Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang membuatnya kembali? Jurnalis Tempo di Bandung, Anwar Siswadi, menemui Mack saat geladi komposisi gamelan terbarunya bersama Kyai Fatahillah di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana proses pembuatan karya terbaru Anda berjudul The Time After-Reset ini?
Sebenarnya karya ini adalah suatu komisi dari sebuah festival musik kontemporer di Essen, Jerman. Kenapa mereka mau membuat satu pergelaran khusus dengan gamelan, saya kurang tahu. Mereka tahu saya spesialis gamelan, terutama gamelan Bali. Itu Agustus 2019. Kemudian, menurut saya, di seluruh dunia hanya ada satu grup yang bisa memainkan pelog-salendro memakai notasi ini, yaitu Kyai Fatahillah di Bandung. Barangkali ada sebuah grup gamelan di Toronto, Kanada, tapi mereka hanya memainkan gamelan degung. Untuk pelog-salendro Jawa, saya belum melihat sebuah grup yang mampu mewujudkan kerumitan seperti ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah Kyai Fatahillah kelompok binaan Anda?
Katakanlah begitu. Pemimpinnya mantan mahasiswa saya, tapi anggotanya anak buah dia sendiri. Mereka sudah pernah mementaskan karya saya yang lain. Kami sudah bekerja sama agak lama. Sebenarnya, setelah karya gamelan yang terakhir pada 2000, kalau tidak salah gamelan degung, saya memutuskan tak mau mencipta untuk gamelan lagi.
Mengapa memutuskan begitu?
Karena saya merasa, untuk tujuan estetika saya pada waktu itu, gamelan terasa terbatas. Ini tidak berarti negatif. Hanya, saya punya ide-ide lain yang ternyata tidak bisa diwujudkan dengan gamelan.
Apa saja contoh batasan dalam gamelan?
Ya, misalnya gamelan degung hanya punya lima nada. Pada waktu itu saya mulai bereksperimen dengan mikrotonalitas lewat ritmis dan warna bunyi yang saya rasa tidak bisa diwujudkan dengan alat gamelan, walaupun perkusi tetap penting bagi saya. Tapi, ketika ada permintaan dari festival itu dan pada waktu bersamaan saya secara pribadi sedang dalam situasi yang agak sulit, saya merasa terpanggil kembali lagi ke akar saya, yaitu gamelan. Apalagi untuk gamelan pelog-salendro saya belum pernah membuat sesuatu. Dan, ternyata, kalau dikoordinasi, dua laras itu bisa bekerja sama dengan aspek mikrotonal.
Apakah Anda sempat merasa frustrasi saat bereksperimen dengan gamelan?
Bukan frustrasi. Saya kira semua alat musik punya karakteristik. Di Barat, saya juga lama tidak menggarap alat musik gesek karena untuk ide musikal saya pada waktu tertentu, alat gesek tidak cocok. Kalau saya melihat, karya selalu punya hubungan dengan kepribadian sebuah alat. Bagi saya, setiap alat musik punya kepribadian. Kalau saya tidak bisa akrab untuk sementara, ya, sebaiknya jangan digunakan. Tentu saja dengan keterampilan yang saya miliki, seperti kerajinan menggarap, saya bisa membuat apa saja. Tapi, kalau betul-betul karya yang mewakili tujuan dan estetika saya, tentu saja saya harus mengikuti perasaan yang ada.
Bagaimana proses penggarapan karya terbaru ini?
Pertama, saya hanya memikirkan bagaimana saya membatasi bahan yang menjadi tema karya ini. Setelah itu, saya memutuskan alat mana yang akan saya gunakan. Sebab, seteman setiap perangkat gamelan sedikit berbeda. Kemudian saya ingat, Kyai Fatahillah pernah bermain di Jerman dengan perangkat gamelan milik seorang rekan di Leverkusen dekat Koeln. Dia punya perangkat gamelan pelog-salendro yang bagus sekali kualitasnya. Saya menghubungi dia dan bertanya, apakah bisa meminjamkan gamelannya buat proyek ini untuk tampil di sana. Tentu saja boleh. Kemudian, pada suatu akhir pekan, saya pergi ke sana untuk merekam setiap nada dan saya mengukur frekuensinya. Dari situ saya punya semacam tabel nada dari setiap alat dan mulai menyusun karya ini.
Apa saja tantangan membuat komposisi dengan cara seperti itu?
Dalam hal ini, saya tidak tahu bagaimana seteman perangkat gamelan ini dan frekuensinya bagaimana. Terpaksa saya harus mengukurnya. Kalau dalam sistem Barat, semua punya standar. Di gamelan tidak ada. Ini menarik sekali buat saya. Kebetulan gamelan yang digunakan di sini hampir sama dengan yang saya gunakan di Jerman, karena pembuatnya sama di Jawa. Tapi ada sedikit perbedaan. Jadi nanti kami akan berlatih lagi.
Berapa lama pembuatan komposisi baru ini?
Itu relatif. Kalau dari saya mulai memikirkan sampai partitur ini selesai, setengah tahun. Saya harus selalu memikirkan dari bayangan sampai not terakhir. Tapi kerja intinya empat pekan.
Apakah komposisi ini sudah final?
Masih ada sedikit hal di partitur yang saya jadikan catatan. Tadi di hotel saya sudah pikirkan empat jam untuk perbaikan dan segera dikirim ke penerbit supaya dibuat yang baru. Tapi ini sudah diantisipasi. Setelah praktik, pasti ada perubahan sedikit. Selalu begitu. Saat saya menggarap untuk orkes juga begitu.
Apa unsur kuat dalam komposisi ini?
Anda harus cari sendiri nanti. Saya tidak berani menilai karya sendiri. Pokoknya, yang jadi intinya ada dua aspek relasi antara yang saya sebut tekstural dan struktural. Selalu ada semacam kertas dinding di belakang itu yang saya sebut tekstur. Kita tidak melihatnya secara detail, tapi menjadi keseluruhan dari detail-detail ini. Di atasnya, ada struktur ritmis. Ada satu level yang lain, dua bahkan tiga level. Ritmis yang berbicara. Dengan konsep seperti ini, saya merancang suatu bentuk tertentu yang juga didasari pertimbangan dramaturgi. Lama sekali. Makin lama, hampir diam, lalu bang! Ada sebuah kejutan. Mungkin ini pengaruh gamelan Bali dulu, dan saya ahlinya.
Apa ada banyak kejutan seperti itu?
Pada saat yang perlu saja, untuk menarik perhatian pendengar.
Apakah nanti para pemain harus tunduk sepenuhnya pada partitur?
Tergantung mereka. Pergelaran perdana 1 November 2020, artinya masih setengah tahun. Saya yakin sampai hari itu mereka sudah 80 persen hafal. Sekarang mereka masih mentah dan mencari. Tapi saat ke sini pekan lalu, saya tidak menyangka, ternyata semua sudah sempurna. Padahal saya bilang, coba siapkan sekian persen saja supaya bisa bereksperimen. Mungkin pekan depan masih ada perubahan sedikit, ketika perkusi solo ikut serta.
Apa saja perangkat yang digunakan untuk komposisi ini?
Gamelan Jawa yang biasa, hanya tidak menggunakan gambang karena dari kayu. Saya hanya menghendaki metal, logam. Nanti juga perkusi solo semuanya logam.
Apa kesegaran atau kebaruan karya ini dibanding sebelumnya?
Lain sekali. Kalau dari segi dramaturgi, tidak terlalu berbeda. Juga estetika ritmis yang berbicara, tapi warna suara sangat berbeda. Saya lebih mengeksplorasi karakteristik gamelannya.
Mengapa Anda sangat tertarik pada gamelan?
Saya mulai tertarik pada 1978 secara kebetulan. Sewaktu saya mahasiswa, guru komposisi meminta saya membuat makalah tentang gamelan Bali. Saya tidak tahu kenapa dia menyuruh itu. Kala itu belum banyak bahan. Di Jerman, tak ada satu piringan hitam musik gamelan Bali dan buku pun tidak ada. Maka saya pergi ke Swiss. Di sana ada orang yang kebetulan baru pulang dari penelitian di Bali timur. Saya terbantu oleh bahan-bahannya tentang gamelan gambang. Saya membuat makalahnya, tapi tidak tertarik karena gambang agak monoton. Tapi, di sisi lain, tampaknya ada semacam virus yang memasuki saya. Kemudian saya ingin memahami bagaimana orang memainkan musik gamelan. Jadi saya beli tiket ke Denpasar, lalu diantar orang ke Desa Saba. Di sana saya boleh menginap di pondok kecil dekat danau kecil yang ada ikan gurame. Saya belum bisa berbahasa Bali dan Indonesia saat itu. Setelah dua bulan, saya pulang. Pengalaman ini mengubah kehidupan saya 180 derajat. Gamelan menjadi obsesi saya. Lalu, pada 1982, saya mendirikan grup gamelan di Jerman.
Saat itu belum tahu gamelan lain?
Saya tahu, tapi praktiknya gamelan Bali. Pada 1990-an saya tinggal hampir empat tahun di Bandung, mengajar di UPI. Ketika itu saya mendalami pelajaran gamelan degung dan tarawangsa, semuanya menjadi pengalaman menarik. Saya merasa diperkaya oleh seni tradisi dan bangga sekali mendapat kesempatan itu.
Apa yang Anda sukai dari gamelan? Musik atau bunyi alatnya?
Dua-duanya. Tapi, khusus di Bali, situasi sosial bagaimana musik gamelan itu lahir dan masih dimiliki masyarakat juga sangat menarik. Sistem gotong-royong dan kerja sama tecermin dalam praktik gamelan sebagai aspek kolektif. Ini sesuatu yang di Barat sudah sedikit hilang barangkali. Maka ini suatu pengalaman yang hendak saya kembalikan ke masyarakat Eropa.
Pernah memadukan gamelan dengan musik Barat?
Saya belum pernah dan juga tidak tertarik. Saya menggarap musik gamelan dan Barat sendiri-sendiri. Sejauh mana pengalaman gamelan mempengaruhi cara garapan saya dengan alat Barat itu, saya tak tahu. Para musikolog boleh menganalisisnya. Seperti saya katakan tadi, setiap alat memiliki semacam kepribadian. Kadang-kadang seperti hendak menikah, ada yang cocok ada yang tidak. Menurut saya, tidak bisa dikawinkan paksa. Saya sebagai komponis kontemporer harus tahu tradisinya. Seniman kontemporer itu di ujung perkembangan tradisi dan dia harus mengembangkannya pada masa depan.
Apakah Anda ingin terus mempelajari gamelan?
Ya, masih banyak yang belum saya kenal. Ada beberapa karya musik gamelan kontemporer yang menarik dan berkembang, karena itu saya merasa ingin terus belajar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo