Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Figur-figur Grotesk Natisa

Seniman muda Bali, Natisa Jones, menampilkan sejumlah gambar dan lukisan dalam pameran tunggalnya di Galeri Salihara. Dokumentasi tentang emosi, pikiran, dan berbagai ide.

7 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Figur-figur Grotesk Natisa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKISAN itu menggambarkan wujud seseorang yang sedang melukis. Sambil memegang kuas berukuran besar, ia seperti tengah memperhatikan sebuah kanvas di atas meja yang terletak di hadapannya. Berukuran 220 x 160 sentimeter, lukisan berbahan cat akrilik dan charcoal di atas kanvas linen tersebut dibuat dengan warna-warna pastel yang lembut, antara lain merah muda, krem, hijau, dan biru. Tampilan berbeda hanya untuk figur orang, yang didominasi warna hitam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berjudul Neck Bone/Que Guapa, lukisan itu merupakan karya perupa muda asal Bali, Natisa Jones. Ia membuatnya tahun ini dengan merujuk pada profesinya sebagai pelukis. "Lukisan tersebut menggambarkan diri saya," kata perempuan kelahiran 1989 itu, Sabtu dua pekan lalu. Menurut Natisa, kuas besar yang tergambar dalam lukisan memiliki makna lain, yakni sebagai senjata. Ini menyimbolkan kegiatan melukis dan menggambar yang menjadi senjata dalam kehidupan Natisa. "It's my way. It's explaining my messages."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Neck Bone/Que Guapa adalah salah satu karya yang ditampilkan Natisa dalam pameran tunggalnya bertajuk "Grotesk" di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, pada 1-26 Juli ini. Ada sekitar 100 lukisan dan gambar-termasuk Neck Bone/Que Guapa-yang disuguhkan Natisa dalam pameran tersebut. Karya-karya yang dibuat pada 2011-2018 itu kebanyakan menggunakan bahan dasar cat akrilik dan charcoal yang dilukiskan di atas kanvas dan paper.

Hampir semua lukisan dan gambar bikinan Natisa berangkat dari tema yang sama, yakni permasalahan manusia. Ia menggali tema itu dari pengalaman pribadi berupa emosi, pikiran, dan berbagai ide yang muncul dalam perjalanan hidupnya. Menurut Natisa, cara tersebut diterapkan sejak ia pertama kali melukis pada usia 5 tahun. "Tidak pernah ada karya yang dibuat konsepnya," ujar lulusan Jurusan Seni Lukis Royal Melbourne Institute of Technology, Australia, itu. "Semuanya on the spot, spontan, dan jujur dari apa yang saya rasakan."

Natisa menyebut proses kreatifnya sebagai dokumentasi-dalam bentuk lukisan dan gambar-dengan tujuan untuk mengerti segala yang terjadi dalam hidupnya. Dalam dokumentasi itu, Natisa selalu menggunakan figur manusia untuk menggambarkan emosi, pikiran, dan berbagai idenya. Hampir semua karyanya, termasuk yang ditampilkan di Galeri Salihara, memasukkan unsur figur manusia. Cara itu ia gunakan agar dapat mengeksplorasi kebatinannya sebagai seorang manusia. "Melalui figur, saya juga bisa bertanggung jawab terhadap berbagai sentimen yang saya bawa dalam lukisan atau gambar," ucapnya.

Selain Neck Bone/Que Guapa, salah satu lukisannya di Galeri Salihara yang menggambarkan figur manusia adalah Game of Thrones. Dalam lukisan di atas paper berukuran 76,5 x 57 sentimeter itu, Natisa menghadirkan dua figur manusia yang duduk berjarak. Figur pertama memalingkan kepalanya ke arah kiri. Sedangkan figur kedua seperti sedang menunduk dan menutup kepalanya dengan kedua tangan. Di atas gambar dua figur itu, Natisa melapisinya dengan cat akrilik dan charcoal berwarna biru dan sedikit hitam. Sebagai pelengkap, ia menuliskan sebuah pesan pada bagian atas lukisan: "If you don't wanna watch game of thrones, then I'm going to bed".

Menurut Natisa, lukisan yang ia buat pada 2014 itu merupakan dokumentasinya terhadap kejadian dalam keseharian manusia yang kerap luput dari perhatian banyak orang. Di situ, ia menggambarkan seseorang yang mengajak kekasih atau keluarganya menonton sebuah acara di televisi. Lantaran ajakannya tak mendapat respons positif, seseorang itu kemudian memilih tidur. Dalam lukisan itu, Natisa seperti ingin menampilkan sisi humanisme dalam bentuk yang sangat sederhana. "Momen seperti itu penting untuk didokumentasikan karena suatu hari nanti mungkin saja tidak akan pernah terjadi lagi," katanya.

Kurator pameran, Asikin Hasan, mengatakan karya-karya Natisa berupa sosok-sosok pipih yang tampak buruk rupa, cemberut, atau telanjang lebih banyak mengusung sebuah problem ketimbang pengalaman estetik. Lewat penggambaran tubuh manusia, menurut Asikin, Natisa membongkar dunia bawah sadar dan dunia sejati manusia yang jujur, polos, dan apa adanya. "Tak menutup kemungkinan itu juga dunia bawah sadar kita yang selalu ditekan karena adanya sensor sosial," ujar Asikin dalam catatan kuratorialnya.

Asikin menyebut karya-karya Natisa sebagai Grotesk-yang kemudian menjadi judul pameran. Menurut dia, realisme Grotesk umumnya ditemukan dalam karya-karya pelukis Eropa. Yang paling mencekam antara lain bisa dilihat dalam karya-karya Otto Dix, George Grosz, dan para pelukis lain pada masa Republik Weimar di awal hingga menjelang pertengahan abad ke-20. "Mereka memuntahkan apa-apa yang rasional dan waras dalam kebudayaan Eropa menjadi sesuatu yang juga irasional dan sinting," ucapnya.

Karya-karya Natisa juga mencoba mengembalikan manusia pada pengalaman-pengalaman paling personal, menempatkan sesuatu yang dianggap "suci" menjadi biasa-biasa saja, dan membuat yang tabu menjadi terbuka agar manusia kembali melihat kesejatian dirinya. "Natisa Jones menolak takut dan tidak melupakan apa yang menjadi bagian dalam hidupnya," ujar Asikin.

Menurut Natisa, garis besar karya-karyanya yang ditampilkan di Galeri Salihara tak jauh berbeda dengan karya-karya pameran tunggalnya sebelumnya, antara lain yang bertajuk "Under" di Ghostbird+Swoon pada 2015 dan "Tough Romance" di Ruci Art Space pada 2016. Benang merahnya adalah Natisa sendiri yang berkarya untuk kepentingan mengerti dunia dan kehidupannya. Kendati begitu, Natisa tak ingin mendikte penilaian dan perasaan orang lain ketika melihat karya-karya bikinannya. "Saya menerima interpretasi orang yang berbeda-beda terhadap karya saya," katanya.

Prihandoko

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus