Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Yani dan suaminya, Agustinus Banea, adalah satu di antara ratusan penghuni Rumah Susun Rawa Bebek yang tak sanggup membayar tunggakan rusun. Sejak tinggal di rusun itu, setelah tergusur dari Muara Baru, penghasilan mereka pas-pasan untuk hidup.
Ketika ditemui Tempo, Yani berusaha menutupi bekas luka bakar sepanjang 40 sentimeter di tangan kirinya dengan ujung daster yang dikenakannya. Luka itu ia peroleh setahun yang lalu akibat terburu-buru turun dari tangga lantai empat Rumah Susun Rawabebek di Jakarta Utara ke kios warungnya di lantai dasar. Minyak panas yang ia bawa tumpah dan menyambar lengan kirinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama tiga hari, ia tak berjualan. Pemasukan keluarga perempuan berusia 48 tahun yang berasal dari Muara Baru itu pun seret. Ia terpaksa meminta suaminya meminjam Rp 3 juta untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. “Tapi buka warung pun sepi,” kata dia, dua pekan lalu. Selama 12 jam Tempo nongkrong di warungnya, memang hanya ada satu-dua pembeli yang datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap hari, kata Yani, pembeli ke warungnya tak jauh berbeda. Ia kadang membawa naik uang hanya Rp 30 ribu. Uang sebesar itu tak cukup untuk berbelanja kembali barang yang persediaannya kosong. Padahal ia harus menyisihkan penghasilan untuk sewa rumah susun serta bayar listrik dan air. Penghasilan suaminya, sementara itu, tak cukup untuk menutup tambahan kebutuhan keluarga dengan satu anak ini.
Agustinus Banea, suami Yani, bekerja sebagai petugas kebersihan di kompleks perumahan Pluit dengan penghasilan Rp 50 ribu per hari. Upah itu harus ia bagi untuk bensin sepeda motor Rp 15 ribu dan uang makan. Agus tak memakai bus TransJakarta meski gratis karena acap terjebak macet. Ia pernah terlambat masuk kerja hingga dua jam karena jalan menuju tempat kerjanya macet parah. Akibatnya, hari itu ia tak dibayar.
Penghasilan itu tandas untuk makan sehari-hari keluarganya. “Sudah 28 bulan saya menunggak sewa,” kata Agus. Di Rumah Susun Rawabebek, penghuni seperti Agus mesti membayar angsuran Rp 10 ribu per hari atau Rp 300 ribu per bulan untuk membayar sewa satu unit rumah susun seluas 21 meter persegi.
Karena Agus menunggak, pernah pengurus rumah susun hendak menggembok unit rumah susunnya. Agus bertahan. Kepada petugas itu, ia mengatakan, “Tolong buatkan rumah untuk kami tinggal. Rumah kami di Muara Baru sudah digusur.”
Agus dan Yani pindah ke Rawabebek ketika permukimannya digusur karena pemerintah Jakarta hendak menanggul laut agar tak diterjang rob tiap kali laut pasang. Untuk menambah penghasilan keluarga, Yani membuka kios di lantai dasar. Tak ingin dikenai iuran sewa kios Rp 80 ribu per bulan, Yani menggelar lapak sendiri di tengah-tengah lantai dasar. Tapi itu pun tetap tekor.
Sewaktu di Muara Baru, Yani bekerja sebagai buruh pengupas udang di pasar ikan. Penghasilannya Rp 300 ribu per pekan. Itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kendati suaminya tak bekerja, misalnya karena sakit.
Pengakuan Yani diamini pedagang lain, Sri Budiarti. Menurut dia, rumah susun hanya ramai pengunjung jika ada acara kelurahan. Selain hari itu, pengunjung sepi. Sebagai penjualan makanan, Sri mengandalkan pembeli dari luar penghuni. “Kalau penghuni mah sama susahnya,” kata perempuan 49 tahun ini. Sri menunjuk kios lain yang tutup dan ditempeli stiker merah tanda menunggak iuran.
Asih Sumaretni, Kepala Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) Rawa Bbebek, mengatakan membuka kios dan warung menjadi pekerjaan baru bagi sebagian besar penghuni rumah susun yang berjumlah 3.028 jiwa.
“Tidak sedikit yang menganggur setelah pindah ke sini,” kata dia. Asih pernah ingin merekrut mereka menjadi petugas kebersihan rumah susun, tapi mereka yang menganggur umumnya tak punya ijazah, minimal sekolah dasar.
Menurut Asih, sebanyak 90 persen, atau 640 keluarga, belum membayar tunggakan rusun. Lama tunggakan umumnya 10-20 bulan. Banyak penghuni yang menganggur dan bekerja serabutan sehingga tak sanggup membayar iuran rumah susun sederhana sewa atau rusunawa itu. “Tapi banyak juga yang sakit hati sehingga tak mau membayar,” kata Asih. “Susah kalau sudah begitu.”
Ali Noor Hidayat