BADAN Otorita tidak bisa kelewat bebas. Menurut bekas Gubernur
DKI Ali Sadikin Badan Otorita hanyalah pembawa wewenang dari
Pemda DKI untuk turut mengelola pelaksanaan suatu proyek besar.
Yaitu yang menyangkut lingkungan bermasyarakat yang cukup luas.
"Otorita sudah dimulai oleh Gubernur Sumarno dulu," tutur Ali
Sadikin lebih lanjut. Kerja badan ini menyangkut prosedur cukup
ruwet dan melewati birokrasi. Apalagi, "otorita bukan badan
super, sebab ia diketuai oleh walikota setempat." Dengan
demikian segala sesuatu yang berpautan dengan otorita dapat
terkumpul di walikota. "Saya sengaja menempatkan otorita di
bawah walikota," tambah Ali Sadikin "dengan demikian ia bisa
bergerak ke samping, ke atas dan ke bawah."
Ke samping ia tetap terus berhubungan dengan dinas-dinas,
direktorat dan aparat Pemda lainnya sesuai dengan wewenang
masing-masing. Kemudian ke bawah yakni ke camat dan lurah.
Sedang ke atas tentu kepada gubernur.
Kalau begitu, apa hubungan otorita dengan dinas tata kota?
"Otorita sebetulnya cuma badan pembantu yang mengkoordinasikan
pengembangan satu wilayah," kata ir. Tubagus Mohammad Rais,
Kepala Dinas Tata Kota DKI Jdkarta. "Meskipun badan itu
bertanggungjawab kepada gubernur, ia tak bisa begitu saja
menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Misalnya akan membangun
rumah di wilayah kerjanya lantas tak perlu minta izin
membangun," kata Rais. Otorita tak punya wewenang mengeluarkan
izin membangun, sertifikat atau merencanakan dan menentukan
peruntukan tanah.
Kegiatan badan otorita biasanya di daerah-daerah baru yang mesti
dibangun dan dikembangkan menjadi suatu pemukiman.
Untuk itu badan otorita memerlukan teman bekerja yang disebut
investor atau developer, yakni perusahaan-perusahaan real
estate. Karena perusahaan itulah yang punya modal atau uang
untuk melakukan pembangunan di kawasan kerja otorita itu.
Tak berarti si perusahaan real estate bisa bergerak seenaknya.
Ia tunduk kepada ketentuan yang berlaku, baik dalam pengurusan
prosedur atau pun dalam hal menunaikan kewajiban-kewajibannya
seperti pajak, TEMPO dan lainnya. "Tapi instansi atau aparat DKI
lainnya memang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan real
estate atau penggarap di kawasan otorita itu. Tapi cukup dengan
otorita saja," kata ir. Tubagus Moh. Rais lagi. "Ya, badan
otorita memang mengurangi beban kami atau aparat pemda lainnya.
Kami tak perlu menghubungi perusahaan-perusahaan yang bergerak
di otorita itu satu per satu," kata Kepala Dinas yang
menggantikan ir. Rio Tambunan sejak April 1975 itu.
Rais menyebut ada 8 wilayah di DKI yang perencanaan dan
peruntukan tanahnya sudah disahkan DPRD secara terperinci. Pada
8 wilayah tersebut (antara lain Ancol, Pluit, Kampung Gusti,
Jelambar, Kebayoran Baru, Rawamangun dan lainnya), sudah
mengikat. Meski begitu menurut Rais, perobahan yang sifatnya
tidak mengganti peruntukan tanah bisa saja berlangsung. Misalnya
di daerah Ancol yang bagian tanahnya untuk perumahan bisa saja
dibangun flat, meski dulu misalnya direncanakan untuk perumahan
biasa.
Menilai kegiatan otorita-otorita rupanya Rais mempunyai catatan
sendiri --tentu saja dengan ukuran dinas yang dipimpinnya. Ancol
misalnya menurut Rais sudah bisa dikatakan selesai.
Proyek Perumahan Pulo Mas yang bergerak, begitu juga Pluit
(perumahan dan industri) dipandang sebagian besar telah selesai.
Begitu pula Proyek Cempaka Putih, selesai seluruhnya. BPO
Kuningan dan Pondok Indah dipandang baru sebagian selesai.
Semua itu termasuk proyek otorita yang cukup tua. Sedang yang
terbilang paling muda yakni Otorita Sunter tampaknya termasuk
yang gesit bekerja. Dibentuk dengan SK 15 Pebruari 1974, proyek
ini mempunyai areal kerja 1100 Ha (650 Ha untuk perumahan, 170
ha industri/gudang dan 280 waduk/jalur hijau).
"Pembangunan di sini akan selesai dalam 10 tahun," tutur ir. M.
Pasaribu, salah seorang pimpinan Proyek Sunter kepada TEMPO.
Mungkin karena ia begitu yakin 33 perusahaan pemborong atau real
estate yang ada di sana akan mampu menyelesaikan kerjanya.
Cuma saja gerak langkah otorita-otorita itu kerap juga
menghantui penduduk. Karena umumnya sedikit sekali informasi
yang diterima rakyat setempat bahwa daerahnya termasuk kawasan
kerja otorita tertentu dan tentang soal bagaimana nanti
penyelesaian nasib penghuni lama di sana.
Biasanya tanpa pemberitahuan atau upacara resmi oleh penjabat
pemerintahan (paling rendah sekalipun misalnya Lurah), rakyat
setempat tahu-tahu sudah menyaksikan papan nama raksasa
mengangkangi daerah tempat tinggal mereka.
Nah, di kawasan yang berpapan nama serupa itu biasanya, tanpa
upacara peresmian dalam bentuk paling sederhana pun, akan segera
menyelinap ke sela-sela kampung dan perumahan: jalur-jalur
jalan. Berarti kawasan itu sudah akan segera berobah wajah.
Biasanya keributan mendahuluinya. Tak salah lagi: soalnya adalah
soal ganti rugi. Bagaimana ini? "Kalau menuruti keinginan rakyat
bertawar menawar saya tak bisa membangun. Tapi biasanya ]uga
saya bisa menyelesaikannya. Sebab kita punya harga kontrol,"
ucap Sadikin.
Tapi tentu saja sulit menjerat calo-calo tanah yang biasanya
secara mengendap-mengendap berkeliaran di kawasan yang jadi
perhatian Pemda untuk digarap. Untuk mencegah permainan calo
inilah agaknya peruntukan tanah suatu wilayah hampir selalu
dilakukan secara diam-diam.
Calo-calo ini seperti biasanya dengan beragam upaya dipakai
untuk membujuk rakyat melepaskan tanahnya. Antara lain misalnya
dengan menyebar kabar bahwa tanah itu akan dikuasai DKI untuk
proyek pemerintah. Karena itu tanah di sana tak akan dapat ganti
rugi, begitu biasanya para calo bilang. Dan ketimbang gigit jari
kelak, penduduk merasa lebih baik melepaskan tanahnya dengan
harga yang disodorkannya.
Tak sampai di situ. Di Kuningan misalnya para pengusaha real
estate sendiri tak kurang sengitnya saling sikut. Tanah yang
sudah dibebaskan dari rakyat dengan memakai "kewibawaan" otorita
(hingga harganya murah) bisa saja dilego lagi ke perusahaan lain
-- biasanya ke perusahaan yang bermodal lebih tebal.
Nama pengusaha real estate dengan demikian kurang harum jadinya.
Apalagi setelah terjadinya kasus Pluit. Begitu rupa "guncangan"
Pluit hingga Gubernur Tjokropranolo akan merubah kebijaksanaan
bekas Gubernur Ali Sadikin dalam hal cara pembebasan tanah itu.
"Nantinya Otorita hanya mengurus administrasi saja," kata
Gubernur Tjokropranolo. (lihat box: Tjokropranolo Tentang
Otorita).
Perubahan itu nanti bisa saja mempengaruhi gerak perusahaan real
estate -- yang pasti akan tidak berani melakukan pembebasan
tnah sendiri. Kemudian soalnya ialah: bagaimana misalnya daerah
pemukiman di Jakarta akan dibangun. Kecuali kalau pemerintah
sendiri langsung menangani pembangunan perumahan. Tentu saja
perumahan murah, di sekitar Rp 1 juta sebuah -- kalau boleh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini