, warga keturunan Tionghoa itu bersembahyang secara bergantian. Mereka berlutut dan sesekali menunduk sambil menggoyangkan hio yang dijepit di antara kedua tangan. Kegiatan doa kemudian dilanjutkan di dalam kelenteng. Hari itu, hio terus-menerus dibakar tanpa pernah padam di Kelenteng In Hok Kiong. Jika hio habis, langsung diganti dengan yang baru. "Ini supaya doanya tidak pernah putus," kata Ketua Yayasan Multi Marga Tionghoa Bagansiapiapi Rendy Gunawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegiatan doa di kelenteng yang dibangun pada 1875 itu merupakan bagian dari rangkaian tradisi bakar tongkang yang digelar di Bagansiapiapi selama tiga hari pada Kamis-Sabtu dua pekan lalu. Acara lain berupa atraksi barongsai dan panggung hiburan yang menyuguhkan lagu-lagu Hokkian. Adapun puncak acaranya adalah pembakaran replika tongkang. Acara tahunan-yang kemudian bertajuk festival tahunan-tradisi warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi itu digelar untuk memberi penghormatan kepada nenek moyang mereka sekaligus melestarikan tradisi yang berusia ratusan tahun tersebut.
Dalam bahasa Hokkian, festival bakar tongkang disebut Go Gek Cap Lak, yang merujuk pada angka 5 dan 16. Dua angka itu berkaitan dengan waktu pelaksanaan festival, yakni pada hari ke-16 bulan kelima dalam penanggalan tradisional Tiongkok. Tahun ini, Dinas Pariwisata Provinsi Riau mencatat lebih dari 60 ribu wisatawan dalam dan luar negeri-termasuk warga keturunan Tionghoa-mengunjungi Bagansiapiapi untuk menghadiri ritual bakar tongkang di kota yang terletak di pesisir pantai timur Riau tersebut. Ritual itu pun masuk daftar 10 besar pergelaran wisata di Indonesia.
CUACA siang hari di Kota Bagansiapiapi cukup panas pada Sabtu dua pekan lalu itu. Temperatur udara mencapai 32 derajat Celsius. Namun kondisi tersebut tak menyurutkan semangat warga keturunan Tionghoa untuk meramaikan tradisi bakar tongkang. Ketika matahari tepat berada di atas ubun-ubun, ribuan orang berbaris di depan Kelenteng In Hok Kiong. Mereka membentuk kelompok berdasarkan tempat asal, persatuan, atau marga masing-masing. Setiap kelompok dibedakan dengan warna baju yang dikenakan.
Suasana kian semarak tatkala replika tongkang dikeluarkan dari tempatnya bersandar di halaman Kelenteng In Hok Kiong. Iringan musik dari tepukan simbal atau ceng ceng dan tabuhan tambur membuat prosesi pengangkatan replika tongkang makin kental bernuansa Tionghoa. Replika itu kemudian diangkat bersama-sama ke lokasi pembakaran di Jalan Perniagaan, sekitar 2 kilometer dari kelenteng. Tak ada syarat khusus bagi mereka yang ingin menggotong tongkang. Bahkan, sebagai bentuk penghormatan, para tamu undangan ikut dilibatkan pada awal pengangkatan tongkang. "Siapa saja boleh ikut menggotong tongkang," kata Rendy Gunawan.
Replika tongkang yang bakal dibakar itu sudah lama dipersiapkan. Setidaknya butuh waktu satu bulan untuk membuatnya. Tidak ada ritual khusus dalam pembuatan replika. Hanya, replika tongkang mesti dikerjakan oleh sejumlah orang yang ahli dalam bidang perkapalan, seni lukis, dan merangkai lampu hias. Selain itu, dibutuhkan pengalaman sekurangnya 20 tahun untuk membuat dok. Selama ini, pembuatan replika berjalan di bawah arahan kepala tukang Ang Kim Lo. Pria 71 tahun itu merupakan generasi kelima pembuat replika tongkang.
Setiap tahun, bentuk dan motif replika tongkang diupayakan dibuat sebaik mungkin. Pada tahun ini pun replika dibuat lebih menarik ketimbang pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam pergelaran kali ini, lukisan kepala naga yang menempel di depan kapal dibuat dengan model tiga dimensi dan dihiasi lampu sehingga terkesan lebih hidup. "Bagi kami, naga merupakan simbol dewa," ujar Rendy.
Replika tongkang dalam ritual tahun ini dibuat cukup besar dengan ukuran 9 x 3 meter. Ukuran replika memang tidak harus sama dengan yang dibuat untuk acara pada tahun-tahun sebelumnya. Dari luar, replika itu pun tampak artistik lantaran seluruh badannya dicat dengan kombinasi warna terang. Selain itu, setiap sisi badan kapal dihiasi gambar-gambar manusia yang terbuat dari kertas berkarakter anak buah kapal. Sebagai pelengkap, bendera bertulisan huruf Cina dipasang di setiap sudut kapal.
Dalam arak-arakan replika tongkang, tampak warga keturunan Tionghoa ikut mengiringi dengan membawa tiga batang hio yang sudah dibakar. Setiap kelompok dengan warna baju berbeda juga menampilkan sejumlah pertunjukan. Misalnya atraksi barongsai di sepanjang perjalanan, juga tatung-pertunjukan oleh seseorang yang dipercaya telah dimasuki roh halus. Di luar itu, terlihat beberapa pria berpakaian merah bersama-sama menggotong kio atau tandu berisi arca para dewa. Mereka mempertontonkan sebuah gerakan seakan-akan tongkang sedang berada di tengah badai besar di laut.
Arak-arakan replika tongkang itu menjadi tontonan menarik baik bagi warga lokal maupun wisatawan dalam dan luar negeri. Bagi warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Bagansiapiapi, perarakan itu sangat ditunggu-tunggu. Setiap warga yang rumahnya dilewati arak-arakan akan berpose seperti menyembah replika tongkang. Di sudut lain, warga keturunan Tionghoa terlihat membagi-bagikan minuman secara gratis kepada mereka yang ikut perarakan. Berbagai minuman itu disediakan di atas meja di tepi jalan yang dilewati arak-arakan.
Teriakan dan sorak-sorai tak berhenti bergemuruh hingga replika tongkang tiba di tempat pembakaran di Jalan Perniagaan. Di sana, sebuah lapangan dipersiapkan khusus untuk ritual pembakaran replika tongkang. Lokasi itu dipercaya sebagai dermaga tempat mendarat tongkang yang berisi leluhur warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi yang berlayar dari Provinsi Fujian, Cina. Mereka menginjakkan kaki di Bagansiapiapi setelah berhari-hari terombang-ambing di tengah laut.
Kertas sembahyang atau kim cua terlihat bertumpuk di tengah lapangan itu. Kertas-kertas tersebut dipersiapkan sebagai alas untuk replika tongkang yang akan dibakar. Replika tongkang kemudian diletakkan di atas tumpukan kertas kim cua. Tatkala dua tiang layar sedang dipasang, ribuan orang keturunan Tionghoa kembali bersembahyang menghadap replika. Layar kemudian terbentang, replika kapal pun siap dibakar.
Menjelang penyulutan api, ribuan orang beramai-ramai menghamburkan kertas kim cua diikuti teriakan yang cukup dramatis. Kertas-kertas itu pun beterbangan mengiringi api yang membakar tongkang. Dalam sekejap, api membesar dan menghanguskan semua bagian replika tongkang. Namun warga keturunan Tionghoa belum beranjak dari tempatnya. Mereka masih menunggu arah jatuhnya tiang utama replika tongkang. Mereka meyakini tiang utama yang jatuh ke arah darat sebagai pertanda bahwa rezeki dan keberuntungan berada di darat. Sedangkan jika tiang jatuh ke arah laut, tandanya rezeki dan keberuntungan berada di laut. Begitu tiang utama jatuh ke arah darat, mereka pun bersorak, kemudian membubarkan diri.
RITUAL bakar tongkang bermula dari kisah perjalanan sejumlah orang dari Provinsi Fujian untuk mencari kehidupan baru pada 1820. Saat itu, kehidupan di Cina daratan sulit buat mereka. "Di sana sulit mencari makan," kata Rendy Gunawan. Walhasil, tiga kelompok penduduk Fujian memutuskan untuk mengembara dengan mengarungi lautan menggunakan tiga tongkang.
Tongkang mereka sempat menepi di daratan Thailand. Tapi para pengembara tersebut menilai kondisi alam di Thailand ketika itu tidak cukup baik untuk menyambung hidup. Mereka kemudian kembali mengarungi lautan dan mendapat rintangan cukup berat. Kapal mereka terombang-ambing dihantam badai di tengah laut. Dua tongkang karam, sementara satu kapal berisi 18 orang selamat dari terjangan badai. "Tongkang yang selamat diisi orang-orang bermarga Ang," ujar Rendy.
Di dalam tongkang yang selamat itu terdapat patung Dewa Kie Ong Ya. Melalui mimpi, para pengembara yang tengah bimbang itu kemudian dibimbing Dewa Kie Ong Ya agar menemukan jalan menuju daratan. Dalam mimpi itu, Dewa Kie Ong Ya berpesan kepada para pengembara supaya segera menepi bila melihat daratan yang bercahaya. Tak lama berselang, mereka tiba-tiba melihat cahaya bergerak dalam keheningan malam. Mereka mengikuti arah cahaya itu hingga akhirnya menginjakkan kaki di suatu daratan.
Kendati cahaya itu sebenarnya berasal dari kunang-kunang yang beterbangan, para pengembara tetap yakin tempat yang bercahaya tersebut dapat memberi kehidupan baru. Walhasil, mereka menetap di daratan yang kaya akan ikan tersebut. Sadar akan hasil laut yang berlimpah, para pengembara itu pun melanjutkan hidup di sana dengan menangkap ikan. "Mereka menjadi nelayan," ucap Rendy. Sebagai rasa syukur kepada Dewa Kie Ong Ya, para pengembara memutuskan untuk membakar tongkang yang sebelumnya mereka tumpangi. Pembakaran tongkang menjadi semacam persembahan bagi sang Dewa.
Kehidupan yang baik dan ikan laut yang berlimpah membuat para pengembara segera mengajak sanak-saudara mereka di Cina untuk pindah ke daratan itu. Hingga pada akhirnya makin banyak penduduk Tiongkok yang datang ke sana. Belakangan, mereka memberi nama daratan itu Baganapi-kini menjadi Bagansiapiapi. Nama tersebut diambil dari kata "bagan", yang berarti tempat penampungan ikan. Setiap malam, pada masa itu, bagan sering dihiasi cahaya yang berasal dari kunang-kunang.
Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat Melayu yang tinggal di kawasan Tanah Putih Tanjung Melawan, sekitar 60 kilometer dari Bagansiapiapi, berangsur pindah ke Baganapi. Mereka menjalin hubungan yang baik dengan warga Tionghoa, bahkan berbaur mencari ikan yang berlimpah di sana. Hingga awal 1990, Bagansiapiapi pun dikenal sebagai wilayah penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia.
TOKOH warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi, Siswaja Mulyadi, mengatakan tradisi bakar tongkang adalah wujud rasa syukur warga keturunan Tionghoa kepada Dewa Kie Ong Ya, yang telah menyelamatkan leluhur mereka ketika terombang-ambing di laut. Para leluhur itu bahkan diberi kehidupan baru yang baik karena terdampar di daratan dengan laut yang kaya ikan. "Kami bersyukur karena para leluhur bisa selamat dan diberi hidup yang layak hingga anak-cucu," kata Siswaja.
Setiap tahun, ritual bakar tongkang diselenggarakan secara mandiri oleh warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi. Menurut Siswaja, warga tidak pernah sekali pun meminta anggaran pelaksanaan acara itu kepada pemerintah. Ia menerangkan, dana ritual dikumpulkan dari sumbangan warga keturunan Tionghoa di dalam dan di luar Riau. "Mereka tidak pernah ragu mengeluarkan uang sebesar apa pun untuk kepentingan acara ini," ujarnya.
Menurut Siswaja, warga keturunan Tionghoa selalu ingin berpartisipasi dalam ritual bakar tongkang. Sebab, secara spiritual, mereka meyakini tradisi itu bisa memberi manfaat untuk peningkatan taraf hidup dan keberuntungan dalam bekerja ataupun berusaha. "Mereka merasakan manfaatnya. Setelah mengikuti ritual itu, rezeki mereka makin bertambah," ucapnya.
Bahkan warga keturunan Tionghoa yang lahir di Bagansiapiapi tapi sedang merantau ke luar wilayah itu tidak ragu untuk pulang kampung demi ritual bakar tongkang. "Setiap tahun mereka selalu datang dengan sumbangan yang lebih tinggi," kata Siswaja. Menurut dia, tradisi pulang kampung itu semacam panggilan mistis dari Dewa Kie Ong Ya yang menjadi keyakinan warga keturunan Tionghoa. "Kalau tidak pulang kampung saat ritual bakar tongkang, mereka pasti merasakan ada sesuatu yang kurang lengkap."
Tak hanya berupa ritual, tradisi bakar tongkang juga menjadi ajang silaturahmi dan reuni warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi. Banyak di antara mereka yang merantau pulang untuk menghadiri acara itu dengan membawa misi sosial, misalnya membagikan paket bahan pokok dan mengadakan operasi katarak untuk anak yatim-piatu. Sembari bereuni, para alumnus sekolah Methodist di Bagansiapiapi juga memberi bantuan berupa dukungan dana untuk pembangunan gedung sekolah yang terbilang tua itu. "Kami bantu untuk membangunnya kembali karena kondisi fisiknya tidak layak," ujar Jenny Wijaya, seorang warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi yang merantau ke Jakarta.
Riyan Nofitra (Bagansiapiapi)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo