Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMUN Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan tak sependapat. Dia memastikan aturan ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan daya saing produk ekspor industri hilir kehutanan. Kepada Aisha Shaidra dari Tempo, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri ini menjelaskan alasan penerbitan kebijakan yang berlaku mulai Mei mendatang tersebut.
Mengapa syarat V-Legal untuk ekspor industri hilir kehutanan dihapus?
Secara prinsip, SVLK ini terlalu rigid. Dulu mungkin saat penyusunannya tidak dikonsultasikan dengan asosiasi dan sebagainya, sehingga sekarang asosiasi protes karena untuk mengekspor ke beberapa negara yang tak mensyaratkan apa-apa, kok, malah di negara kita menetapkan syarat.
Asosiasi mana yang Anda maksud?
Anggota AMKRI (Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia) saja. Mereka ribut terus dari dulu, minta dibebaskan, enggak usah pakai SVLK. Kami juga tidak sepakat dengan AMKRI, karena akan terjadi pembalakan liar, sehingga kebijakan pemerintah memutuskan yang hulu saja yang pakai SVLK, karena bahan baku akan berlaku bagi semua pihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
(AMKRI belakangan melebur ke dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia.)
Apa yang mereka keluhkan?
Di SVLK itu semua diatur, dari A sampai Z, sampai ke ujung, sehingga penerapannya bagi pelaku usaha kecil, menengah, dan mikro berbelit karena semuanya harus pakai SVLK dulu. Katanya ada bantuan bagi UMKM untuk biaya mengurus SVLK. Tapi itu tidak bisa menyeluruh. Jumlah UMKM banyak, anggaran pemerintah juga terbatas.
Bagaimana awal pembahasan aturan ini pada 2019?
Berdasarkan rapat koordinasi terbatas, waktu itu dipimpin Darmin Nasution (mantan Menteri Koordinator Perekonomian), penerapan SVLK dinilai bakal mengganggu ekspor ke luar negeri, menurunkan daya saing produk. Ada negara yang tak mensyaratkan dokumen legalisasi sebenarnya bisa menerima produk kita. Namun produk kita justru tidak bisa keluar di pelabuhan karena ada syarat wajib SVLK. Dengan prinsip tetap menjaga lingkungan, hutan tak dikelola asal, maka diputuskan saat itu wajib SVLK dialihkan ke hulu. Hilir tak usah.
Bukankah jaminan keterlacakan kayu dalam SVLK justru meningkatkan daya tawar produk kehutanan?
Komitmen menjaga ketelusuran itu tetap ada. Pengawasan di hulu yang kita pastikan ketat. Dengan begitu, hilirnya dipastikan berasal dari bahan baku yang bersertifikat SVLK. Nah, pintu keluarnya tak usah dibatasi mau ke negara mana pun. Kecuali misalnya ke Eropa, yang mensyaratkan harus ada SVLK, ya eksportir tetap wajib menyiapkan dokumennya. Kalau negaranya tidak mensyaratkan SVLK, buat apa? SVLK itu lebih terarah hanya untuk Eropa, kan?
Artinya syarat pemenuhan V-Legal akan disesuaikan dengan permintaan....
Tergantung negara tujuan. Kalau enggak pakai syarat, enggak apa-apa. Tapi negara tetap harus tertib. Walau produk diekspor ke negara yang tak mensyaratkan dokumen legal, barangnya tetap dibuat dari bahan baku yang memenuhi SVLK. Di hilir ada lagi aturan main, yaitu sertifikat kesesuaian standar produk, sehingga cukup di hilir yang dibebani dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) atau standar negara tujuan. Ini kaitannya dengan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan.
Jika begitu, bagaimana menjamin tak akan ada bahan baku ilegal tercampur dengan yang legal di hilir?
Ya dari pengawasan. Kalau di hulunya ketat, kenapa harus takut produsen pakai kayu ilegal? Kan, enggak akan ada kayu ilegal. Makanya di hulu harus ketat, jangan tebang sembarangan, ada aturan main yang benar sehingga produk di hulu sudah ditelusuri dengan benar. Kalau masih beredar kayu ilegal, artinya pengawasan di hulu, dong, jangan produsen di hilir yang disalahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo