Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai penyebar Islam di Jawa Barat bagian selatan.
Salah satu tokoh sentral tarekat Sattariyah.
Menyelamatkan Syekh Yusuf al-Makassary di gua keramat dari perburuan tentara Belanda.
SELEMBAR sajadah lusuh menemani Busrol Karim yang lelap tertidur di area makam Syekh Haji Abdul Muhyi di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia tidur menyamping menghadap pusara. Di sebelahnya, seorang pria berpakaian serba putih juga tampak terlelap. Beberapa kitab tergeletak di samping tubuhnya. “Semalaman saya tawasulan di sini, mendoakan ahli kubur,” kata Busrol setelah terbangun dari tidurnya kepada Tempo, Rabu, 6 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Busrol adalah warga Pamijahan yang rutin bertawasul di makam itu setiap pekan. Tempat yang biasanya ramai itu kini sepi karena pemerintah Tasikmalaya menutup lokasi ini sejak April lalu untuk memutus penyebaran Covid-19. “Sebelum wabah corona, paling sepi itu bila sehari yang datang lima bus. Puncaknya pada bulan Rajab sampai Syakban, peziarah bisa membeludak,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gapura menuju Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan, Kabupaten Tasikmalaya. Tempo/Iqbal T. Lazuardi
Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai penyebar agama Islam di Sunda bagian selatan dan tokoh tarekat Sattariyah. Dia lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 1650 Masehi atau 1071 Hijriah sebagai putra pasangan Sembah Lebe Warta Kusumah dan Raden Ajeng Tanganjiah. Ayahnya keturunan Raja Galuh, sementara ibunya keturunan Kesultanan Mataram. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan di Giri, Gresik, Jawa Timur, tempat leluhur ibunya yang punya garis darah dari Sunan Giri.
Pada usia 19 tahun, ia belajar agama kepada Syekh Abdul Rauf Sinkel, ulama terkenal di Singkil, Aceh, yang juga guru tarekat Sattariyah tersohor. “Singkil masa itu juga pusat pengembangan Islam,” tutur Wildan Yahya, pengajar Universitas Islam Bandung dan penulis buku Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi.
Abdul Rauf mengajak Muhyi dan murid-muridnya yang lain pergi ke Bagdad, pusat peradaban Islam masa itu. Tak banyak informasi soal kehidupan Muhyi pada periode ini. “Kalaupun ada, itu berkaitan dengan kesalehan dan kecerdasan beliau,” ujar Wildan.
Masjid Agung Pamijahan di Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya. Tempo/Iqbal T. Lazuardi
Lebih-kurang satu setengah tahun kemudian, Abdul Rauf mengajak Muhyi dan murid lainnya ke Mekah, Arab Saudi. Suatu hari, kata juru kunci obyek wisata ziarah Pamijahan, Endang Adjidin, sang guru melihat cahaya dari arah Muhyi saat berada di Masjid Al-Haram. “Bakat kewalian beliau terlihat saat itu,” Endang menuturkan.
Menurut Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo dan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia, dalam tradisi lisan, cahaya yang muncul dari seseorang merupakan isyarat umum tentang kesalehan. “Ini sama dengan kisah saat Sunan Ampel mengetahui kewalian Sunan Giri,” ucapnya.
Abdul Rauf lalu memanggil Muhyi dan menyampaikan firasatnya. Dia menyarankan Muhyi mengembangkan Islam di Jawa Barat bagian selatan dan mencari sebuah gua. Nasihat ini melahirkan tafsir apakah itu gua fisik atau metafora. Menurut Wildan, gua itu lebih merupakan metafora tentang sebuah tempat untuk mengembangkan dakwah.
Setelah setengah tahun di Mekah, Abdul Rauf dan murid-muridnya pulang ke Aceh. Muhyi pulang ke Gresik dan memutuskan pergi ke wilayah selatan Jawa Barat, daerah yang saat itu lebih sulit aksesnya daripada sisi utara Jawa. Sebelum perjalanan Muhyi dimulai, orang tuanya menikahkannya dengan Ayu Bakta.
Agus Sunyoto mengaitkan kepergian Muhyi ini dengan situasi kacau di Giri karena ketidakakuran Muhyi dengan penguasa Mataram, Amangkurat II. “Gua di sini bisa dimaknai sebagai tempat bersembunyi atau berlindung,” ujarnya.
Peziarah sedang bertawasul di makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan, Kabupaten Tasikmalaya. Tempo/Iqbal T. Lazuardi
Persinggahan pertama Muhyi adalah Darma Kuningan, daerah yang kini menjadi Kuningan. Ayah dan ibunya kemudian menyusul. Selama 1678-1685, mereka tinggal di Pamengpeuk, Garut. Ayah Muhyi meninggal di sini dan dimakamkan di tepi Kali Cikaengan. Muhyi lalu meneruskan perjalanan dan tinggal di Lebaksiuh selama 1686-1690. Ini persinggahan terakhirnya sebelum menemukan sebuah daerah yang masih berupa hutan dan terdapat gua—lokasi yang kini bernama Pamijahan.
Menurut Wildan, ada kelompok penyihir Batara Karang yang berkuasa di sana dan tak senang terhadap tamu baru ini. Menurut cerita yang beredar, kata Wildan, dua penyihir hendak membunuh Muhyi saat ia sedang mendirikan salat. Pembunuhan itu gagal karena mereka tak bisa menarik pedang lantaran selalu memanjang saat hendak dikeluarkan dari sarungnya.
Di lokasi baru yang diberi nama Safarwadi ini, Syekh Muhyi membuka perkampungan dan menyebarkan Islam. Guanya dipakai untuk bersemadi dan tempat pendidikan. Nama Safarwadi disematkan karena lokasinya yang memang di tepi tebing, tapi ada yang menafsirkannya sebagai “perjalanan rahasia”.
Syekh Muhyi menggunakan sejumlah cara untuk mengajarkan Islam. Wildan mengutip cerita saat Muhyi membantu masyarakat yang tak kunjung mendapatkan ikan saat memancing. Dia memberikan contoh dengan membaca kalimah syahadat sebelum melempar pancing. Ikan pun berdatangan dan memakan umpan itu.
Menurut Agus Sunyoto, pada masa itu, orang Sunda memiliki tradisi berladang. Muhyi memberi contoh bagaimana menanam padi yang lebih baik. Imam Mudofar, warga Pamijahan yang juga aktivis Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya, bertutur tentang tradisi membacakan doa untuk benih padi yang akan ditanam oleh warga Pamijahan yang merupakan warisan dari masa Syekh Muhyi itu.
Apa yang dilakukan Muhyi, kata Agus, sangat khas pendekatan dakwah model Wali Sanga, para wali yang juga penganut tarekat. “Mereka tidak begitu menekankan pada aspek fikih, hukum Islam, tapi pada tauhid, eling. Eling itu kan zikir,” ucap Agus.
Daya tarik Muhyi yang paling kuat adalah tarekat Sattariyah-nya. Menurut Tommy Cristomy, filolog dari Universitas Indonesia, Muhyi merupakan tokoh kunci tarekat Sattariyah, terutama di Jawa. “Bahkan pengaruh tarekat Sattariyah yang bersumber dari Syekh Muhyi juga ditemukan di luar negeri, Malaysia misalnya,” tuturnya.
Goa Saparwadi di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya. Tempo/Iqbal T. Lazuardi
Syekh Muhyi juga terlibat dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Menurut Tommy, peristiwa yang membuat Muhyi masuk radar Belanda adalah konflik Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1695) dengan kongsi dagang Belanda (VOC). Konflik ini menyebabkan Sultan Ageng dan pendukungnya, termasuk Syekh Yusuf al-Makassary, tersingkir dan diburu Belanda.
Salah satu tempat pelarian mereka adalah Karang, daerah yang mencakup Pamijahan. Tommy menemukan dokumen di Belanda yang menyebut Karang sebagai daerah pemberontak dan ada keterangan tentang “hajj van Karrang”. Menurut Tommy, haji yang tersohor di Karang saat itu adalah Syekh Muhyi.
Informasi ini, Tommy menambahkan, diperkuat oleh surat ucapan terima kasih yang ditulis Syekh Yusuf kepada Syekh Muhyi. “Ini menguatkan dugaan bahwa Syekh Muhyi ini tokoh riil dan figur yang paling sesuai dengan deskripsi dokumen Belanda yang menyebut pemberontak dari Karang itu,” kata Tommy.
Menurut Wildan, Belanda pernah berusaha menangkap Muhyi. Penangkapan itu gagal karena Muhyi bersembunyi di gua Safarwadi. Selain sebagai tempat persembunyian, gua menjadi salah satu sumber cerita kekeramatan Syekh Muhyi. Misalnya tentang gua yang tembus hingga ke Mekah dan bagaimana Muhyi berhaji setiap tahun—hal yang sangat sulit dilakukan pada masa itu. Bagi Wildan, itu hanya metafora. “Soal naik haji, itu haji spiritual. Tidak langsung ke Mekah, tapi merasakan secara spiritual tawaf, sai, dan berbagai ritual haji lain,” ujarnya.
Menangkap Syekh Muhyi di Pamijahan, kata Tommy, memang bukan perkara mudah karena sulitnya medan. Dia mengisahkan bagaimana kerumitan peneliti Belanda, Rinkes, saat hendak menengok makam Muhyi sekitar tahun 1900. Ia naik kuda, tapi akhirnya ditandu untuk sampai ke makam.
Gua Safarwadi terletak sekitar 600 meter dari makam. Kini banyak peziarah bersemadi selama berhari-hari di sini karena gua ini dianggap sebagai tempat yang mustajab untuk berdoa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo