Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Patung-patung Sang Penyair

Selain di kawasan taman Monas dan Sekolah Taman Siswa, Jakarta, patung Chairil Anwar ternyata ada di Malang, Jawa Timur. Masih dipertanyakan apakah Chairil pernah singgah di sana pada 1947.

15 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Monumen Nasional, patung Chairil Anwar diabadikan dalam bentuk patung dada setinggi satu meter. Dipajang di taman Monas utara, tepat di depan patung Diponegoro menunggang kuda. Lihatlah: wajah Chairil di patung itu seperti cemberut, matanya menatap lurus ke depan. Patung tersebut dipasang di atas sebuah tembok setinggi dua meter. Sebuah plakat dari pualam terpasang. Bait-bait puisi ”Krawang-Bekasi” dalam warna yang sudah memudar terukir di sana. Di sebelah belakangnya: sajak ”Diponegoro” yang terukir.

Anggota staf pelayanan kantor pengelola kawasan Monas, Nursamin, mengatakan patung Chairil dipasang di taman itu sejak 1986. ”Mahasiswa Institut Kesenian Jakarta yang menggagas pembuatan patung ini,” ujar Nursamin. Dahulu ada panggung teater terbuka yang biasa digunakan para mahasiswa IKJ untuk berkegiatan. Kini panggung itu telah hilang berganti kolam.

Dalam buku Ensiklopedia Jakarta disebutkan bahwa pembuat patung itu adalah Arsono, pematung dari Arstupa (Arsono Studio Patung). Patung perunggu ini dibuat di Yogyakarta. Setelah jadi, patung diboyong ke Jakarta. Gubernur saat itu, R. Suprapto, meresmikannya. Menurut Nursamin, tak ada jejak yang dapat menghubungkan Chairil dengan Monas. Keberadaan patung itu di sana semata karena Monas menyediakan ruang terbuka di sekelilingnya sebagai lokasi penempatan patung.

Di Jakarta, patung Chairil juga bisa ditemui di Sekolah Taman Siswa di Jalan Garuda, Kemayoran. Menurut surat kabar Nieuwe Courant pada 23 Januari 1951, gambar patung dada itu dirancang oleh pelukis dan pematung Hendra Gunawan yang ketika itu sedang sibuk-sibuknya membuat patung Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Selanjutnya, pembuatan patung setengah badan Chairil Anwar itu dikerjakan oleh pematung Sajono, seperti diberitakan surat kabar Nieuwsgier pada 29 April 1953.

Lalu di halaman Rumah Budaya milik politikus Fadli Zon di Jalan Raya Padang Panjang-Bukittinggi, Tanah Datar, Sumatera Barat, juga terdapat patung Chairil. Fadli memesan patung Chairil itu kepada seniman Bambang Winaryo saat peringatan ulang tahun sang penyair ke-91. ”Sebagai penghormatan atas karya-karyanya,” kata Fadli tentang patung Chairil yang diresmikan pada 2013 itu.

l l l

Yang menarik, patung Chairil ternyata juga ada di Malang, Jawa Timur. Patung setinggi dua meter itu berdiri di tengah sebuah taman di persimpangan Jalan Basuki Rachmat, Kayutangan, Malang. Patung setengah badan berbahan batu semen bercat merah tembaga itu menonjolkan wajah Chairil Anwar mengenakan pakaian sederhana. Di bagian bawah patung tertera puisi terkenal Chairil: ”Aku”.

Patung Chairil itu berdiri sejak 1955. Monumen ini diresmikan oleh Wali Kota Malang saat itu, M. Sardjono Wirjohardjono, pada 28 April 1955. Kabarnya, keberadaan patung tersebut terkait dengan kenangan atas kehadiran Chairil di Malang. Pada 1947, Malang ditunjuk menjadi tempat Sidang Pleno Kelima Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal Dewan Perwakilan Rakyat. Pleno yang digelar di gedung rakyat atau Societet Concordia itu berlangsung pada 25 Februari-6 Maret 1947. ”Saat itu Jakarta genting sehingga pleno dipindah ke Malang,” kata sejarawan Suwardono, yang juga penulis Monografi Sejarah Kota Malang.

Namun, menurut Suwardono, ia tak menemukan catatan dan data yang menyebutkan Chairil mengikuti sidang pleno yang dihadiri Presiden Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir tersebut. ”Tak dapat dipastikan apakah betul Chairil Anwar terlibat dalam pengambilan keputusan ataupun merumuskan hal-hal penting yang dibahas KNIP,” ujarnya. Sekitar empat bulan setelah pleno itu, gedung Societet Concordia hancur dibom saat Agresi Militer Belanda I. Bekas gedung itu kini menjadi Sarinah Plaza, berjarak sekitar 50 meter dari patung Chairil.

Salah satu data yang menyebutkan kehadiran Chairil di Malang adalah dua puisi yang ditulisnya. Dalam kumpulan puisi Aku Ini Binatang Jalang Chairil Anwar terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Maret 1986, disebutkan sang penyair menulis dua puisi di Malang, yakni ”Sorga” (Malang, 25 Februari 1947) dan ”Sajak buat Basuki Resobowo” (Malang, 28 Februari 1947). Tanggal penulisan kedua puisi itu bertepatan dengan Sidang Pleno Kelima KNIP di Malang, 25 Februari-6 Maret 1947. ”Memang tidak ada dokumennya, tapi sangat mungkin Chairil hadir di Malang,” kata penulis biografi Chairil Anwar, Hasan Aspahani.

Boleh dibilang tak banyak dokumen seputar sejarah pembuatan patung Chairil Anwar di Malang. Berita di majalah bulanan Seni nomor 7 tahun 1/ Juli 1955 menjadi satu-satunya media yang merekam peresmian patung pada 28 April 1955. Majalah dengan susunan redaksi H.B. Jassin, Trisno Sumaryo, dan Amir Pasaribu itu kini dikoleksi Henricus Supriyanto, 73 tahun, guru besar kajian budaya Universitas Negeri Surabaya. Henricus menemukan majalah tersebut di lapak toko buku bekas di Jalan Majapahit sebelum direlokasi ke kawasan Jalan Wilis, Malang. ”Peresmian patung pada 28 April 1955, tapi, di majalah Seni, beritanya baru diterbitkan Juli 1955,” katanya.

Dalam majalah itu ditulis ketua panitia pembuatan patung Achmad Hudan Dardiri. Hudan saat itu guru di SMA Negeri 1 Malang dan dosen PGSLP Malang. Saat peresmian, ia menyampaikan biaya pembuatan patung berasal dari Seksi Kebudayaan Kota Besar Malang. Pembuat patung itu adalah perupa Widagdo. Wali Kota Malang Sardjono, setelah melakukan pidato peresmian, membuka kain penutup patung. Warga Malang yang menghadiri mendekat. Dalam majalah bulanan Seni, Widagdo mengaku tak puas terhadap patung pahatannya. ”Memang kita tak pernah puas. Habis, kita di sini bekerja dengan serba kurang, kurang tenaga, kurang bahan, dan kurang biaya.”

Menurut Henricus, ide pembuatan patung didiskusikan Widagdo bersama­ para seniman yang tergabung dalam Angkatan Pelukis Muda Malang (APMM). Widagdo saat itu menjadi Ketua APMM. Tak ada kepastian siapa yang melontarkan ide membuat patung Chairil tersebut. Saat itu, kata dia, puisi karya Chairil Anwar dikagumi karena memunculkan pembaruan, pemberontakan, kebebasan, dan penciptaan puisi yang lepas dari Pujangga Baru. Ide dan irama puisinya tergolong baru saat itu. ”Chairil Anwar menjadi patron baru,” ujarnya.

Kini foto peresmian patung Chairil Anwar dipajang di Inggil Resto milik Dwi Cahyono. Dalam foto hitam-putih itu sejumlah anggota panitia pembuatan patung, termasuk A. Hudan Dardiri dan Wali Kota Malang Sardjono, berpose di depan patung. Sayang, hanya satu lembar foto ini yang tersisa, tak ada foto saat peresmian dengan melepas kain penutup patung atau proses kreatif pembuatan patung. ”Foto ini pemberian Pak Hudan Dardiri sendiri kepada saya,” kata Dwi Cahyono.

Hudan, menurut Dwi, menjelaskan bahwa ide pembuatan patung itu dicetuskan para seniman pada awal 1950-an untuk membakar semangat para pemuda. Saat itu pemuda dan pelajar yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) terlibat dalam perjuangan. Pada 1947, baru terjadi pembumihangusan bangunan strategis di Malang, termasuk Balai Kota Malang. ”Menurut Pak Hudan, saat itu situasinya masih genting, tak mudah untuk meyakinkan Wali Kota Sardjono,” kata Dwi Cahyono.

Sang pembuat patung, Widagdo, sebenarnya ingin lebih menonjolkan tulisan puisi ”Aku”. Teks puisi itu awalnya ingin dibuat setinggi mata, sehingga memudahkan masyarakat untuk membaca pesan syair puisi Chairil Anwar. Patung itu mulanya akan diletakkan di kawasan Stadion Gajayana, Malang, tapi batal karena dianggap tidak menarik perhatian publik. Kawasan Kayutangan dianggap lebih strategis karena saat itu menjadi pusat berkesenian dan bertemunya warga Malang.

Hudan Dardiri, sang ketua pembuatan patung, dikenal kemudian sebagai Wali Kota Pasuruan pada 1969-1975 dan Bupati Jombang 1979-1983. Ia meninggal pada 26 Juni 2007. Sedangkan Widagdo seolah-olah gelap, tak banyak data dan informasi yang menyebutkan profilnya. Dwi Cah­yono mengungkapkan bahwa Widagdo merupakan perupa yang dekat dengan Chairil Anwar. Namun tak ada catatan yang menerangkan bahwa Chairil pernah berinteraksi intens dengan seniman dan sastrawan di Malang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus