DI tepi Jalan Raya Wang Fu Jing, Beijing, tak jauh dari Hotel
Beijing yang megah, seorang pemuda gondrong, 20 tahunan,
mengacung-acungkan beberapa buku ramalan Jepang sambil
berteriak: "Bung, baca buku ini kalau mau cari jodoh yang
cocok!" Tak jauh dari dia seorang pemuda lain menawar-nawarkan
cleansing cream: "Cantik, cantik, siapa mau cantik!" Di
sampingnya seorang wanita setengah umur duduk tenang menunggui
manisan apel yang dikeringkan. Dan tak sampai sepuluh meter,
seorang lelaki setengah baya menawar-nawarkan jasa sambil
menunjuk-nunjuk becaknya yang diparkir.
Sepuluh tahun lalu, pemandangan semacam ini mustahil bisa
ditemukan di Beijing, apalagi di kota-kota yang lebih kecil. 20
tahun yang lalu becak dihapuskan -- dianggap bagian dari
feodalisme dan pemerasan. Juga berdagang. Semua usaha pribadi
dilarang di seluruh RRC.
Kini, ya, itulah salah satu tindakan pembaru Deng Xiao-ping yang
berulang kali menimbulkan kejutan. Deng menganjurkan usaha
perseorangan dikembangkan. Bahkan menyarankan persaingan,
motivasi mencari untung, pemberian bonus dan pemberian kredit
bank. 10 tahun yang lalu, saran-saran seperti itu disebut
"pikiran kapitalisme" dan jelas haram.
Dalam politik barunya RRC rupanya sadar, meniadakan usaha
pribadi akan mengakibatkan beban yang ditanggung pemerintah di
banyak sektor menjadi jauh lebih berat, khususnya di
bidang-bidang yang membutuhkan pelayanan. Bayangkan saja: usaha
menjahit baju, usaha mencukur rambut, restoran, sarana
perhubungan, semuanya "negeri". Itu memerlukan birokrasi yang
mahal. Di samping, tak dapat disangkal, dalam memberi pelayanan
usaha swasta hampir selalu lebih baik dari usaha pemerintah yang
biasanya cenderung menjadi "priyayi" dan susah dikontrol.
Mudah-mudahan pula dengan diizinkannya usaha swasta,
pengangguran bisa menurun, harapan mereka. Sebab sampai kini
diperkirakan 10 - 20 juta pemuda RRC tak punya kerja -- dan
sebagian besar lulusan SLA. Para pembesar konon khawatir krisis
kerja di kalangan pemuda bisa melahirkan sikap sinis dan apatis
-- yang pada gilirannya bukan tak mungkin menimbulkan semacam
"revolusi kebudayaan" yang baru.
Izin usaha ini belum lama dikenal di RRC -- belum setahun. Pun
dikeluarkannya tidak terang-terangan. Sehingga karena rakyat
banyak yang tak tahu, kecuali yang dapat "info", suatu hari
orang Beijing geger ketika Liu Guixian, 47 tahun, membuka
"restoran" di muka rumahnya di salah satu lorong ibukota
tersebut. Itu tahun lalu. Padahal yang disebut restoran itu
sederhana saja. Sempit, pengap, bertembok bata tanpa plester dan
berlantai semerl kasar tanpa tegel. Dengan lampu remang-remang,
Liu hanya menyediakan empat meja kecil bertaplak plastik
murahan. Tapi ia menjanjikan "pelayanan istimewa" -- nah. Dan
restorannya ia beri nama 'Yuebin', artinya: 'Selamat datang para
tamu'.
Entah karena masakan Yuebin enak, entah karena pelayanannya yang
istimewa (dengan senyum, barangkali, sebab orang komunis
biasanya merengut), barangkali juga karena masih baru, Liu
sukses. Restorannya laku. Sampai kini peminat harus ngantre:
sesudah mendaftar, tak jarang mereka masih harus menunggu lebih
sebulan untuk bisa masuk. Yang datang pun tak tanggung-tanggung:
tokoh-tokoh partai, profesor, bintang-bintang film, dan tak
ketinggalan para sastrawan yang berjanji akan menulis tentang
Yuebin setelah diberi makan gratis. Enak benar.
Tak diketahui bagaimana Liu Guixian memutuskan membuka restoran.
Ada kemungkinan ia dibisiki orang pemerintah -- malah bisa juga
dapat bekingan orang partai, maklum. Tapi tak tertutup
kemungkinan ia memang berbakat spekulan yang punya keberanian
luar biasa untuk coba-coba, setelah "membaca situasi". Dan kalau
benar ia spekulan, ia sangat beruntung karena tebakannya tepat.
Jangan main-main: di negara komunis, tebakan yang keliru bisa
nyawa taruhannya.
Toh kisahnya dimulai dari Nyonya Liu Guixian. Ibu ini
mengkhawatirkan masa depan dua anaknya yang menganggur setelah
lulus SLA. Kebetulan ia ahli memasak. Bahkan pernah bekerja
sebagai koki istri Marsekal Ye Jiangying, Ketua Kongres Rakyat
Nasional dan bekas Wakil Ketua Partai.
Bersama suaminya, bekas koki pembesar ini lantas memberanikan
diri mengajukan permohonan kepada pemerintah. Dan, eh, enam
bulan kemudian, para calon pengusaha bermodal lemah (jadi tidak
hanya dia sendiri ternyata) malah mendapat jawaban jitu:
pemerintah memberi pinjaman sebesar US$ 333 lewat Bank Rakyat.
Kredit ini cukup besar di sana -- Rp 200.000 lebih sedikit.
Suami istri Liu bisa membeli perlengkapan yang diperlukan, dan
yang luarbiasa mereka dapat membeli sebuah lemari es untuk
menyimpan stok. Hebat.
Tak dikabarkan apakah kedua orang tua itu masih mengkhawatirkan
anak-anak mereka. Yang pasti, mereka bisa mendapat keuntungan
bersih US$ 20 per hari. Bandingkan dengan penghasilan Ny. Liu
sebagai koki pemerintah yang US$ 48 per bulan.
Bila orang mengingat sifat dasar orang Cina dalam hubungan
dengan restoran, besar kemungkinan ia akan menyimpulkan bahwa
komunisme sebenarnya tak cocok dengan kebudayaan asli. Siapa pun
tahu, dalam soal mencari resep masakan orang Cina termasuk kelas
satu. Di mana pun di dunia orang selalu bisa menemukan chinese
food restaurant. Malah ada yang disebut chinese restaurant
syndrome. Makan memang sudah bagian penting dari kebudayaan
Cina. Di kalangan mereka ada kalimat sapaan yang janggal, namun
masuk akal: bukan "Apa kabar?" tapi: "Sudah makan?"
20 tahun lalu, di Beijing sebenarnya masih terdapat kurang lebih
5.000 tempat makan. Tapi beberapa tahun kemudian, ketika jumlah
penduduk menjadi dua kali lipat -- 4 juta jiwa -- jumlah
restoran menurun drastis, 700 buah. Kemudian menyusut terus
sampai nol.
Tak aneh kalau dibukanya restora Yuebin dielu-elukan orang.
Banyak langganan, saking senangnya mengirimkan berbagai tanda
terima kasih. Satu di antaranya sebuah kaligrafi yang ditulis
dengan indah: "Biarkan restoran bertumbuhan di sini, seperti
pohon bambu bermunculan di musim semi."
Kedengarannya seperti potongan dari sebuah syair baru. Dan
memang restoran Liu Guixian bukan satu-satunya, tentu saja. Di
Lanzhou, ibukota Provinsi Gansu, juga ada restoran La
Shangin, yang bersama istrinya membuka usaha tempat makan
muslim. Para pelayannya, kebanyakan kaum kerabat, kelihatannya
malah sudah ditambah -- dan berbagai masakan ada di situ,
kecuali babi. Laris.
Dan itu memang sudah kebijaksaaan para penguasa RRC akhir-akhir
ini tak kurang dari Wakil Perdana Menteri Yao Yilin sendiri
dalam sebuah pidato pernah mengungkapkan: "Salah, bila usaha
swasta dikritik. RRC tidak akan menjadi kapitalis sekedar
karena beberapa sektor perekonomian dikuasai swasta."
Maka, bersama dengan itu, sejumlah dokter pun mendapat lisensi
untuk membuka praktek pribadi. Juga sejumlah pemain musik yang
pernah bekerja di stasiun radio -- sudah terdengar memberi les
privat di rumah. Tentunya sudah pula meluas berita, penghasilan
mereka naik dua kali.
Keuntungan adalah tujuan setiap usaha. Dan itu terdengar
sekarang tidak terlalu komunis. Karena itu sejumlah pengamat --
di antaranya pers -- mengkhawatirkan kebijaksanaan ini. Para
pejabat senior yang kolot mengkritik gejala baru ini sebagai
bahaya terhadap sosialisme. Mereka mengkhawatirkan usaha swasta
akan mempekerjakan orang tanpa kontrol, dan ini jelas
bertentangan dengan cita-cita kaum buruh. Lalu mereka
mengkhawatirkan berkuasanya kapitalisme dan permainan curang.
KRITIK ini barangkali ada betulnya. Sistem koneksi, yang bisa
melancarkan keluarnya izin, dikenal juga di RRC. Istri seorang
koresponden Amerika yang tinggal di Beijing pernah diajak
membangun sebuah usaha pembuatan baju -- oleh dua perempuan
Cina. Usaha ini sebenarnya "setengah gelap". Dua wanita Cina itu
(nama mereka dirahasiakan) sebetulnya tak memenuhi syarat. Izin
usaha diberikan hanya kepada mereka yang menganggur dan para
pensiunan, sedang kedua perempuan itu masih bekerja.
Istri koresponden itu bingung karena alasan yang diutarakan dua
kawannya jauh dari bayangan tentang seorang wanita komunis. Yang
seorang berkata: "Kita bakal untung besar, membuka usaha
pembuatan baju di sini sekarang." Yang lain mengungkapkan, ia
akan keluar dari pekerjaannya bila sudah untung. Dan wanita
Amerika itu lebih bingung lagi ketika ia bertanya bagaimana
mereka bisa mendapat izin. Jawab mereka: itu "bisa diatur".
Walaupun modal tidak selalu sama dengan kapitalisme, dilihat
dari kekhawatiran, keduanya bisa sama saja. Apalagi bila kapital
itu datang dari luar. Seorang bekas pekerja pabrik, entah
bagaimana bisa mengumpulkan sejumlah modal. Tidak seperti Liu
Guixian yang puas dengan usaha kecil-kecilan, ia merencanakan
sesuatu yang besar. Sebagian modalnya ia belikan sejumlah
souvenir. Yang sebagian ia gunakan untuk membeli tiket, dan
terbanglah dia ke Amerika Serikat. Di negeri kapitalis itu ia
menjual dagangannya yang laku keras dengan harga yang tinggi --
maklum, souvenir dari RRC. Dengan keuntungan ini ia mencari
hubungan bisnis dan modal yang lebih besar. Tidak sukar,
ternyata, sebab prospek RRC kelihatan penuh harapan. Beberapa
bulan kemudian ia pulang. Memakai stelan pakaian wool model
mutakhir, dan membagi-bagikan kartu nama yang mencantumkan
namanya dengan tanda: Presiden Director. Hebat. Berkat modal
asing, plus "keuletan Cina" yang terkenal itu.
Membangun semangat berdagang di kalangan orang Cina memang
seperti melemparkan bibit ke tanah yang subur. Gejala di RRC itu
barangkali tidak memerlukan waktu terlalu lama lagi untuk
dinilai perkembangannya. Memang, bila ada orang misalnya
tiba-tiba berkata: "Orang Cina sudah mulai belajar berdagang",
kata-kata itu akan terdengar janggal. Cina kok diajar dagang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini