Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CINTA telah membawa Nicholas Herriman menjadi ahli kajian Indonesia dari Australia masa kini. Pria 38 tahun pengajar antropologi di Universitas La Trobe, Melbourne, ini awalnya menyukai dan jatuh cinta pada pantai di Pelabuhan Ratu.
Seperti umumnya Aussie boy, Nick gemar berselancar di atas ombak selepas sekolah menengah atas 18 tahun lalu. Ia pernah enam bulan tinggal di pantai selatan Sukabumi itu pada 1994. Berbekal kamus saku bahasa Indonesia, Nick, yang buta sama sekali akan bahasa ini, memberanikan diri bergaul dengan nelayan dan masyarakat di sana.
Setelah itu, hidupnya selalu berhubungan dengan apa pun yang berbau Indonesia. Meski kuliah di Perth University Jurusan Filsafat Eropa karena anjuran orang tuanya, hati dan pikirannya terus ke Indonesia. Dalam sebuah penerbangan ke Bali, misalnya, Nick menemukan tulisan Benedict R.O'G. Anderson di majalah Garuda Indonesia.
Ben, ahli Indonesia dari Cornell University, Amerika Serikat, menulis dengan sangat memikat perihal wayang. Di sepanjang perjalanan, Nick terus memikirkan tulisan itu dan kian tertarik mempelajari Indonesia. "Tulisan itu sangat menggugah," katanya. "Apalagi setelah saya membaca bukunya yang terkenal, Imagined Communities."
Maka, sembari kuliah, Nick bekerja paruh waktu di restoran Indonesia di kotanya. Ia mengasah kemampuan berbahasa Indonesianya dengan menjadi pemandu wisata bagi orang-orang kaya Indonesia yang berwisata ke Perth. Berbekal pengetahuan dan kemampuan bahasa itulah Nick mendaftar ke graduate diploma di Asian Study Universitas Murdoch.
Di sini, Nick dibimbing Profesor David T. Hill, Indonesianis ternama yang banyak meneliti politik dan media di Indonesia. Hill, yang mengajar mata kuliah tentang budaya, membuat Nick kian paham bagaimana negeri ini tumbuh dan membuat sejarah.
Nick memilih bidang studi antropologi ketika ia bertemu dengan mentornya yang lain di Murdoch: Carol Warren. Warren telah meneliti dan menulis buku tentang desa-desa di Asia Tenggara. Nick begitu antusias ketika Warren membahas budaya dan komunitas masyarakat desa di Sulawesi Selatan.
Dari David Hill, Nick meneruskan penelitian tentang politik Indonesia masa Demokrasi Terpimpin. Ia secara khusus meneliti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang didirikan Partai Komunis Indonesia. Ia memetakan perdebatan kubu Manifes Kebudayaan, yang dimotori penyair Goenawan Mohamad dan Wiratmo Soekito, dengan Lekra, yang dikomandoi Pramoedya Ananta Toer. "Saya tertarik menulis mereka karena pertentangan ekstrem ideologi sayap kiri dan kanan," katanya.
Di bidang antropologi, karya terbaru Nick berupa studi pembunuhan dukun santet di Banyuwangi, Jawa Timur. Selama setahun pada 2000, Nick tinggal di Malang dan Banyuwangi. Ia menumpang di rumah seorang haji yang menjadi sesepuh di sana dan mengetahui banyak isu yang ditelitinya.
Pekan-pekan pertama tinggal di Banyuwangi, Nick kerap sakit. Ia terteror oleh cerita pembunuhan sadistis terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet pada 1998. Di Banyuwangi, ada 148 orang mati digorok, digantung, dikeroyok, atau dibakar hidup-hidup di rumah masing-masing. "Saya sempat berpikir tak bisa melanjutkan penelitian," katanya.
Riset untuk disertasinya di Sydney University itu selesai pada 2007. Nick memberi judul bukunya "Sorcerer" Killings in Banyuwangi: A Re-Examination of State Responsibility for Violence. Tak dinyana, penelitian itu dianugerahi penghargaan sebagai Best Anthropology Thesis of the Year 2008.
Kesimpulan penelitiannya berbeda jauh dengan hipotesis yang ia bangun pada awal riset. Nick datang ke Banyuwangi dengan asumsi pembunuhan dukun santet merupakan kekerasan negara dan manipulasi elite menyingkirkan musuh-musuh politik. "Kesimpulan saya justru sebaliknya, pembunuhan itu gejolak di masyarakat bawah saja," katanya.
Konklusi ini membuatnya sering sengit ditentang dalam diskusi-diskusi. Soalnya, hampir semua penelitian orang Indonesia dan media massa menyebutkan pembunuhan itu merupakan rekayasa yang dibuat pejabat dan politikus Indonesia. "Teman-teman Indonesia saya memang banyak yang tak setuju," katanya.
Karena sering berhubungan dengan mahasiswa dan orang-orang asal Indonesia, Nick kepincut pada salah satunya. Ia jatuh hati pada Monika Winarnita, mahasiswi Australian National University asal Indonesia. Keduanya menikah dan kini punya dua putri. Monika juga peneliti di La Trobe. Ia aktif di Lembaga Pusat Dialog Australia-Indonesia.
Peneliti Indonesia asal Australia yang mendapat "bonus" pasangan hidup selama mengkaji negeri ini adalah Michele Ford. Ia sempat kuliah di Universitas Gadjah Mada selama dua tahun. Di Yogyakarta, Michele bertemu dengan laki-laki Riau mahasiswa Jurusan Kimia Universitas Gadjah Mada saat hendak naik bus.
Dengan hanya dua kursi yang masih kosong, keduanya terlibat pembicaraan. Hubungan itu kian serius hingga keduanya menikah pada 1994. "Datang mencari ilmu, pulang membawa suami," kata perempuan 41 tahun ini. Karena itu, Michele kerap pulang ke rumah suaminya, Muliawarman, yang kemudian berbisnis komputer, di Riau sekalian meneliti gerakan buruh di sana.
Buruh adalah isu utama penelitian pengajar studi Indonesia di Sydney University ini. Selain di Riau, ia menyigi gerakan-gerakan buruh di Medan, Aceh, hingga kota-kota besar di Jawa. Tujuh buku sudah ia tulis dengan tema itu. Juga ratusan karya tulis ilmiah di jurnal-jurnal internasional. Michele menjadi editor di Inside Indonesia. Satu bukunya terbit pada 2009 berjudul Workers and Intellectuals: NGOs, Trade Unions, and The Indonesian Labor Movement.
Sama seperti Nick, Michele tak sengaja meminati obyek kajian ini. Sebermula ia kerap bergaul dengan mahasiswa Indonesia yang sama-sama kuliah sarjana di University of New South Wales, Sydney. Padahal bidang studi yang diambilnya beda jauh: teknik industri.
Karena pergaulan itu, ia sering terlibat dalam kegiatan mahasiswa dan orang-orang Indonesia di Australia. Selama musim panas 1990, Michele mengambil kursus bahasa Indonesia. Kemampuan bahasa inilah yang mengantar Michele mendapat beasiswa dari Australia National University belajar tentang Indonesia di Universitas Gadjah Mada setelah lulus dari University of New South Wales. "Dulu logat saya medok. Suami sering mengoreksi," katanya.
Lain Michele, lain Jacqueline Baker. Perempuan 33 tahun ini separuh Dayak separuh Australia. Ibunya orang Sarawak, Malaysia, yang menikahi laki-laki Australia di kampungnya. Suami-istri ini lalu pindah ke pinggiran Darwin. Jacqui lahir di sana.
Ia adalah peneliti antropologi politik di University of Wollongong, New South Wales, dan baru saja menyelesaikan disertasi di London School of Economic, Inggris, tentang relasi polisi dan tentara di Indonesia. Penelitiannya berfokus pada dana-dana pertahanan dan keamanan sejak struktur anggaran pendapatan dan belanja negara berubah pascareformasi 1998. Ia sedang mencari cara menerbitkannya sebagai buku.
Pada 2000, saat kuliah sarjana di Australian National University, ia mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Universitas Gadjah Mada, lalu ke Universitas Muhammadiyah Malang. Di sini ia meneliti tentang Laskar Jihad, yang secara berjemaah "berjihad" ke Ambon.
Sejak itu, Jacqui tertarik pada Indonesia. Sudah tak terhitung berapa kali ia menyambangi Indonesia dan tinggal lama di sini. Ia pernah bermukim di perkampungan kumuh di Jakarta saat meriset preman dan orang miskin kota. Untuk disertasinya tentang polisi dan tentara, ia mengumpulkan data selama enam tahun. "Bagi saya, Indonesia bukan sekadar rumah, tapi sudah menjadi bagian dari hidup," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo