Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Warga Pancoran Buntu tidak memiliki bukti kepemilikan lahan.
Selama 20-40 tahun, mereka menyewa ke pemilik lahan.
Pertamina menyatakan upaya pemulihan aset ini tidak menggusur warga.
JAKARTA – Tak banyak yang tersisa di Pancoran Buntu, kecuali cerita. Santi, warga Gang Buntu, Pancoran, Jakarta, mengatakan telah tinggal di sana sejak 20 tahun lalu. Tidak ada transaksi jual-beli, yang ada hanya sewa lahan tahunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bayar ke Pak Mul," kata dia, kemarin. Selama dua dekade, warga hanya mengenal Pak Mul sebagai kerabat pemilik tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Status kepemilikan tanah menjadi sumber konflik di kawasan yang berlokasi 500 meter di selatan Patung Dirgantara tersebut. Pada awal 1970-an, Mangkusasmito Sanjoto membayar sejumlah uang kepada rekan bisnisnya, Anton Partono, untuk pembelian 4,8 hektare lahan di sana. Namun Anton dan tiga rekannya menjual lahan itu ke PT Nagasasra Jayasakti, yang kemudian menjualnya kembali ke Pertamina.
Dalam rangkaian sidang pada 1973 hingga 1977, Sanjoto menang. Pada 1992, Pertamina mengajukan peninjauan kembali di Mahkamah Agung, yang kemudian menyatakan sebagai pemilik 2,8 hektare lahan di Pancoran Buntu tersebut. Sejak tahun lalu, lewat anak usahanya, Pertamina Training and Consultant, perusahaan pelat merah itu hendak memulihkan aset mereka.
Sebanyak 2.000 warga yang tidak tahu-menahu soal tumpang-tindih kepemilikan itu menjadi terjepit. Terlebih, mereka sulit mendapati bukti kepemilikan lahan di Pancoran Buntu itu. Bukti pembayaran sewa pun mereka tak punya. "Semua kuitansi pembayaran hilang saat banjir besar 2020," kata Santi.
Satu-satunya dasar klaim warga adalah kartu tanda penduduk (KTP). "Kalau disebut warga liar, kok kami bisa punya KTP?" ujarnya.
Kuasa hukum ahli waris keluarga Sanjoto, Edi Danggur, mengatakan keluarga Sanjoto sudah menempati lahan tersebut sejak 40 tahun lalu. "Tepatnya, setelah ada putusan MA yang menegaskan bahwa lahan tersebut milik Sanjoto pada 1981," kata Edi. Selain menempati lahan itu untuk keluarganya sendiri, Sanjoto mengizinkan beberapa orang yang dikenalnya bermukim di sana hingga sekarang menjadi warga Jalan Pancoran Gang Buntu II, Jakarta Selatan.
Mural penolakan penggusuran permukiman warga di Jalan Pancoran Buntu II, Jakarta, 21 Maret 2021. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Muhammad Chandra, warga Gang Buntu, menilai Pertamina tidak bisa mengeksekusi lahan meski menang dalam peninjauan kembali. Sebab, putusan tersebut tidak membatalkan putusan-putusan sebelumnya yang memenangkan keluarga Sanjoto. "Jadi, sifatnya declaratoir, tidak ada putusan eksekusi," katanya.
Menurut Chandra, sengketa tanah antara ahli waris dan Pertamina belum selesai. Pertamina seharusnya melakukan gugatan kembali untuk mendapatkan surat eksekusi apabila ingin menguasai tanah tersebut secara fisik. Sementara itu, warga menilai upaya paksa Pertamina selama ini dilakukan tanpa prosedur hukum. Misalnya, tidak ada peringatan dan penjelasan soal pemanfaatan lahan setelah penggusuran.
Chandra mengatakan warga Pancoran Buntu masih menunggu proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait dengan upaya paksa Pertamina tersebut. Apabila Pertamina menang, dia melanjutkan, warga bersedia angkat kaki tanpa uang kompensasi. "Karena kami adalah warga negara yang taat akan hukum," ujar dia.
Pertamina membantah melakukan penggusuran paksa. "Kami hanya berupaya melakukan pemulihan aset," kata Wakil Presiden Senior Komunikasi Korporat Pertamina, Agus Suprijanto.
INGE KLARA | YUSUF MANURUNG | ZULNIS FIRMANSYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo