Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hans Bague Jassin sedang membaca naskah di ruang redaksi majalah Panji Pustaka pada suatu siang di tahun 1943 ketika seorang pemuda ceking bermata merah dengan rambut awut-awutan menyodorkan sebuah sajak berjudul ”Nisan”. Terpukau oleh sajak tersebut, Jassin kemudian mengajak pemuda yang tak lain Chairil Anwar itu mengobrol.
Chairil, yang dikenal Jassin semasa di Medan, kemudian menunjukkan sajak-sajaknya yang lain. Jassin mengusulkan puisi tersebut dimuat. Tapi Armijn Pane, Pemimpin Redaksi Panji Pustaka, menolaknya karena melihat karya Chairil terlampau menonjolkan individualisme. Armijn khawatir majalahnya kena sensor karena saat itu Jepang sedang mengkampanyekan slogan kebersamaan Asia Raya. ”Ini sangat disayangkan. Saya merasa sajak Chairil perlu diketahui publik,” kata Jassin dalam wawancara dengan Tempo pada 1989.
Jassin kemudian mengetik ulang 20 sajak Chairil itu rangkap enam. Salinan sajak di antaranya disebarkan kepada Sutan Takdir Alisjahbana, Mohammad Said, dan Sutan Sjahrir. Jassin menyimpan naskah asli yang dinamai Chairil ”Kerikil Tajam”.
Meski sajaknya ditolak Panji Pustaka (belakangan sajak ”Aku”, yang tersohor dengan lariknya ”aku ini binatang jalang”, dimuat setelah judulnya diganti menjadi ”Semangat” agar lolos sensor), Chairil menjalin persahabatan dengan Jassin. Chairil berkunjung ke rumah atau kantor Jassin sekehendaknya. Ia sering masuk ke rumah Jassin dan langsung mengambil nasi.
Chairil juga pernah mengundang Jassin dan sejumlah kawannya ke rumah mertuanya di Karawang. Pada pukul sembilan pagi, para tamu sudah diajak Chairil ke ruang makan dan langsung menyantap hidangan yang tersaji di meja. Ibu mertuanya terbengong-bengong melihat kelakuan Chairil. ”Kita tunggu Ayah dulu,” kata ibu mertua Chairil. ”Ayah biar belakangan saja,” ujar Chairil. Seusai acara bersantap, hidangan di meja makan itu hampir tak ada sisa.
Persahabatan mereka tak benar-benar mulus. Pada awal 1949, Jassin kecewa mengetahui Chairil menjiplak sajak penyair Cina, Hsu Chih-mo, yang diterjemahkan menjadi ”Datang Dara Hilang Dara”. Jassin kemudian menulis penjiplakan itu di Mimbar Indonesia dalam artikel berjudul ”Karya Asli, Saduran, dan Plagiat”. Walau begitu, Jassin tak secara langsung menyebut Chairil sebagai penyontek.
Chairil, yang tersindir, lalu mencari-cari Jassin. Mereka kemudian bertemu di Gedung Kesenian Jakarta. Saat itu, Jassin sedang bersiap-siap tampil sebagai salah satu aktor dalam pertunjukan drama karya Usmar Ismail. ”Saat saya duduk meresapi peran, tapi hei, kenapa si kurus itu lalu-lalang di muka saya?” Jassin mengenang kembali peristiwa itu.
Berikutnya, Chairil mencibir, lalu berteriak kepada Jassin, ”Kamu bisanya cuma menyindir. Tak ada yang lain!” Teriakan Chairil menjerang hati Jassin. ”Saya juga bisa pukul,” kata Jassin. Buk! Chairil ditinju hingga terpelanting. Usmar Ismail, sutradara drama, dan sejumlah aktor melerai mereka.
Menurut Jassin, setelah perkelahian itu, Chairil tak beranjak dari gedung, malah menonton pertunjukan. ”Dia duduk di muka sekali… saya lihat ia menunjuk-nunjuk saya,” kata Jassin, yang belakangan dijuluki ”Paus Sastra” karena kerap mengulas karya sastra para pengarang zaman itu.
Selepas kejadian itu, Jassin mendengar Chairil sering datang ke Sekolah Taman Siswa untuk berlatih angkat besi. Ia berniat membalas pukulan Jassin. Maka, ketika suatu sore Chairil muncul di rumah Jassin, tuan rumah pun pasang kuda-kuda. Tapi tiba-tiba Chairil berkata, ”Jassin, aku lapar….”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo