Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benny Moerdani. Wajahnya angker. Itulah sampul depan edisi pertama majalah triwulan Inside Indonesia saat terbit pada November 1983. Di bagian atas sampul tertera judul artikel utamanya: "Climate of Fear" ("Dalam Cengkeraman Ketakutan").
Apa cerita di balik lahirnya majalah khusus Indonesia yang dikenal selalu menampilkan isu "garang" ini? Pada tahun-tahun awal 1980-an, situasi politik antara Australia dan Indonesia selalu tegang. Media Australia tidak senang dengan tewasnya tujuh wartawan mereka di Balibo, Timor Leste. Mereka banyak menurunkan berita negatif tentang Indonesia. Sementara itu pemerintah Australia selalu berusaha menampilkan Indonesia dari sisi positif semata.
Tiga individu, Pat Walsh, John Waddingham, dan Max Lane, berembuk mencari solusi. "Luar biasa," Walsh menuturkan kenangannya kepada Tempo, "tidak kurang pakar Indonesia di Australia dan Canberra berupaya menjalin hubungan tapi sejauh itu mayoritas masyarakat yang di tengah menjadi sinis dan hilang minatnya."
Karena itu, Walsh, Waddingham, dan Lane menganggap penting memberi informasi lebih seimbang, yang membukakan pintu bagi pembaca untuk melihat apa yang terjadi sehari-hari di Indonesia. Mereka berkonsultasi dengan pakar, seperti Herb Feith, Siauw Tiong Djin, Barbara Schiller, dan tokoh lain dari badan pengembangan sosial, akademia, dan serikat buruh. Singkat cerita, diputuskanlah memulai sebuah majalah yang sanggup mengemban tugas itu.
"Kami berusaha agar Inside Indonesia tampil profesional, independen, tidak semata penerbitan solidaritas," tutur Walsh. Menurut dia, artikel-artikel Inside Indonesia menyoroti dimensi hak asasi manusia dalam berbagai lapangan: nasib pekerja, pelaksanaan hukum, praktek lingkungan, peran penulis dan pengarang, isu perempuan, dan lainnya.
"Begitu edisi pertama dengan sampul Benny Moerdani beredar, kami sadar banyak pihak yang segera 'menempatkan' kami sebagai oposisi pemerintah Indonesia, padahal bukan itu maksud kami," kata Walsh. Dia melihat sejak itu edisi-edisi selanjutnya dianggap cenderung menelanjangi Indonesia, sehingga banyak orang di Australia tidak mau diasosiasikan dengan Inside Indonesia karena khawatir dianggap anti-Indonesia.
Di Indonesia, banyak yang mengira majalah ini dibiayai Partai Buruh dengan dana besar. Walsh tertawa geli. Ia ingat justru dana diupayakan dari kocek mereka sendiri secara pas-pasan. Para pengelola mengupayakan pinjaman bahkan dengan jaminan rumah mereka. Kantornya selama bertahun-tahun bercokol di ruang depan rumah Walsh di Melbourne. Annie, istrinya, seorang guru, merelakan waktu di luar jam kerjanya mengurus operasi logistik majalah. Para kontributor yang sudah diakui profesionalitasnya, dari berbagai profesi, menyumbangkan tulisan mereka gratis.
Berangsur-angsur Inside Indonesia mendapat kepercayaan dari pembaca lebih luas, melewati batas-batas teritori akademia, aktivis, dan peneliti lingkungan semata. Kian banyak editor muda yang menyediakan waktunya bekerja untuk majalah ini.
Pada pertengahan 1990-an, kantornya pun berpindah ke sebuah gedung milik Uniting Church, yang menyewakan ruangannya dengan murah kepada badan sosial. Setelah 1998, para pengelola sempat saling bertanya, "Apa langkah selanjutnya? Apakah peran Inside Indonesia sudah tidak diperlukan?" Namun segera nyata bahwa peran ini jauh dari tuntas.
Kini umur Inside Indonesia sudah 38 tahun. Inside Indonesia sekarang terbit online. "Kantor"-nya berpindah-pindah antara laptop anggota dewan editorialnya. Para pengelola Inside Indonesia sekarang adalah Indonesianis muda Australia, seperti Edward Aspinall, Michelle Ford, Emma Baulch, Siobhan Campbell, dan para Indonesianis lebih berpengalaman, seperti Keith Foulcher, Gerry van Klinken, dan Virginia Hooker. Tema yang mereka tangani tetap hak asasi manusia, korupsi, lingkungan, dan aspek yang berkaitan dengan itu. Pada edisi Oktober-Desember 2011 ini, misalnya, mereka menurunkan laporan utama tentang perubahan lingkungan di desa-desa Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo