Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMBILAN bulan setelah Chairil Anwar wafat, sepuluh sajaknya muncul dalam Tiga Menguak Takdir. Selain berisi karya Chairil, buku kumpulan puisi ini berisi sajak Rivai Apin dan Asrul Sani. Buku ini dirancang sejak satu setengah tahun sebelum diterbitkan Balai Pustaka pada Januari 1950. ”Gagasan itu muncul pada saat kami akan menegakkan 'Surat Kepercayaan Gelanggang',” ujar Asrul dalam buku kumpulan puisi Chairil, Derai-derai Cemara.
”Surat Kepercayaan Gelanggang” juga dipublikasikan setelah Chairil berpulang. Mulai digodok saat Chairil hidup, dokumen itu rampung disusun pada 18 Februari 1950. Namun baru dirilis berbulan-bulan kemudian di majalah Siasat, persisnya pada 22 Oktober 1950. Asrul yang menulis manifesto tersebut. Chairil, Rivai Apin, Usmar Ismail, Basuki Resobowo, dan lain-lain ikut menekennya. ”Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,” demikian petikan ”Surat Kepercayaan Gelanggang”.
Awalnya, kata Asrul, para penanda tangan hanya ingin menjadikan Gelanggang, yang dideklarasikan pada 1946, sebagai paguyuban kesenian. Namun, dalam perbincangan selanjutnya, mereka beranggapan bahwa yang dibutuhkan adalah suatu angkatan, bukan kumpulan belaka. ”Angkatan ini tidak saja harus ada, tapi juga harus mempunyai pandangan hidup. Suatu tujuan,” ucap Asrul dalam Derai-derai Cemara, seperti tertulis juga dalam pendahuluan Tiga Menguak Takdir.
Dalam wawancara dengan Tempo pada 1999, Asrul mengungkapkan suasana saat pernyataan sikap tersebut disusun. ”Terus terang, ada satu kesombongan,” ujarnya. ”Kami merasa tidak perlu dibatasi dengan kebanggaan tentang Borobudur atau Shakespeare, misalnya. Apa yang ada di dunia adalah milik kita semua.”
Ketika Tiga Menguak Takdir dan ”Surat Kepercayaan Gelanggang” dirancang, sejumlah sastrawan dan seniman memang berhasrat mendobrak angkatan Pujangga Baru. Pada akhir 1949, sejumlah esai di Gelanggang, lembar kebudayaan di majalah Siasat, menegaskan kehadiran Angkatan 45. Salah satunya bahkan ditulis atas nama Chairil—kendati baru dirilis enam bulan setelah kematian sang penyair. ”Angkatan 1945 harus merapatkan barisannya dan berusaha sekeras-kerasnya untuk menegakkan self-respect dan melaksanakan self-help,” tulis Chairil.
Tak ada yang ragu akan peran sentral Chairil. Sitor Situmorang, yang juga menulis esai soal Angkatan 45 di terbitan nomor yang sama, memastikan bahwa nama angkatan dipilih Chairil sewaktu masih hidup untuk menyebut generasi seniman dan sastrawan sesudah masa perang. Sitor pun menempatkan Chairil sebagai simbol Angkatan 45. Sebenarnya Rosihan Anwar di majalah Siasat pada awal 1949 lebih dulu menyebut nama angkatan itu untuk membedakannya dengan angkatan Sutan Takdir Alisjahbana.
Ada lagi penafsiran yang lebih ”politis”. Menurut dosen sastra Universitas Indonesia, Maman S. Mahayana, meski semula ditujukan kepada angkatan Pujangga Baru, publikasi ”Surat Kepercayaan Gelanggang” pada 22 Oktober 1950 lebih merupakan reaksi terhadap lahirnya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950—dua bulan sebelumnya. Bila mau, sebenarnya Asrul bisa kapan saja mempublikasikannya, tak perlu menunggu sampai delapan bulan sejak pernyataan itu selesai disusun. Tapi, karena Lekra datang membawa gagasan yang bertolak belakang dengan sikap generasi Gelanggang, barulah Asrul menayangkan ”Surat Kepercayaan Gelanggang”. Sejak itulah seniman dan sastrawan terbagi ke dalam dua kubu besar.
Setelah Chairil meninggal, tuduhan pernah datang bertubi-tubi. Dia didakwa melakukan plagiat terhadap sejumlah karya penyair dunia. Di antaranya, sajak ”Krawang-Bekasi” yang dianggap meniru ”The Young Dead Soldiers” karya Archibald MacLeish.
Tuduhan ini pertama kali dialamatkan oleh seseorang bernama G.S. Kumajas. Dalam Siasat edisi 28 Februari 1954, Asrul menangkisnya. Menurut Asrul, kemiripan kedua sajak itu bukanlah ”tiruan yang sadar” karena Chairil adalah seorang pembaca sajak dunia. Bisa saja secara tidak sadar ia menumpahkan kembali kata-kata yang pernah dibacanya.
Asrul bercerita betapa ia dan Chairil kerap berjalan kaki sampai pagi. Kadang dalam perjalanan itu Chairil mendaras puisi penyair luar negeri yang belum lama dibacanya. Chairil memiliki ingatan yang cerlang. ”Dia perlu beberapa menit membaca, langsung hafal,” kata Asrul. Karena itulah, pada Mei 1954, Gelanggang menghentikan segala pembahasan mengenai hubungan karya Chairil dan MacLeish.
Pembelaan tentu saja juga datang dari Hans Bague Jassin, yang mengamati perkembangan kepenyairan Chairil sejak awal. Pada 1956, Jassin mengulas tulisan-tulisan Chairil, termasuk yang belum pernah diterbitkan, dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Menurut Jassin, Chairil banyak terilhami Marsman dan Slauerhoff. Meski ada jejak kedua penyair Belanda itu dalam sajak Chairil, pengaruhnya hanya samar-samar.
Meski begitu, Jassin mengakui bahwa Chairil mencuri sajak penyair Cina, Hsu Chih-mo, yang diterjemahkan menjadi ”Datang Dara Hilang Dara”. Dan Jassin bisa memakluminya. Saat itu redaksi kebanjiran sajak para penyair dalam negeri. Karya terjemahan jarang dimuat. Padahal Chairil butuh uang untuk berobat ke dokter. Maka Chairil tak mencantumkan nama penyair asli di terjemahan. ”Penyakitnya banyak makan ongkos,” ujar Jassin dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
Buku tersebut disusun lima tahun setelah Jassin menerima catatan-catatan terakhir Chairil dari M.S. Ashar pada Desember 1951. Berkas itu berupa delapan buku tulis, sebuah buku tulis berkulit tebal dan tak bergaris-garis, serta majalah dan buku. Jassin punya alasan kenapa buku tersebut baru diterbitkan belakangan. ”Waktu tujuh tahun sesudah penyair meninggal adalah satu waktu yang cukup lama untuk mengambil jarak dari padanya sebagai objek studi….”
Sebagaimana para sahabat Chairil, Jassin pun menilai bahwa Chairil adalah orang yang pertama-tama membentuk aliran baru kesusastraan Indonesia setelah kemerdekaan. Chairil pun, menurut Jassin, adalah sastrawan Angkatan 45 yang paling besar pengaruhnya.
Pengaruh Chairil bukan hanya pada sastra, tapi juga bahasa. ”Chairil melepaskan bahasa dari kekuasaan kaum guru,” kata Asrul Sani. Maman S. Mahayana mengatakan Chairil membuat bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu berjalan ke arah yang berbeda ketimbang bahasa Melayu di Malaysia. Misalnya penggunaan kata yang lebih efisien dalam sajak dan esai.
Pandangan itulah yang selalu dikemukakan Jassin tiap kali membicarakan Angkatan 45. Suatu kali dalam tulisannya di majalah Zenith pada 1953, secara membabi-buta Jassin mengkritik sastrawan Angkatan 45 yang hanya sanggup menciptakan karya yang begitu-begitu saja, kecuali Chairil. ”Chairil Anwar telah menciptakan suatu dunia baru dalam persajakan, dan yang melebihi dia belum lagi kelihatan,” ujar Jassin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo