Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Chairil, Aku, dan Sjuman djaya

Skenario ini dapat menangkap roh sang penyair. Riwayat hidup Chairil Anwar disuguhkan dengan begitu hidup, berjiwa, dan mendetail.

15 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki kurus berambut panjang,

bermata cekung tapi tajam,

berdada telanjang dan kurus bertulang-tulang.

Tapi dialah lelaki resah,

berwajah gelisah dan mata merah.

Lelaki yang baru saja keluar dari pintu reot

sebuah gubuk yang basah....

DENGAN puitis Sjuman Djaya melukiskan sosok Chairil Anwar dalam skenario karyanya yang berjudul Aku. Lewat skenarionya ini, Sjuman menyuguhkan riwayat penyair pelopor Angkatan 45 yang dikaguminya itu dengan sangat hidup dan mendetail. Skenario ini merupakan salah satu karya terpenting Sjuman. ”Skenario ini sangat dahsyat. Saya sendiri mengenal Chairil Anwar lewat skenario ini,” kata Arswendo Atmowiloto, 67 tahun, novelis dan penulis skenario.

Menurut Arswendo, dalam skenario itu Sjuman dapat menangkap keliaran Chairil Anwar. Dia juga bisa mengungkap roh sang penyair. ”Skenario ini sangat detail, kolosal, dan filmis,” ujar Ars­wendo dekat dengan Sjuman Djaya ketika mereka menggarap film Opera Jakarta pada 1985. Seperti diketahui, Opera Jakarta merupakan film yang diangkat dari novel karya Arswendo berjudul sama.

Sayangnya, skenario ini tak sempat difilmkan karena Sjuman meninggal. Sutradara kawakan ini meninggal pada 19 Juli 1985 di usia 50 tahun. Pria lulusan Institut Sinematografi Negara, Moskow, pada 1965 itu sejak remaja gemar menulis cerita pendek, sajak, dan esai sastra. Sepanjang 14 tahun kariernya di jagat perfilman, Sjuman membuat 16 film. Hampir semua film karyanya—beberapa di antaranya meraih Piala Citra—dekat dengan realitas sosial. Misalnya Si Doel Anak Betawi (1972), Laila Majenun (1975), Si Doel Anak Modern (1976), Kabut Sutra Ungu (1979), R.A. Kartini (1982), Budak Nafsu (1983), dan Kerikil-Kerikil Tajam (1984). Film terakhir Sjuman, Opera Jakarta, yang antara lain memasang istrinya, Zoraya Perucha, dan Ray Sahetapy, belum sempat terselesaikan karena ia wafat.

Arswendo menuturkan, ketika Sju­man meninggal, boleh dibilang tidak ada lagi perbincangan mengenai skenario Aku tersebut. ”Skenario itu ikut terkubur bersama meninggalnya Sjuman Djaya,” katanya. Yang jelas, tutur Arswendo, mengangkat kisah hidup Chairil Anwar selalu merupakan obsesi Sjuman. ”Bagi Sjuman, Chairil Anwar itu jawara tiada taranya.”

Sekitar dua tahun setelah kematian Sjuman, skenario itu diterbitkan sebagai buku oleh PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, dengan judul Aku, Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar. Skenario itu pun kemudian banyak dikenal luas. Banyak yang menilai kekuatan Aku bukan hanya pada kepiawaian penulisnya menggambarkan situasi Indonesia di era Revolusi, melainkan juga pada pelukisan karakter tokoh yang begitu hidup dan berjiwa. Plus kekuatan diksi dalam kalimat-kalimatnya.

”Dalam skenario Aku ini spirit Chairil Anwar benar-benar muncul dan tergambarkan di sini. Rohnya itu keluar. Ini skenario yang luar biasa dan sangat liar,” kata produser Mira Lesmana. ”Dan kelihatan sekali Sjuman Djaya sangat mencintai puisi-puisi Chairil Anwar,” ujar Mira, yang pertama kali membaca buku skenario itu pada sekitar 1997. Buku itulah yang kemudian menjadi pegangan bagi Mira untuk produksi film-film berikutnya. Misalnya pada film Ada Apa dengan Cinta? (2001), ”Naskah Aku adalah kunci kedekatan Rangga dan Cinta dan karena itu kami meminta Dian (Sastrowardoyo) dan Nicholas (Saputra) membacanya,” ucap Mira.

Dilihat dari bentuknya, Mira menambahkan, itu juga bukan skenario biasa. Bentuknya tidak baku. Secara teori, ini baru draf awal atau dalam dunia skenario istilahnya step outline. ”Biasanya step outline itu bentuknya sebuah ringkasan. Tapi skenario ini sudah sangat panjang dan detail. Mungkin ini karena Sjuman memang suka menulis,” katanya.

Menurut Mira, secara artistik, skenario ini sudah selesai. Tapi, secara teknis, ia harus melewati satu proses lagi untuk masuk ke tahap produksi. Teknis itu, misalnya, berapa orang yang perlu dilibatkan dalam film tersebut, berapa biayanya, dan lain-lain. ”Nah, dalam skenario ini, aspek teknis tersebut belum ada,” ujar sineas yang bersama Riri Riza kini tengah berencana menggarap film tentang Chairil Anwar dan diperkirakan syuting pada 2017 ini.

Mira belum tentu menggunakan naskah Aku karya Sjuman Djaya itu. ”Kami masih melakukan riset-riset baru, jadi bentuknya pun masih dalam diskusi dan pengembangan,” katanya.

Meski naskah Sjuman itu baru step outline, menurut Mira, skenario ini sudah sangat filmis. Itu tampak sejak dari pembukanya:

Bom atom pertama meledak di kota Hiroshima.

Langit berselaput awan cendawan berbisa.

Ketika memburai awan itu, bumi laksana

ditimpa hujan salju yang ganas.

Gedung-gedung beton runtuh.

Aspal-aspal jalan terbakar menyala.

Bumi retak-retak berdebu, di segala penjuru.

Dan beribu tubuh manusia meleleh, tewas atau terluka.

Mira juga mencermati skenario Aku tentu melewati proses yang sangat panjang. Butuh riset bahan, studi literatur, dan lainnya. Hal itu dibenarkan Arswendo Atmowiloto. ”Proses pembuatan skenario ini memakan waktu lama sekali, di atas lima tahunan,” ujar Arswendo. ”Sjuman dan sejumlah sineas saat itu, seperti Teguh Karya dan Arifin C. Noer, sangat serius dan berhati-hati dalam membuat skenario.”

Arswendo mengenang, ketika proses pembuatannya, skenario ini dibawa ke mana-mana dalam bentuk ketikan dengan coretan. Skenario ini bukan hanya riset literatur, melainkan juga hasil wawancara dengan siapa saja yang mengenal Chairil Anwar. Sjuman mewawancarai keluarga, teman-teman, dan sejumlah mantan pacar Chairil. ”Sjuman juga memberikan draf skenario itu kepada saya, yang saat itu sebagai wartawan, dan sejumlah rekan wartawan lain untuk meminta masukan,” katanya. ”Dan, hebatnya, kalau mau mengorek informasi, Sjuman biasanya mengajak kami minum-minum, ha-ha-ha....”

Putri Chairil Anwar, Evawani Alissa, menyebutkan, pada akhir 1970-an, ketika akan membuat film tentang ayahnya, Sjuman sangat intens datang untuk berdiskusi dengannya. ”Kadang kami berdiskusi hingga larut malam. Kebetulan suami saya juga bersahabat dengan Sjuman Djaya,” ucap Evawani. ”Sjuman juga meminjam beberapa dokumen, buku, dan foto-foto Chairil yang saya ­punya.”

Evawani juga mendengar rencana Sjuman akan memberikan peran ayahnya dalam film itu kepada W.S. Rendra. Namun film itu tak jadi terwujud karena Sjuman meninggal. ”Yang saya sayangkan, dokumen, buku, dan foto-foto yang dipinjam Sjuman belum sempat dikembalikan,” ujar Evawani. ”Ketika saya menanyakan ke keluarga almarhum, ternyata mereka tidak mengetahui hal itu.”

Akan halnya Arswendo Atmowiloto punya pengalaman berbeda. Saat menggarap Opera Jakarta, Sjuman menyatakan bahwa dia ingin semua bintang film Indonesia diajak bermain di film tersebut. Lalu, ketika membuat skenario Chai­ril, dia mengatakan, ”Semua seniman Indonesia dan kritikus akan saya ajak main dalam film Chairil ini.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus