Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cerita Otorita

Badan otorita berhubungan langsung dengan perusahaan real estate. Gerak langkah otorita kerap menghantui penduduk sehubungan dengan penggusuran dan ganti rugi. (kt)

24 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADAN Otorita tidak bisa kelewat bebas. Menurut bekas Gubernur DKI Ali Sadikin Badan Otorita hanyalah pembawa wewenang dari Pemda DKI untuk turut mengelola pelaksanaan suatu proyek besar. Yaitu yang menyangkut lingkungan bermasyarakat yang cukup luas. "Otorita sudah dimulai oleh Gubernur Sumarno dulu," tutur Ali Sadikin lebih lanjut. Kerja badan ini menyangkut prosedur cukup ruwet dan melewati birokrasi. Apalagi, "otorita bukan badan super, sebab ia diketuai oleh walikota setempat." Dengan demikian segala sesuatu yang berpautan dengan otorita dapat terkumpul di walikota. "Saya sengaja menempatkan otorita di bawah walikota," tambah Ali Sadikin "dengan demikian ia bisa bergerak ke samping, ke atas dan ke bawah." Ke samping ia tetap terus berhubungan dengan dinas-dinas, direktorat dan aparat Pemda lainnya sesuai dengan wewenang masing-masing. Kemudian ke bawah yakni ke camat dan lurah. Sedang ke atas tentu kepada gubernur. Kalau begitu, apa hubungan otorita dengan dinas tata kota? "Otorita sebetulnya cuma badan pembantu yang mengkoordinasikan pengembangan satu wilayah," kata ir. Tubagus Mohammad Rais, Kepala Dinas Tata Kota DKI Jdkarta. "Meskipun badan itu bertanggungjawab kepada gubernur, ia tak bisa begitu saja menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Misalnya akan membangun rumah di wilayah kerjanya lantas tak perlu minta izin membangun," kata Rais. Otorita tak punya wewenang mengeluarkan izin membangun, sertifikat atau merencanakan dan menentukan peruntukan tanah. Kegiatan badan otorita biasanya di daerah-daerah baru yang mesti dibangun dan dikembangkan menjadi suatu pemukiman. Untuk itu badan otorita memerlukan teman bekerja yang disebut investor atau developer, yakni perusahaan-perusahaan real estate. Karena perusahaan itulah yang punya modal atau uang untuk melakukan pembangunan di kawasan kerja otorita itu. Tak berarti si perusahaan real estate bisa bergerak seenaknya. Ia tunduk kepada ketentuan yang berlaku, baik dalam pengurusan prosedur atau pun dalam hal menunaikan kewajiban-kewajibannya seperti pajak, TEMPO dan lainnya. "Tapi instansi atau aparat DKI lainnya memang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan real estate atau penggarap di kawasan otorita itu. Tapi cukup dengan otorita saja," kata ir. Tubagus Moh. Rais lagi. "Ya, badan otorita memang mengurangi beban kami atau aparat pemda lainnya. Kami tak perlu menghubungi perusahaan-perusahaan yang bergerak di otorita itu satu per satu," kata Kepala Dinas yang menggantikan ir. Rio Tambunan sejak April 1975 itu. Rais menyebut ada 8 wilayah di DKI yang perencanaan dan peruntukan tanahnya sudah disahkan DPRD secara terperinci. Pada 8 wilayah tersebut (antara lain Ancol, Pluit, Kampung Gusti, Jelambar, Kebayoran Baru, Rawamangun dan lainnya), sudah mengikat. Meski begitu menurut Rais, perobahan yang sifatnya tidak mengganti peruntukan tanah bisa saja berlangsung. Misalnya di daerah Ancol yang bagian tanahnya untuk perumahan bisa saja dibangun flat, meski dulu misalnya direncanakan untuk perumahan biasa. Menilai kegiatan otorita-otorita rupanya Rais mempunyai catatan sendiri --tentu saja dengan ukuran dinas yang dipimpinnya. Ancol misalnya menurut Rais sudah bisa dikatakan selesai. Proyek Perumahan Pulo Mas yang bergerak, begitu juga Pluit (perumahan dan industri) dipandang sebagian besar telah selesai. Begitu pula Proyek Cempaka Putih, selesai seluruhnya. BPO Kuningan dan Pondok Indah dipandang baru sebagian selesai. Semua itu termasuk proyek otorita yang cukup tua. Sedang yang terbilang paling muda yakni Otorita Sunter tampaknya termasuk yang gesit bekerja. Dibentuk dengan SK 15 Pebruari 1974, proyek ini mempunyai areal kerja 1100 Ha (650 Ha untuk perumahan, 170 ha industri/gudang dan 280 waduk/jalur hijau). "Pembangunan di sini akan selesai dalam 10 tahun," tutur ir. M. Pasaribu, salah seorang pimpinan Proyek Sunter kepada TEMPO. Mungkin karena ia begitu yakin 33 perusahaan pemborong atau real estate yang ada di sana akan mampu menyelesaikan kerjanya. Cuma saja gerak langkah otorita-otorita itu kerap juga menghantui penduduk. Karena umumnya sedikit sekali informasi yang diterima rakyat setempat bahwa daerahnya termasuk kawasan kerja otorita tertentu dan tentang soal bagaimana nanti penyelesaian nasib penghuni lama di sana. Biasanya tanpa pemberitahuan atau upacara resmi oleh penjabat pemerintahan (paling rendah sekalipun misalnya Lurah), rakyat setempat tahu-tahu sudah menyaksikan papan nama raksasa mengangkangi daerah tempat tinggal mereka. Nah, di kawasan yang berpapan nama serupa itu biasanya, tanpa upacara peresmian dalam bentuk paling sederhana pun, akan segera menyelinap ke sela-sela kampung dan perumahan: jalur-jalur jalan. Berarti kawasan itu sudah akan segera berobah wajah. Biasanya keributan mendahuluinya. Tak salah lagi: soalnya adalah soal ganti rugi. Bagaimana ini? "Kalau menuruti keinginan rakyat bertawar menawar saya tak bisa membangun. Tapi biasanya ]uga saya bisa menyelesaikannya. Sebab kita punya harga kontrol," ucap Sadikin. Tapi tentu saja sulit menjerat calo-calo tanah yang biasanya secara mengendap-mengendap berkeliaran di kawasan yang jadi perhatian Pemda untuk digarap. Untuk mencegah permainan calo inilah agaknya peruntukan tanah suatu wilayah hampir selalu dilakukan secara diam-diam. Calo-calo ini seperti biasanya dengan beragam upaya dipakai untuk membujuk rakyat melepaskan tanahnya. Antara lain misalnya dengan menyebar kabar bahwa tanah itu akan dikuasai DKI untuk proyek pemerintah. Karena itu tanah di sana tak akan dapat ganti rugi, begitu biasanya para calo bilang. Dan ketimbang gigit jari kelak, penduduk merasa lebih baik melepaskan tanahnya dengan harga yang disodorkannya. Tak sampai di situ. Di Kuningan misalnya para pengusaha real estate sendiri tak kurang sengitnya saling sikut. Tanah yang sudah dibebaskan dari rakyat dengan memakai "kewibawaan" otorita (hingga harganya murah) bisa saja dilego lagi ke perusahaan lain -- biasanya ke perusahaan yang bermodal lebih tebal. Nama pengusaha real estate dengan demikian kurang harum jadinya. Apalagi setelah terjadinya kasus Pluit. Begitu rupa "guncangan" Pluit hingga Gubernur Tjokropranolo akan merubah kebijaksanaan bekas Gubernur Ali Sadikin dalam hal cara pembebasan tanah itu. "Nantinya Otorita hanya mengurus administrasi saja," kata Gubernur Tjokropranolo. (lihat box: Tjokropranolo Tentang Otorita). Perubahan itu nanti bisa saja mempengaruhi gerak perusahaan real estate -- yang pasti akan tidak berani melakukan pembebasan tnah sendiri. Kemudian soalnya ialah: bagaimana misalnya daerah pemukiman di Jakarta akan dibangun. Kecuali kalau pemerintah sendiri langsung menangani pembangunan perumahan. Tentu saja perumahan murah, di sekitar Rp 1 juta sebuah -- kalau boleh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus