Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lima tokoh perempuan di berbagai kota bergerak meningkatkan kesadaran masyarakat sekitarnya untuk membuat perubahan.
Rubama sukses menjadikan kampungnya, Gampong Nusa, Kabupaten Aceh Besar, sebagai desa wisata pasca-tsunami Aceh; Vania Santoso memberdayakan orang-orang sekitarnya di Surabaya untuk mengolah barang bekas menjadi produk bernilai ekonomi.
Melati dan Isabel Wijsen di Bali mengkampanyekan pengurangan pemakaian kantong sampah plastik agar laut tak tercemar; Emmanuela Shinta di Palangka Raya menggerakkan komunitas pemuda adat Dayak agar peduli terhadap permasalahan di sekitarnya.
AKTIVITAS wisata di Gampong Nusa, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, terpaksa rehat sementara. Sejak akhir Maret lalu, puluhan pelancong asal Malaysia membatalkan kunjungan karena dampak lockdown di negara mereka akibat wabah Covid-19. “Kebanyakan mereka ingin melihat budaya lokal,” kata Rubama M., 35 tahun, yang membangun Gampong Nusa menjadi desa wisata alam dan budaya, saat dihubungi pada Senin, 20 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rubama mengatakan Gampong Nusa—dalam bahasa Aceh berarti kampung—dikunjungi hampir 8.000 turis sepanjang tahun lalu. Sebanyak 7.000 di antaranya dari Malaysia, selebihnya dari Eropa, Amerika Serikat, dan wisatawan domestik. Para pelancong itu umumnya mengambil paket menginap di puluhan rumah singgah milik warga, berwisata kuliner tradisional, hingga menikmati budaya dan alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desa wisata adalah buah perjuangan Rubama dalam menggerakkan masyarakat kampungnya. Kehidupan warga terpuruk setelah desa sejauh 10 kilometer barat daya Banda Aceh itu porak-poranda diempas tsunami pada 2004. Tsunami tak hanya menelan korban dan menyisakan tumpukan sampah, tapi juga merenggut sumber penghidupan warga. Ironisnya, derasnya bantuan dari ratusan organisasi non-pemerintah internasional justru membuat warga Nusa berpangku tangan. “Kultur gotong-royong yang dulu kuat jadi terkikis dan luntur,” ucap aktivis Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh ini.
Vania Santoso. TEMPO/Kukuh S Wibowo
Gerah melihat kondisi itu, Rubama, yang pernah mengikuti pelatihan mengelola sampah di Calang, Aceh Jaya, tergerak membuat perubahan. Ia menggagas gerakan sosial kaum Hawa untuk mengolah sampah menjadi produk bernilai ekonomi pada 2005. “Setiap berkumpul rutin, saya sisipkan berbagai isu diskusi tentang perempuan,” ujarnya. Advokasinya meluas ke kalangan pemuda dan anak-anak dengan membentuk bank sampah dan komunitas Al Hayah yang berfokus memulihkan seni tari tradisional.
Selama lima tahun lebih, gerakannya sukses mengubah persepsi warga tentang pengelolaan sampah. Bahkan pijakan ekonomi ratusan perempuan di sana makin kukuh. Berawal dari banyaknya orang luar yang mengunjungi Nusa untuk melihat pengelolaan sampah dan tarian etnis, ia menggagas kampungnya menjadi desa wisata pada 2010. Sebagian warga dan aparat desa menertawakan rencananya. Kultur kolot dan kurang terbuka terhadap orang yang berbeda latar belakang turut menjadi pemicunya.
Tak menyerah, Rubama bergerak meyakinkan warga kampungnya. Setelah lima tahun, jumlah rumah singgah yang awalnya satu-dua kini menjadi 45 homestay. Sebagian warga dan aparat desa yang dulu mencibirnya dan menudingnya ingin membangun tempat maksiat sekarang turut menikmati desa wisata sebagai sumber penghidupan. “Mimpi besar kami adalah Nusa menjadi gampong yang berdaulat,” tutur Rubama.
Semangat serupa dimiliki Vania Santoso. Pendiri usaha produk daur ulang itu menunjukkan 100 tas berbahan karung semen bekas dengan tali gantungan kulit di ruang pamer heySTARTIC di daerah Jemursari, Surabaya, Ahad, 19 April lalu. Kantong ramah lingkungan itu digunakan sebagai wadah bahan kebutuhan pokok yang dibagikan kepada warga miskin terkena dampak wabah Covid-19. “Sudah diuji kekuatannya dengan diisi minyak goreng, tepung terigu, kopi, dan lain-lain,” katanya.
Rubama. Dokumentasi Pribadi
Vania, 28 tahun, berfokus mengolah karung semen bekas dan kulit menjadi produk fashion serta dekorasi rumah. Melalui usahanya di bidang sociopreneur, heySTARTIC, ia mengajak 11 warga yang dilatihnya membikin gantungan kunci, dompet, tas, sepatu, alas peralatan makan, kotak makeup, hingga kap lampu. Rekam jejaknya di bidang inovasi barang bekas pernah mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2007.
Langkah Vania sebagai aktivis lingkungan berawal sejak 2005. Dorongan itu tak lepas dari banjir yang melanda rumahnya setiap musim hujan. Bersama kakaknya, Agnes Santoso, ia membentuk komunitas edukasi lingkungan dan blusukan ke kampung-kampung dan sekolah. Hingga kini Vania aktif membikin pelatihan kewirausahaan, kursus usaha, dan inovasi produk serta membentuk wadah inovasi anak muda.
Kepedulian terhadap lingkungan sejak belia juga ditunjukkan Melati Wijsen dan Isabel Wijsen. Sejak tujuh tahun lalu, isu pencemaran karena sampah plastik telah menyedot perhatian dua bersaudara yang tinggal di Desa Prerenan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, itu. Lewat kampanye sederhana, Bye Bye Plastic Bags, Melati dan Isabel yang masih berstatus pelajar itu menyerukan pengurangan kantong plastik sekali pakai. “Ini gerakan anak muda. Kami mulai ketika usia saya 12 tahun dan Isabel 10 tahun,” ucap Melati, Sabtu, 18 April lalu.
Sejak diluncurkan, Bye Bye Plastic Bags telah memiliki 100 anggota di Pulau Dewata yang semuanya anak muda. Di seluruh dunia, gerakan kampanye yang digagas Wijsen bersaudara itu memiliki 50 tim di 29 negara.
Emmanuella Shinta. Dokumentasi Pribadi
Ide kampanye Bye Bye Plastic Bags berasal dari keresahan Wijsen bersaudara melihat banyak sampah di lingkungan mereka. Imbauan pemerintah saat itu tak mempan mendorong warga memilah sampah plastik. Lewat Bye Bye Plastic Bags, kesadaran warga justru cepat terbangun. Perjuangan mereka berbuah hasil saat Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan peraturan penggunaan kantong plastik sekali pakai pada 2018.
Di Palangka Raya, aktivis suku Dayak, Emmanuela Dewi Shinta, mendirikan Yayasan Ranu Welum pada 2016 untuk menggerakkan pemuda Dayak agar melek dan peduli keadaan sekitarnya. Ranu Welum—yang berarti air kehidupan dalam bahasa Dayak Maanyan—bermula sebagai komunitas film yang mengangkat isu sehari-hari di Kalimantan sejak 2014. “Misi saya waktu itu harus membuat pergerakan,” kata Shinta, Sabtu, 18 April lalu.
Lewat produksi film pendek dan video dokumenter serta pemutaran film dan diskusi, Shinta, 27 tahun, membawa topik masyarakat adat dan lingkungan ke komunitas mahasiswa, anak-anak sekolah, kelompok pemuda, hingga organisasi rohani. Gerakannya meraih momentum saat bencana kabut asap mengepung Kalimantan pada 2015. “Komunitas kami bergerak sebagai relawan di garis depan untuk pemadaman api,” ucapnya.
Sejak itu, Shinta makin luas merangkul komunitas pemuda Dayak di penjuru Kalimantan. Lewat program Heartland Project, Indigenous Initiatives, dan Youth Act, ia mengkampanyekan aksi nyata menghadapi berbagai persoalan, dari menanam pohon, melakukan advokasi isu lingkungan ke kampung, sampai menjadi relawan penanganan Covid-19 dengan memberikan edukasi kepada warga adat yang sepuh dengan mencetak selebaran dalam bahasa Dayak. Ia juga menggagas Indigenous Film Festival, festival film masyarakat adat yang melibatkan banyak pembuat film adat lain di Indonesia, bahkan sejumlah negara Asia Tenggara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo