Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Muhammad Falak bin Abbas melawan dominasi jawara dan dukun di Pagentongan, Bogor.
Ia dianggap mampu menyembuhkan penduduk yang sakit.
Kerap menggelar hiburan tari Saman Geong, Falak menyisipkan manakib ulama asal Persia.
SEORANG pria paruh baya membaca Al-Quran di hadapan pusara Kiai Haji Tubagus Muhammad Falak bin Abbas di Pagentongan, Bogor, Jawa Barat, pada Senin sore, 4 Mei lalu. Kedua nisan makam yang berada di bagian belakang kediaman utama itu tertutup kain putih. Sekelilingnya merupakan lantai keramik yang menjadi alas para peziarah untuk berdoa di bangunan terbuka seluas 8 x 10 meter persegi itu.
Cicit Muhammad Falak, Achmad Ubaidillah, mengatakan biasanya makam itu dipenuhi rombongan peziarah yang datang dengan bus atau mobil angkutan kota. “Terutama pada malam Jumat dan malam Rabiulawal atau hari besar Islam,” ujar Ubaidillah, 4 Mei lalu. Pengurus pondok memang biasa mengadakan zikir bersama di makam Falak tiap Kamis malam setelah isya.
Zikir rutin malam Jumat merupakan wasiat Falak sebelum ia meninggal pada 19 Juli 1972 ketika berusia 130 tahun. Pengganti yang juga putranya, Kiai Tahir Falak, saat diwawancarai tim penulis buku Profil Pesantren Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor terbitan LP3ES, mengatakan bacaan yang didaraskan adalah manakib atau kisah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, ulama fikih asal Persia. Sedangkan pada Jumat, tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah menggelar khatam Al-Quran bakda asar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Achmad Ubaidillah, cicit KH Tubagus Muhammad Falak, di Pagentongan, Bogor, 4 Mei 2020. TEMPO/Gunawan Wicaksono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Falak juga menerima warisan teks manakib Badar, cerita tentang 313 tentara yang meninggal dalam Perang Badar yang dipimpin Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia juga mewarisi sebuah bacaan yang berdasarkan tujuh ayat Al-Quran. Namun tak ada cerita detail mengenai warisan tersebut.
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Ahmad Ginanjar Sya’ban, memperkirakan biografi veteran Perang Badar yang diwariskan kepada Falak berasal dari Mufti Syafii Ahmad Zaini Dahlan. “Ia guru Abah Falak dan wafat di Mekah pada 1885,” kata peneliti naskah Islam Nusantara lulusan Al-Azhar University, Mesir, ini.
Cucu Falak, Tubagus Rahmatullah, mengatakan, berdasarkan cerita turun-temurun, kakeknya tak mudah membuka perguruan di Bogor meski memiliki banyak ilmu hasil belajar di Arab Saudi selama 21 tahun. Mayoritas penduduk yang bekerja sebagai petani semula memeluk agama Hindu. Mereka rutin menyiapkan sesaji agar hasil panen melimpah. Di kawasan itu juga konon banyak jawara yang kerap mengganggu penduduk.
Menurut Rahmat, Falak, yang mempunyai sawah luas, kerap membagikan hasil panen kepada masyarakat. “Ini untuk mengikis budaya sesaji,” ucapnya. Falak juga meredam amarah para jawara yang tak menyukai kehadirannya di Bogor dengan beradu kekuatan. “Siapa yang bisa mengambil kelapa dari pohon tanpa menyentuhnya, dia menang. Abah bisa melakukan itu,” tutur Rahmat mengulang cerita yang didengarnya.
Rahmat menambahkan, para dukun di Bogor juga tak menyenangi kakeknya karena masyarakat kerap berobat ke Pagentongan. “Abah belajar ilmu tib atau kesehatan dan obat-obatan,” ujar Rahmat. Biasanya, medium yang digunakan Falak berupa air putih atau bacaan Al-Fatihah. Rahmat mengkompilasi cerita-cerita ini dari sejumlah murid Falak yang sempat ia temui, seperti Kiai Haji Ali Muchtar Kusuma yang tinggal di Karawang, Jawa Barat; Kiai Jamhari; Mama Abdul Haq; dan Kiai Fakhrur Razi.
Dari cerita mereka, Rahmat mengerti bahwa Falak selalu berpesan kepada murid-muridnya agar jangan sampai meninggalkan zikir. Saat berkunjung ke kampung halamannya di Sabi, Pandeglang, Falak kerap menggelar hiburan berupa tari saman geong diselingi bacaan manakib Syekh Abdul Qadir al-Jailani. “Abah juga berpesan agar kami membangun fondasi Islam yang ramah, santun, dan penuh toleransi. Kami juga diajari untuk tawaduk,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo