Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mursyid Tersohor Tarekat Sattariyah

Syekh Muhyi dipandang sebagai mursyid besar tarekat Sattariyah.

23 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jamaah Tarekat Syattari melakukan zikir seusai melaksanakan salat Idul Adha di Andalas, Padang, Sumatera Barat, September 2016. ANTARA/Iggoy El Fitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan.

  • Dia tersohor sebagai mursyid tarekat Sattariyah di Jawa.

  • Belum ditemukan manuskrip Sattariyah yang ditulis Syekh Muhyi.

PERISTIRAHATAN terakhir Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan berjarak sekitar 45 kilometer atau bisa ditempuh selama kurang-lebih 90 menit dari Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Peziarah harus melewati jalan perkampungan sejauh 800 meter dan ratusan anak tangga sebelum disambut tanda “Selamat Datang di Makam Waliyullah Syeikh Abdul Muhyi Safarwadi Pamijahan”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan, Syekh Abdul Muhyi banyak diliputi kisah tentang kekeramatannya. Namun yang membuat namanya lebih tersohor adalah posisi pentingnya dalam penyebaran tarekat Sattariyah. “Syekh Muhyi adalah mursyid (guru) tarekat Sattariyah yang besar,” kata Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo. “Dari berbagai sumber tarekat Sattariyah, sebagian besar merujuk ke Syekh Muhyi.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama tarekat Sattariyah, yang pertama kali muncul di India pada abad ke-15, dinisbahkan kepada tokoh yang mengembangkannya, yakni Abdullah al-Sattar. Menurut Tommy Christomy, filolog dari Universitas Indonesia, Sattariyah masuk ke Indonesia pada abad ke-17 melalui Abdurrauf al-Singkili, ulama Aceh yang mempelajarinya di Mekah. “Di Jawa, mursyid Sattariyah di bawah Abdurrauf adalah Syekh Abdul Muhyi,” ucap penulis disertasi “Signal of Wali: Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan, West Java” ini.

Menurut Agus Sunyoto, tarekat punya kecenderungan mudah mengakomodasi unsur-unsur lokal. Penjelasan dari amalan tarekatnya, yang biasanya berupa wirid, misalnya, disampaikan dalam bahasa daerah. “Unsur lokalitas sangat kuat,” tuturnya.

Jamaah tarekat Syattariyah berbuka puasa sambil menanti kemunculan bulan (hilal) di pantai Ulakan, Sumatera Barat, Juni 2017. ANTARA/Iggoy El Fitra

Menurut Tommy, meskipun beberapa sarjana menyebut ajaran Sattariyah tergolong kecil di India, tarekat tersebut punya peran penting di Indonesia pada masa itu, khususnya di Sumatera. Para pengikutnya muncul sebagai pemain kunci dalam transformasi sosial lokal. Raja Buton di Sulawesi Tenggara, misalnya, mengadopsi simbolisme Sattariyah untuk memaksakan masyarakat yang hierarkis. Di Ulakan, Minangkabau, Sumatera Barat, Sattariyah memberikan kekuatan spiritual kepada para pemberontak untuk melawan Belanda. Situasi yang sama ditemukan di Jawa.

Menurut Agus, sepanjang sejarah, hampir semua pengikut tarekat ini pemberontak, termasuk Pangeran Diponegoro, yang melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830). “Saya kira memang ada riwayat lama soal kaitan perlawanan orang tarekat terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang,” ujarnya. Agus menambahkan, selama ini ada kekeliruan pandangan bahwa tasawuf merupakan cara melarikan diri. “Justru dengan pengetahuan mereka tentang kehidupan sesudah mati, mereka ingin mengubah keadaan.”

Tommy mengakui memang belum ditemukan manuskrip Sattariyah yang diyakini ditulis oleh Syekh Muhyi. Namun ia memastikan hampir 30 manuskrip dari berbagai tempat di Jawa mengakui Muhyi sebagai salah satu guru Sattariyah. Setelah Muhyi meninggal, tarekatnya dikembangkan oleh putra dari istri pertamanya, Sembah Dalem Bojong dan Emas Paqih Ibrahim.

Tommy juga menulis tentang jejak Sattariyah di Pamijahan ini dalam jurnal Studia Islamika edisi 2001 dengan judul “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”. Dalam jurnal, Tommy membahas soal pemimpin Sattariyah di Pamijahan saat itu, Beben Muhammad Dabas, yang memperoleh “sanad” dari ayahnya, Muhammad Akna, yang meninggal pada 1982. “Sesuai dengan tradisi tarekat yang formal, sah dia sebagai penerus dan mursyid tarekat Sattariyah,” katanya.

Pada waktu itu, Tommy melanjutkan, Dabas mengakui tarekat Sattariyah tidak mudah sehingga dia tidak bisa melarang pengaruh tarekat lain, seperti Qadiriyah Naqsabandiyah. Malah dia juga mengikuti tarekat yang dipimpin Abah Anom, pengasuh Pesantren Suralaya, Tasikmalaya, itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus