Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cina kok diajar dagang

Tindakan pembaru deng xiao-ping, menganjurkan usaha perorangan/usaha swasta dikembangkan. sedang di galakkan membangun semangat berdagang di kalangan orang cina. (sel)

4 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tepi Jalan Raya Wang Fu Jing, Beijing, tak jauh dari Hotel Beijing yang megah, seorang pemuda gondrong, 20 tahunan, mengacung-acungkan beberapa buku ramalan Jepang sambil berteriak: "Bung, baca buku ini kalau mau cari jodoh yang cocok!" Tak jauh dari dia seorang pemuda lain menawar-nawarkan cleansing cream: "Cantik, cantik, siapa mau cantik!" Di sampingnya seorang wanita setengah umur duduk tenang menunggui manisan apel yang dikeringkan. Dan tak sampai sepuluh meter, seorang lelaki setengah baya menawar-nawarkan jasa sambil menunjuk-nunjuk becaknya yang diparkir. Sepuluh tahun lalu, pemandangan semacam ini mustahil bisa ditemukan di Beijing, apalagi di kota-kota yang lebih kecil. 20 tahun yang lalu becak dihapuskan -- dianggap bagian dari feodalisme dan pemerasan. Juga berdagang. Semua usaha pribadi dilarang di seluruh RRC. Kini, ya, itulah salah satu tindakan pembaru Deng Xiao-ping yang berulang kali menimbulkan kejutan. Deng menganjurkan usaha perseorangan dikembangkan. Bahkan menyarankan persaingan, motivasi mencari untung, pemberian bonus dan pemberian kredit bank. 10 tahun yang lalu, saran-saran seperti itu disebut "pikiran kapitalisme" dan jelas haram. Dalam politik barunya RRC rupanya sadar, meniadakan usaha pribadi akan mengakibatkan beban yang ditanggung pemerintah di banyak sektor menjadi jauh lebih berat, khususnya di bidang-bidang yang membutuhkan pelayanan. Bayangkan saja: usaha menjahit baju, usaha mencukur rambut, restoran, sarana perhubungan, semuanya "negeri". Itu memerlukan birokrasi yang mahal. Di samping, tak dapat disangkal, dalam memberi pelayanan usaha swasta hampir selalu lebih baik dari usaha pemerintah yang biasanya cenderung menjadi "priyayi" dan susah dikontrol. Mudah-mudahan pula dengan diizinkannya usaha swasta, pengangguran bisa menurun, harapan mereka. Sebab sampai kini diperkirakan 10 - 20 juta pemuda RRC tak punya kerja -- dan sebagian besar lulusan SLA. Para pembesar konon khawatir krisis kerja di kalangan pemuda bisa melahirkan sikap sinis dan apatis -- yang pada gilirannya bukan tak mungkin menimbulkan semacam "revolusi kebudayaan" yang baru. Izin usaha ini belum lama dikenal di RRC -- belum setahun. Pun dikeluarkannya tidak terang-terangan. Sehingga karena rakyat banyak yang tak tahu, kecuali yang dapat "info", suatu hari orang Beijing geger ketika Liu Guixian, 47 tahun, membuka "restoran" di muka rumahnya di salah satu lorong ibukota tersebut. Itu tahun lalu. Padahal yang disebut restoran itu sederhana saja. Sempit, pengap, bertembok bata tanpa plester dan berlantai semerl kasar tanpa tegel. Dengan lampu remang-remang, Liu hanya menyediakan empat meja kecil bertaplak plastik murahan. Tapi ia menjanjikan "pelayanan istimewa" -- nah. Dan restorannya ia beri nama 'Yuebin', artinya: 'Selamat datang para tamu'. Entah karena masakan Yuebin enak, entah karena pelayanannya yang istimewa (dengan senyum, barangkali, sebab orang komunis biasanya merengut), barangkali juga karena masih baru, Liu sukses. Restorannya laku. Sampai kini peminat harus ngantre: sesudah mendaftar, tak jarang mereka masih harus menunggu lebih sebulan untuk bisa masuk. Yang datang pun tak tanggung-tanggung: tokoh-tokoh partai, profesor, bintang-bintang film, dan tak ketinggalan para sastrawan yang berjanji akan menulis tentang Yuebin setelah diberi makan gratis. Enak benar. Tak diketahui bagaimana Liu Guixian memutuskan membuka restoran. Ada kemungkinan ia dibisiki orang pemerintah -- malah bisa juga dapat bekingan orang partai, maklum. Tapi tak tertutup kemungkinan ia memang berbakat spekulan yang punya keberanian luar biasa untuk coba-coba, setelah "membaca situasi". Dan kalau benar ia spekulan, ia sangat beruntung karena tebakannya tepat. Jangan main-main: di negara komunis, tebakan yang keliru bisa nyawa taruhannya. Toh kisahnya dimulai dari Nyonya Liu Guixian. Ibu ini mengkhawatirkan masa depan dua anaknya yang menganggur setelah lulus SLA. Kebetulan ia ahli memasak. Bahkan pernah bekerja sebagai koki istri Marsekal Ye Jiangying, Ketua Kongres Rakyat Nasional dan bekas Wakil Ketua Partai. Bersama suaminya, bekas koki pembesar ini lantas memberanikan diri mengajukan permohonan kepada pemerintah. Dan, eh, enam bulan kemudian, para calon pengusaha bermodal lemah (jadi tidak hanya dia sendiri ternyata) malah mendapat jawaban jitu: pemerintah memberi pinjaman sebesar US$ 333 lewat Bank Rakyat. Kredit ini cukup besar di sana -- Rp 200.000 lebih sedikit. Suami istri Liu bisa membeli perlengkapan yang diperlukan, dan yang luarbiasa mereka dapat membeli sebuah lemari es untuk menyimpan stok. Hebat. Tak dikabarkan apakah kedua orang tua itu masih mengkhawatirkan anak-anak mereka. Yang pasti, mereka bisa mendapat keuntungan bersih US$ 20 per hari. Bandingkan dengan penghasilan Ny. Liu sebagai koki pemerintah yang US$ 48 per bulan. Bila orang mengingat sifat dasar orang Cina dalam hubungan dengan restoran, besar kemungkinan ia akan menyimpulkan bahwa komunisme sebenarnya tak cocok dengan kebudayaan asli. Siapa pun tahu, dalam soal mencari resep masakan orang Cina termasuk kelas satu. Di mana pun di dunia orang selalu bisa menemukan chinese food restaurant. Malah ada yang disebut chinese restaurant syndrome. Makan memang sudah bagian penting dari kebudayaan Cina. Di kalangan mereka ada kalimat sapaan yang janggal, namun masuk akal: bukan "Apa kabar?" tapi: "Sudah makan?" 20 tahun lalu, di Beijing sebenarnya masih terdapat kurang lebih 5.000 tempat makan. Tapi beberapa tahun kemudian, ketika jumlah penduduk menjadi dua kali lipat -- 4 juta jiwa -- jumlah restoran menurun drastis, 700 buah. Kemudian menyusut terus sampai nol. Tak aneh kalau dibukanya restora Yuebin dielu-elukan orang. Banyak langganan, saking senangnya mengirimkan berbagai tanda terima kasih. Satu di antaranya sebuah kaligrafi yang ditulis dengan indah: "Biarkan restoran bertumbuhan di sini, seperti pohon bambu bermunculan di musim semi." Kedengarannya seperti potongan dari sebuah syair baru. Dan memang restoran Liu Guixian bukan satu-satunya, tentu saja. Di Lanzhou, ibukota Provinsi Gansu, juga ada restoran La Shangin, yang bersama istrinya membuka usaha tempat makan muslim. Para pelayannya, kebanyakan kaum kerabat, kelihatannya malah sudah ditambah -- dan berbagai masakan ada di situ, kecuali babi. Laris. Dan itu memang sudah kebijaksaaan para penguasa RRC akhir-akhir ini tak kurang dari Wakil Perdana Menteri Yao Yilin sendiri dalam sebuah pidato pernah mengungkapkan: "Salah, bila usaha swasta dikritik. RRC tidak akan menjadi kapitalis sekedar karena beberapa sektor perekonomian dikuasai swasta." Maka, bersama dengan itu, sejumlah dokter pun mendapat lisensi untuk membuka praktek pribadi. Juga sejumlah pemain musik yang pernah bekerja di stasiun radio -- sudah terdengar memberi les privat di rumah. Tentunya sudah pula meluas berita, penghasilan mereka naik dua kali. Keuntungan adalah tujuan setiap usaha. Dan itu terdengar sekarang tidak terlalu komunis. Karena itu sejumlah pengamat -- di antaranya pers -- mengkhawatirkan kebijaksanaan ini. Para pejabat senior yang kolot mengkritik gejala baru ini sebagai bahaya terhadap sosialisme. Mereka mengkhawatirkan usaha swasta akan mempekerjakan orang tanpa kontrol, dan ini jelas bertentangan dengan cita-cita kaum buruh. Lalu mereka mengkhawatirkan berkuasanya kapitalisme dan permainan curang. KRITIK ini barangkali ada betulnya. Sistem koneksi, yang bisa melancarkan keluarnya izin, dikenal juga di RRC. Istri seorang koresponden Amerika yang tinggal di Beijing pernah diajak membangun sebuah usaha pembuatan baju -- oleh dua perempuan Cina. Usaha ini sebenarnya "setengah gelap". Dua wanita Cina itu (nama mereka dirahasiakan) sebetulnya tak memenuhi syarat. Izin usaha diberikan hanya kepada mereka yang menganggur dan para pensiunan, sedang kedua perempuan itu masih bekerja. Istri koresponden itu bingung karena alasan yang diutarakan dua kawannya jauh dari bayangan tentang seorang wanita komunis. Yang seorang berkata: "Kita bakal untung besar, membuka usaha pembuatan baju di sini sekarang." Yang lain mengungkapkan, ia akan keluar dari pekerjaannya bila sudah untung. Dan wanita Amerika itu lebih bingung lagi ketika ia bertanya bagaimana mereka bisa mendapat izin. Jawab mereka: itu "bisa diatur". Walaupun modal tidak selalu sama dengan kapitalisme, dilihat dari kekhawatiran, keduanya bisa sama saja. Apalagi bila kapital itu datang dari luar. Seorang bekas pekerja pabrik, entah bagaimana bisa mengumpulkan sejumlah modal. Tidak seperti Liu Guixian yang puas dengan usaha kecil-kecilan, ia merencanakan sesuatu yang besar. Sebagian modalnya ia belikan sejumlah souvenir. Yang sebagian ia gunakan untuk membeli tiket, dan terbanglah dia ke Amerika Serikat. Di negeri kapitalis itu ia menjual dagangannya yang laku keras dengan harga yang tinggi -- maklum, souvenir dari RRC. Dengan keuntungan ini ia mencari hubungan bisnis dan modal yang lebih besar. Tidak sukar, ternyata, sebab prospek RRC kelihatan penuh harapan. Beberapa bulan kemudian ia pulang. Memakai stelan pakaian wool model mutakhir, dan membagi-bagikan kartu nama yang mencantumkan namanya dengan tanda: Presiden Director. Hebat. Berkat modal asing, plus "keuletan Cina" yang terkenal itu. Membangun semangat berdagang di kalangan orang Cina memang seperti melemparkan bibit ke tanah yang subur. Gejala di RRC itu barangkali tidak memerlukan waktu terlalu lama lagi untuk dinilai perkembangannya. Memang, bila ada orang misalnya tiba-tiba berkata: "Orang Cina sudah mulai belajar berdagang", kata-kata itu akan terdengar janggal. Cina kok diajar dagang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus