Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sirat Jejak Guru Falak

Muhammad Falak bin Abbas menjadi guru dari berbagai tokoh Islam penting di negeri ini. Ikut melawan Belanda, kiprahnya menonjol di politik.

23 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tubagus Muhammad Falak. Ilustrasi: Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Muhammad Falak bin Abbas menyebarkan Islam di Bogor, Jawa Barat.

  • Tinggal di Mekah sejak usia 15 tahun, Falak bin Abbas belajar selama 21 tahun.

  • Ia ikut bertempur melawan Belanda.

BERZIARAH ke Pondok Pesantren Al-Falak, Pagentongan, Bogor, Jawa Barat, pada pertengahan Januari 2019, Ma’ruf Amin menanyakan keberadaan sungai di kompleks tersebut. Mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu mengingat sungai tersebut berada di dekat makam Tubagus Muhammad Falak bin Abbas, pendiri pesantren tersebut. “Saya sering bertemu sebelum beliau wafat pada 1972,” kata Wakil Presiden itu melalui juru bicaranya, Masduki Baidlowi, pada Jumat, 15 Mei lalu.

Beda usia Ma’ruf dan Muhammad Falak 101 tahun. Mama Falak (kata “mama” dalam bahasa setempat berarti “bapak”)—panggilan Muhammad Falak—lahir di Sabi, Pandeglang, Banten, pada 1842 dan meninggal saat berusia 130 tahun. Ma’ruf berkawan akrab dengan salah satu anak Falak yang juga politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Tubagus Cecep Syarifuddin Falak—kini sudah meninggal.

Ma’ruf menganggap Falak sebagai pemimpin tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Indonesia yang karismatik. Tarekat itu satu dari 27 ilmu yang Falak pelajari di Mekah, Arab Saudi. Dalam buku Profil Pesantren Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor yang ditulis Sudjoko Prasodjo dan kawan-kawan diceritakan bahwa Falak belajar di negara itu sejak berusia 15 tahun. Di sana, putra tunggal pemimpin Pondok Pesantren Sabi Kiai Tubagus Abbas dan Ratu Quraisyn ini tinggal selama 21 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KH Tubagus Muhammad Falak (kiri) saat mengajar di Pondok Pesantren Pagentongan, Bogor, sekitar tahun 1960. Dok. Keluarga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku itu menyebutkan Falak awalnya tinggal di rumah gurunya yang juga berasal dari Banten, Syekh Abdul Karim Banten. Ia murid sufi besar Masjid Al-Haram sekaligus pendiri tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, Syekh Achmad Khotib al-Syambasi. Sebelum wafat pada 1863, Syekh Achmad Khotib membaiat Syekh Abdul Karim sebagai penerusnya untuk Qadiriyah Naqsyabandiyah. Dari Syekh Abdul Karim inilah Falak mendalami tarekat yang bertujuan menyucikan jiwa melalui berbagai amalan.

Falak juga belajar ilmu tafsir Al-Quran dan fikih, hadis, astronomi, serta ilmu lain. “Abah Falak lalu kembali ke Banten pada 1878,” demikian tertulis dalam buku tersebut. Sepuluh tahun kemudian, Falak bersama murid lain Syekh Abdul Karim Banten, di antaranya Kiai Haji Asnawi Caringin, Kiai Tubagus Wasid, dan Kiai Tubagus Ismail, ikut dalam pemberontakan petani melawan Belanda, yang dikenal sebagai peristiwa Geger Cilegon.

Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia sekaligus peneliti naskah Islam Nusantara, Ahmad Ginanjar Sya’ban, mengatakan catatan penasihat urusan pribumi Hindia Belanda, Karel Frederik Holle, menyebutkan Geger Cilegon merupakan hasil hasutan Syekh Abdul Karim Banten sehingga banyak muridnya, termasuk Falak, ikut berperang. Namun catatan Holle itu dibantah penerusnya, Christian Snouck Hurgronje, yang menyatakan Abdul Karim berada di Mekah saat peristiwa tersebut terjadi. “Snouck menyebutkan Abdul Karim terakhir mengunjungi Banten pada 1872,” ujar alumnus Al-Azhar University, Kairo, Mesir, ini.

KH Tubagus Muhammad Falak (tengah) saat dikunjungi oleh Menteri Agama Saifuddin Zuhri (kanan) di Pagentongan, Bogor, tahun 1966. Dok. Keluarga

Menurut cicit Falak, Achmad Ubaidillah, kakek buyutnya itu sudah hijrah ke Pagentongan dari Banten saat perang meletus. Perpindahan itu menuruti permintaan ayah Falak untuk bertablig di luar Banten. Dalam perjalanan dari Sabi, Pandeglang, Falak muda membuka jalan dengan jalur Ciseukeut, Cibaliung, hingga tembus sejauh 40 kilometer ke Pagentongan, tempatnya kini. “Cerita dari para sesepuh kami, daerah ini dulu mayoritas memeluk Hindu dan banyak jawara,” kata Ubaidillah.

Berbekal ilmu utama tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dan berbagai ilmu lain yang didalami di Saudi, Falak mendirikan pondok pesantren. Ia kemudian menikah dengan gadis desa setempat, Siti Fatimah, dan memiliki putra, Tubagus Muhammad Abbas alias Bapak Aceng. Falak perlahan menyebarkan Islam di Bogor melalui pendekatan ilmu kanuragan dan kesaktian lain.

Majalah Al Huda terbitan komunitas Arab di Batavia pada 1930 mengulas para ulama Sunda yang bermukim di Saudi, termasuk Falak. Ia disebut memiliki rumah wakaf di Mekah yang digunakan untuk mengajar dan pengajian. Falak juga menjadi pengajar di Madrasah Al-Shaulatiyah. “Mama Falak bolak-balik Mekah-Banten pada 1892-1920-an,” tutur Ahmad Ginanjar, yang memiliki salinan majalah itu.

Selain mengajar, kata Ginanjar menukil majalah tersebut, Falak menjadi mutawif atau pemandu jemaah di biro perjalanan haji milik Syekh Nawawi Banten. Pada 1892-1893, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, Hasyim Asy’ari, baru belajar di Mekah. Ginanjar menduga ada kemungkinan Falak menjadi salah satu guru Hasyim Asy’ari. Dalam manuskrip Hasyim disebutkan bahwa salah satu gurunya adalah Syekh Nawawi Banten, yang juga guru sekaligus kerabat Falak. 

Falak juga disebut sebagai guru pendiri Nahdlatul Wathan Lombok, Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Keterangan ini dimuat dalam buku Dakwah Moderasi Tuan Guru karya Muhammad Haramain yang terbit pada 2012. Dalam video biografi tokoh karismatik Kalimantan, Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjar, yang biasa disebut Abah Sekumpul Martapura, juga disebutkan bahwa Falak salah satu gurunya yang mengajarkan 27 ilmu.

Wakil Presiden Ma'aruf Amin di Jakarta. TEMPO/Subekti

Murid kondang Falak yang lain adalah Habib Salim bin Jindan. Ulama yang menghasilkan berbagai karya di bidang hadis ini mempunyai empat jilid biografi para gurunya yang berjudul Raudhah Al-Wildan Fi Tsabat Ibn Jindan. “Saya pernah melihat manuskrip Habib Salim, salah satu gurunya adalah Abah Falak, tercatat di manuskrip itu,” ujar Ginanjar.

Dari manuskrip berbahasa Arab itu, ucap Ginanjar, bisa saja nantinya ditemukan kitab-kitab karya Falak. Sebab, kitab karangan Falak belum muncul. Namun, menurut dia, tidak semua ulama membuat kitab. Ada pula yang tak ingin meninggalkan jejak. Ia mencontohkan, kakek guru Falak, Syekh Achmad Khotib al-Syambasi, memiliki kitab Futuhul Arifin yang tidak ditulis sendiri, melainkan dikumpulkan para muridnya.

Kiprah Falak justru terlihat di kancah politik Indonesia. Salah satu kitab yang dikarang Kiai Tanbih Abdul Karim Kranji berjudul Tanbihul Ikhwan menyebut Falak sebagai ulama berpengaruh di Indonesia. Kitab yang terbit pada 1957 tersebut menjelaskan ulama-ulama ahlusunah wal jamaah yang menjadi rujukan otoritatif di Indonesia saat itu.

Dalam buku Berangkat dari Pesantren karya Kiai Haji Saifuddin Zufri disebutkan bahwa Falak bersama Kiai Haji Wahab Hasbullah Jombang, Kiai Haji Abbas Buntet Cirebon, dan Kiai Haji Mustofa Singaparna Tasikmalaya menjadi pemimpin rohani Laskar Hisbullah, laskar rakyat pada masa perjuangan kemerdekaan. Tokoh politik seperti Sukarno, Soeharto, dan para menteri kerap beranjangsana ke rumah Falak. “Ini menunjukkan beliau sebagai ulama punya peran sentral,” tutur Ginanjar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus