Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam foto itu Chairil Anwar sedang mengisap sebatang rokok. Ia tampak menghikmati betul. Tak tahu merek apa rokoknya. Juga jenisnya: rokok putih atau kretek. Yang jelas, sang pujangga terkesan menyedotnya dalam-dalam. Jari-jarinya menjepit rokok itu dengan kokoh. Abu di ujung rokok pun belum dijentikkan. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Perlente.
Tak banyak yang tahu ”foto eksistensialis” Chairil itu dijepret oleh seniman bernama Baharudin Marasutan, pegawai Balai Pustaka. Bersama Nasjah Djamin dan Wakidjan, Baharudin menjadi penata letak sekaligus ilustrator Balai Pustaka. Chairil mengenal Baharudin jauh sebelum bertemu dengan Nasjah dan Wakidjan. Bersama Chairil, Asrul Sani, dan Rivai Apin, Baharudin Marasutan termasuk seniman yang ikut mendirikan Gelanggang, paguyuban kesenian yang dibentuk pada 1946.
Bila mampir ke kantor Balai Pustaka, Chairil selalu menyempatkan diri bertemu dengan Baharudin di ruang desain dan tata letak yang terletak di sebelah ruang redaksi. ”Ia datang, duduk, mencak-mencak, omong kosong, minum, dan santai,” kata Nasjah dalam bukunya, Hari-hari Akhir Si Penyair. Chairil tak sungkan meminjam uang kepada Baharudin bila sakunya kempis. Menurut Nasjah, Baharudin pasti memberikan seperak-dua perak kepada Chairil meski tahu uang itu tak akan pernah kembali.
Suatu kali Chairil datang mengiba-iba ingin mengutang. Semua penghuni ruang tata letak dimintai tolong. Tapi tak ada seorang pun yang sedang berdompet tebal. Setelah menodong Nasjah dan Wakidjan, ia kembali merayu Baharudin. ”Bahar, tolonglah aku. Aku saban hari harus suntik selama seminggu. Dokter tidak kasih bon atau utang,” katanya. Baharudin memadamkan rengekan Chairil, ”Anwar, jual pulpenku ini. Aku tak punya uang.” Chairil seketika terdiam.
Lahir di Bukittinggi pada 31 Mei 1911, Baharudin merupakan satu dari dua pionir seni grafis Indonesia. Seorang lainnya adalah Mochtar Apin, kakak Rivai Apin. Keduanya pernah, untuk memperingati ulang tahun pertama Republik Indonesia, membuat 19 cukilan linoleum yang dicetak pada kertas berukuran 45 x 37 sentimeter. Kertas cetakan kemudian diposkan ke negara-negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pada 1950, Baharudin meninggalkan Gelanggang. Ia bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra sebagaimana halnya pelukis generasi Gelanggang yang lain, seperti Basuki Resobowo dan Henk Ngantung. Di sela kesibukannya sebagai kepala seksi pembuatan klise dan ilustrasi serta fotografer Balai Pustaka, Baharudin masih rutin melukis, terutama gaya potret. Sejumlah sastrawan di Balai Pustaka pernah menjadi obyek lukisannya.
Di Balai Pustaka itulah potret Chairil mengisap rokok muncul dari kamera Bahar. ”Chairil memang perokok berat. Jari-jarinya sampai kuning,” kata Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang juga sahabat Nasjah Djamin. Foto Chairil merokok diambil Baharudin pada 1948. Majalah kebudayaan berbahasa Belanda, Orientatie, yang berbasis di Jakarta, pernah memuatnya pada 1952.
Sastrawan Ajip Rosidi pernah mendengar cerita dari Baharudin mengenai foto tersebut, tapi lupa detailnya. ”Waktu itu tak banyak orang yang punya kamera seperti Baharudin,” ujar Ajip pada awal Agustus lalu. Demikian juga kata Evawani Alissa, putri semata wayang Chairil. Dia pernah bertemu dengan Baharudin dan diceritai soal foto ikonik tersebut, tapi tak ingat cerita di balik pemotretannya.
Amarzan Ismail Hamid, redaktur sastra Harian Rakjat, koran berhaluan kiri pada 1960-an, mengenal gaya foto hasil jepretan Baharudin. ”Dia sering meminta orang yang dipotretnya berpose,” kata Amarzan, yang juga mengenal Baharudin secara langsung. Melihat kebiasaannya, foto itu diambil atas setahu Chairil.
Ini berbeda dengan foto ikonik Che Guevara berbaret dengan rambut gondrong yang diambil secara diam-diam oleh Alberto Korda pada 1960. Saat itu Che menghadiri perkabungan korban tewas meledaknya kapal kargo La Coubre. Che, dengan matanya yang nyalang, tak menyadari sedang dipotret.
Sebagaimana foto Che Guevara yang banyak mengilhami para seniman dunia, foto Chairil jepretan Baharudin tersebut juga mempesona para perupa kita. Salah satunya seniman Agus Suwage.
Agus pernah membuat seri lukisan tokoh-tokoh bergaya merokok ala Chairil. Lukisan ”seri Charil” ini termasuk yang laku di kalangan kolektor. Agus memamerkannya pertama kali di Nadi Gallery, Jakarta, pada 2007. Alumnus seni rupa Institut Teknologi Bandung itu melukis 27 tokoh dengan pose merokok seperti Chairil. Di antaranya tokoh perempuan Indonesia, Kartini; aktivis prodemokrasi, Munir; tokoh revolusioner kuba, Fidel Castro; pelukis Meksiko, Frida Kahlo; dan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln.
Semua tokoh dalam lukisan itu menjepit rokok dan mendekatkannya ke bibir sebagaimana pose Chairil. Seolah-olah mereka semua mengidolakan Chairil. Bahkan Castro, yang terkenal suka mengisap cerutu, kali ini pun tampak sebagai fan Chairil. Bedanya, pada lukisan Agus, Castro dan lain-lain itu memegang rokok dengan tangan kiri. Gambar mereka dilukis dengan cat air di atas kertas berukuran 75 x 56 sentimeter. Dalam pameran itu, Agus juga menghadirkan sebuah boks kaca besar beroda yang penuh puntung rokok. Puntung rokok itu dia kumpulkan dari para sahabatnya yang tiap hari silih berganti kongko sembari mengembus-embuskan asap di rumahnya di Yogyakarta.
Agus memberi judul lukisannya Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi. Hidup Chairil yang pendek menginspirasi pembuatan lukisan itu. Wafat menjelang umur 27, kematian tersebut malah mengabadikan pemikiran dan karya Chairil. ”Ada ironi dan paradoks,” kata Agus di studionya di Yogyakarta, akhir Juli lalu. Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, Agus mengagumi Chairil. Semua karya Chairil dilahapnya.
Agus juga membubuhkan cairan tembakau sebagai salah satu warna dalam ”seri Chairil” tersebut. Cairan itu berasal dari tembakau srintil yang direbus. Penggunaan tembakau itu bukan untuk gaya-gayaan. Warna kecokelatan dari cairan tembakau itu memberikan kesan lampau. ”Warna itu cocok dengan tokoh-tokoh yang telah meninggal yang saya gambarkan merokok ala Chairil itu,” kata Agus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo