Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Oke Nurwan: Kalau Hulu Ketat, Kenapa Takut di Hilir Ilegal?

PERATURAN Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan menuai banyak kritik. Dihapusnya persyaratan dokumen V-Legal—bagian dari skema Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)—dalam regulasi baru yang terbit akhir Februari lalu tersebut dikhawatirkan membuat pembalakan liar kembali marak di hutan Nusantara. Eksistensi kerja sama perdagangan, tata kelola, dan penegakan hukum antara Indonesia dan Uni Eropa pun terancam.

4 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
OKE Nurwan/ANTARA/Muhammad Adimaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMUN Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan tak sependapat. Dia memastikan aturan ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan daya saing produk ekspor industri hilir kehutanan. Kepada Aisha Shaidra dari Tempo, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri ini menjelaskan alasan penerbitan kebijakan yang berlaku mulai Mei mendatang tersebut.

Mengapa syarat V-Legal untuk ekspor industri hilir kehutanan dihapus?
Secara prinsip, SVLK ini terlalu rigid. Dulu mungkin saat penyusunannya tidak dikonsultasikan dengan asosiasi dan sebagainya, sehingga sekarang asosiasi protes karena untuk mengekspor ke beberapa negara yang tak mensyaratkan apa-apa, kok, malah di negara kita menetapkan syarat.

Asosiasi mana yang Anda maksud?
Anggota AMKRI (Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia) saja. Mereka ribut terus dari dulu, minta dibebaskan, enggak usah pakai SVLK. Kami juga tidak sepakat dengan AMKRI, karena akan terjadi pembalakan liar, sehingga kebijakan pemerintah memutuskan yang hulu saja yang pakai SVLK, karena bahan baku akan berlaku bagi semua pihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

(AMKRI belakangan melebur ke dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia.)

Apa yang mereka keluhkan?
Di SVLK itu semua diatur, dari A sampai Z, sampai ke ujung, sehingga penerapannya bagi pelaku usaha kecil, menengah, dan mikro berbelit karena semuanya harus pakai SVLK dulu. Katanya ada bantuan bagi UMKM untuk biaya mengurus SVLK. Tapi itu tidak bisa menyeluruh. Jumlah UMKM banyak, anggaran pemerintah juga terbatas.

Bagaimana awal pembahasan aturan ini pada 2019?
Berdasarkan rapat koordinasi terbatas, waktu itu dipimpin Darmin Nasution (mantan Menteri Koordinator Perekonomian), penerapan SVLK dinilai bakal mengganggu ekspor ke luar negeri, menurunkan daya saing produk. Ada negara yang tak mensyaratkan dokumen legalisasi sebenarnya bisa menerima produk kita. Namun produk kita justru tidak bisa keluar di pelabuhan karena ada syarat wajib SVLK. Dengan prinsip tetap menjaga lingkungan, hutan tak dikelola asal, maka diputuskan saat itu wajib SVLK dialihkan ke hulu. Hilir tak usah.

Bukankah jaminan keterlacakan kayu dalam SVLK justru meningkatkan daya tawar produk kehutanan? 
Komitmen menjaga ketelusuran itu tetap ada. Pengawasan di hulu yang kita pastikan ketat. Dengan begitu, hilirnya dipastikan berasal dari bahan baku yang bersertifikat SVLK. Nah, pintu keluarnya tak usah dibatasi mau ke negara mana pun. Kecuali misalnya ke Eropa, yang mensyaratkan harus ada SVLK, ya eksportir tetap wajib menyiapkan dokumennya. Kalau negaranya tidak mensyaratkan SVLK, buat apa? SVLK itu lebih terarah hanya untuk Eropa, kan?

Artinya syarat pemenuhan V-Legal akan disesuaikan dengan permintaan....
Tergantung negara tujuan. Kalau enggak pakai syarat, enggak apa-apa. Tapi negara tetap harus tertib. Walau produk diekspor ke negara yang tak mensyaratkan dokumen legal, barangnya tetap dibuat dari bahan baku yang memenuhi SVLK. Di hilir ada lagi aturan main, yaitu sertifikat kesesuaian standar produk, sehingga cukup di hilir yang dibebani dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) atau standar negara tujuan. Ini kaitannya dengan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan.

Jika begitu, bagaimana menjamin tak akan ada bahan baku ilegal tercampur dengan yang legal di hilir?
Ya dari pengawasan. Kalau di hulunya ketat, kenapa harus takut produsen pakai kayu ilegal? Kan, enggak akan ada kayu ilegal. Makanya di hulu harus ketat, jangan tebang sembarangan, ada aturan main yang benar sehingga produk di hulu sudah ditelusuri dengan benar. Kalau masih beredar kayu ilegal, artinya pengawasan di hulu, dong, jangan produsen di hilir yang disalahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus