Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kepala Batu di Sekolah Suku

Sri Tiawati berkeras membangun sekolah adat di Kampung Semeriot. Sempat malu menjadi keturunan Dayak Punan.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sri Tiawati (tengah) di Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara, Selasa (21/4). Zah Photograph

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sri Tiawati sempat patah semangat menghadapi anak-anak suku Dayak Punan.

  • Mengidap kanker, Sri Tiawati menggunakan biaya berobat untuk membeli buku.

  • Ia mengumpulkan dana untuk membiayai muridnya mengikuti ujian paket A.

BERDIRI di depan 12 anak Suku Dayak Punan, Sri Tiawati membagikan buku dan alat tulis pada akhir 2014. Mengajar di Kampung Semeriot, Desa Ujang, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, perempuan itu mencoba memberikan pelajaran layaknya di sekolah formal dengan berdiri di depan mereka. Namun dia sadar, anak-anak itu tidak menyukainya. “Kehadiran saya dan peralatan belajar dibenci anak-anak,” kata Sri mengenang peristiwa itu pada Selasa, 21 April lalu.

Menolak belajar, anak-anak meninggalkan rumah kepala adat. Perempuan 27 tahun itu lalu melaporkan kondisi tersebut kepada para orang tua di Kampung Semeriot. Ia menjelaskan bahwa pendidikan diperlukan untuk menjaga masa depan hutan di wilayah itu. Apalagi luas hutan di sana mencapai 43 ribu hektare. Para orang tua akhirnya menyemangati anak masing-masing untuk kembali belajar. Para bocah kembali berkumpul di rumah kepala adat.

Lulusan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sekatak itu lalu menanyakan cara belajar yang mereka inginkan. Para murid menjawab ingin belajar di hutan. Mengikuti kemauan itu, Sri dan anak-anak berjalan menuju hutan dan berhenti di bawah pohon besar. Tapi anak-anak langsung memanjat pohon sambil membawa buku. Kelas pun bubar, Sri kembali ke Desa Ujang. Begitu pula keesokan harinya, Sri kembali menuruti keinginan mereka belajar di pinggir Sungai Bulusu. Begitu tiba, mereka malah meloncat ke sungai. “Saya marah karena merasa diabaikan oleh anak-anak,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Tiawati di Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara, Selasa (21/4). Zah Photograph

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kembalilah Sri ke kampung dan mengemas perlengkapannya. Ia pulang ke rumah orang tuanya di Desa Kelembunan, yang berjarak dua jam perjalanan menumpang kapal ketinting, satu-satunya alat transportasi di kawasan tersebut. Sri lalu memikirkan cara mengajar yang bisa diterima anak-anak Dayak Punan. Ia mengontak beberapa temannya. Salah satunya Mei Christy Sengoq dari Folks of Dayak. Mei menyarankan Sri mengikuti kemauan anak-anak untuk belajar apa pun. “Kalau mau bermain, ya diikuti saja,” kata Sri.

Ia lalu teringat alasannya mendirikan sekolah di kampung Punan. Sesungguhnya, Sri juga keturunan suku Punan, meskipun ia sempat malu mengakuinya. Sebelum ia datang ke Semeriot, suku Punan selalu menjadi bahan olok-olok karena dianggap bodoh dan jorok. Mereka pun tak tersentuh oleh pendidikan. Menurut Sri, suku Punan juga tidak mengenal uang dan sering ditipu ketika menjual hasil perkebunan atau berbelanja barang. Begitu pula saat perusahaan perambah hutan masuk dan mencaplok sebagian lahan adat, penduduk hanya diam ketika membubuhkan cap jempol di atas kertas kosong.

Saat mengikuti program magang di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta pada akhir 2012, ia mendapat tugas melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat Desa Ujang selama dua pekan. Tinggal bersama suku Punan di Kampung Semeriot, Sri menyaksikan anak-anak kecil tak bersekolah dan ikut orang tua menggarap ladang. Saat itulah Sri bermimpi anak-anak suku Punan bisa mengecap pendidikan.

Selesai magang, Sri mengumpulkan dana agar bisa tinggal sementara di Kampung Semeriot dan membawa sejumlah buku. Ia sempat bekerja di perusahaan pabrik kertas dan menyisihkan gajinya selama delapan bulan sebelum pergi ke Semeriot. Orang tuanya sempat menolak rencana itu karena kondisi tubuh Sri tidak kuat-kuat amat. Ia pernah ditabrak sepeda motor dan divonis menderita kanker oleh dokter.

Sofie Anggraini, teman Sri, mengaku pernah memberikan bantuan agar Sri mau mengobati penyakitnya itu. Namun Sri malah menggunakan duit itu untuk membeli buku dan alat tulis. “Dia kepala batu dan gigih memperjuangkan pendidikan anak-anak adat,” tuturnya.

Mimpi mencerdaskan masyarakat suku Punan membuat Sri kembali ke Desa Ujang dan menetap di sana selama satu bulan. Sri mendatangi satu per satu orang tua untuk meminta anak mereka belajar lagi. Kala itu musim panen dan anak-anak menjaga sawah agar padi tak dimakan burung. Hari itu, pelajaran pertama yang diberikan adalah mengamati burung dan cara menjaga padi agar tak rusak.

Setelah itu, anak-anak suku Punan mulai suka belajar dengan Sri. Akhirnya, berdirilah Sekolah Adat Punan Semeriot (SAPS). Lama-kelamaan, muridnya bertambah banyak. Dan bukan hanya anak-anak, tapi juga orang tua. Para tetua adat pun ikut mengajar dan menyimak pelajaran. Sri mencontohkan, tetua suku Dayak Punan bernama Gading mengajarkan sejarah suku mereka yang awalnya tinggal di gua serta kehidupan para leluhur yang pandai mengobati. Gading, kata Sri, juga mengajarkan aturan adat bagi para remaja.

Menurut Sri, materi yang diajarkan Gading menjadi mata pelajaran khusus di SAPS. Mereka juga punya sejumlah mata pelajaran selain membaca, menulis, dan berhitung. Di antaranya bercocok tanam lokal dan meramu obat tradisional. Sofie Anggraini, sukarelawan yang mengajar di Semeriot pada 2016, menuturkan, berkat pendidikan yang Sri bentuk, banyak warga menjadi melek huruf dan tercerahkan. Penduduk pun tidak lagi mudah percaya kepada perusahaan yang berniat mengambil lahan mereka.

Sri Tiawati di Bulungan, Kalimantan Utara, Selasa (21/4). Zah Photograph

Sofie bercerita, Sri juga tak sungkan berdebat dengan penduduk yang melakukan penambangan emas ilegal di dekat Desa Ujang. “Karena Sri peduli dengan lingkungan,” ucapnya. Sri membenarkan info bahwa dia sempat memperingatkan para penambang bahwa aktivitas penambangan ilegal dengan merkuri itu bakal merusak lingkungan dan kesehatan penduduk.

Hampir enam tahun berjalan, banyak perubahan terjadi di Kampung Semeriot. Jumlah murid sekolah adat pun telah mencapai 105 orang. Kini, mereka berani menghadapi orang luar yang bermaksud membeli lahan adat. Wakil Ketua Dewan AMAN Abdon Nababan mengatakan sekolah yang didirikan Sri mampu menyelamatkan lahan adat. “Mereka juga tidak main buka lahan begitu saja,” tuturnya.

Para orang tua di Kampung Semeriot meminta Sri menetap di sana dan terus mengajar. Namun Sri menolak karena alasan kesehatan dan ia harus menjaga adiknya yang masih kecil. Ia juga berharap sekolah formal bisa segera berdiri di Kampung Semeriot agar cita-cita anak didiknya dapat terwujud. Menurut Sri, ada anak-anak  Punan yang ingin menjadi tentara supaya bisa menjaga wilayah adat. Ada pula yang ingin menjadi guru untuk lebih mencerdaskan penduduk.

Membantu mewujudkan cita-cita itu, Sri mendaftarkan 12 anak didiknya di Kampung Semeriot mengikuti ujian paket A agar bisa mendapatkan ijazah sekolah dasar. Dengan bantuan donatur, Sri menebus biaya ujian Rp 1 juta per orang. Sri menyatakan hanya itu yang bisa dilakukannya. “Saya sedih setelah mendengar cita-cita mereka. Sedih karena tak mampu menyekolahkan dan memberikan lebih untuk mereka,” katanya, terisak.

 




Sri Tiawati

Tempat dan tanggal lahir:
2 Maret 1993
Pendidikan: SMAN 1 Sekatak, Bulungan
Pekerjaan: Swasta

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus