Yayasan Management Informasi yang dipimpin Christianto
Wibisono 9 Maret 1981 yang lalu menyerahkan "Laporan
Perusahaan PMA/PMDN 1967/1980" kepada Wakil Presiden Adam Malik.
Wakil Presiden meneruskannya kepada para sponsor yang telah
memungkin Christianto melakukan penelitiannya. Laporan itu
sendiri dibahas dan diketengahkan majalah TEMPO terbitan 14
Maret 1981. TEMPO telah meminta Drs. Kwik Kian Gie, 46 tahun,
ekonom lulusan Rotterdam (1963), Ketua Bidang Ekonomi Bakom PKB
Pusat untuk menulis kesannya.
SAYA mendapat kehormatan disebut sebagai salah seorang yang
menggerakkan hati Christianto untuk melakukan penelitian.
Berdasarkan tulisan saya di Kompas 23 Juni 1978.
Tulisan saya sebenarnya membahas dua masalah. Satu masalah
adalah yang menyangkut penguasaan ekonomi Indonesia, yang pada
waktu itu oleh banyak orang dianggap dikuasai oleh
"non-pribumi". Karena anggapan itu tanpa didukung oleh
penelitian dan angka-angka yang eksak, saya mencoba mengajak
masyarakat kita berpikir lebih mendalam dan lebih teliti.
Karena demikian kuatnya persepsi mengenai penguasaan ekonomi
oleh "nonpribumi". saya langsung saja ikut membahas soal yang
sedang hangat itu. tanpa mendalami terlebih dahulu apakah
topiknya sendiri sebenarnya secara prinsipiil dan fundamental
relevan untuk dibicarakan lebih lanjut di dalam kehidupan negara
kita yang sudah 36 tahun merdeka, dan yang mempunyai Pancasila
dan UUD '45.
Meskipun demikian, pada bagian akhir tulisan saya, saya membahas
masalah keadilan sosial pada umumnya, tanpa melihat dari
golongan etnis mana yang kaya dan dari golongan etnis mana yang
miskin. Dalam tulisan ini saya ingin mengajak pembaca berpikir
lebih mendalam, bergunakah dan tidak sia-siakah membicarakan
penguasaan bidang-bidang pencarian nafkah dengan memakai patokan
asal-usul keturunan rasial.
Maka marilah sekarang kita kembalikan dahulu masalahnya pada
Pancasila dan UUD '45, yang dikatakan sebagai sumber dari segala
hukum dan sumber dari segala perilaku kita.
Pasal 27 UUD '45 ayat I mengatakan, bahwa "Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menunjang hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya."
Penjelasan mengenai Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dari
Ketetapan No. Il/MPR/1978, yang dimuat di dalam buku P4
mengatakan, "Dengan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, yang sama
derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya."
Ini berarti bahwa patokan-patokan yang harus kita pakai sebagai
titik tolak untuk merumuskan kebijakan-kebijakan penanggulangan
masalah keadilan sosial atau ketimpangan antara kaya dan miskin
haruslah ukuran ekonomis semata-mata, dan bukan etnis. Dengan
demikian, istilah pribumi dan nonpribumi yang murni-murni
ukuran-ukuran asal usul keturunan etnis sekali-kali tidak boleh
dipakai.
Maka tidak mengherankan apabila dalam pemandangan umum MPR bulan
Maret 1978 mengenai masalah "pribumi" dan "nonpribumi", fraksi
ABRI yang dijurubicarai oleh Jenderal Surono mengatakan sebagai
berikut: "Satu hal yang kami sangat berkeberatan adalah
pikiran-pikiran yang hendak mengubah istilah golongan ekonomi
lemah dengan istilah pribumi. Keberatan kami untuk mencantumkan
istilah pribumi dalam dokumen konstitusi seperti GBHN, bersumber
pada isi dan jiwa Pancasila serta UUD '45."
Tidak mengherankan pula bahwa Presiden dalam sambutannya kepada
Musyawarah Nasional Pemuka Pengusaha pad tnggal 27 September
1980 antara lain mengatakan: "Dan jika kita berbicara tentang
golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah, hendaknya
kita buang jauh-jauh pikiran-pikiran rasialis, karena hal itu
jelas tidak sesuai dengan dasar falsafah Pancasila dan UUD '45.
Sebagai bangsa yang merdeka dan dewasa kita hanya mengenal satu
warganegara tanpa membeda-bedakan keturunan, agama atau adat
istiadat. Di negara kita sendiri, kita hanya mengenal perbedaan
hak dan kewajiban antara warganegara Indonesia dan warganegara
asing."
Sangat mengherankan adalah Sirkuler Bank Indonesia yang
membedakan pedoman mengenai pengertian "pribumi" dan
"nonpribumi" dalam pelaksanaan kebijakan perkreditannya, yang
harus memperlakukan "pribumi" dan "nonpribumi" secara berbeda.
Penegasan ini berbunyi sebagai berikut: " .... bahwa yang
dimaksud dengan pribumi adalah mereka yang termasuk kategori
bukan warganegara asing, bukan termasuk golongan Eropa,
warganegara Indonesia bukan golongan Cina, warganegara bukan
golongan Timur Asing, warganegara Indonesia seperti golongan
Arab, India, Pakistan dan lain-lain. Pribumi adalah yang
semata-mata termasuk masyarakat Indonesia asli, yang antara lain
meliputi suku Aceh, Ambon, Batak, Dayak, Irian, Jawa, Madura,
Minangkabau, Minahasa, Sunda dan suku-suku Indonesia asli
lainnya."
Terutama setelah ditatar P4 dalam bulan Februari 1980, saya
sekarang ingin mengajak masyarakat untuk berpikir secara
fundamental dahulu, apa yang sebenarnya haru berlaku?
Pancasila, UUD '45, pemandangan-pemandangan umum fraksi-fraksi
ABRI dan Golkar dan pidato Presiden yang saya kutip di atas,
ataukah jiwa Sirkuler Bank Indonesia?
Kalau pada akhirnya toh kita anggap relevan untuk mengetahui
perincian penguasaan bidang bisnis, sebagai bidang pencarian
nafkah, ke dalam kelompok-kelompok etnis, dengan alasan yang
sama, apakah kita tidak perlu mengetahui perincian-perincian
yang serupa untuk bidang pencarian nafkah lainnya, seperti
profesi dokter, akuntan, advokat, diplomat, ilmuwan dan
seterusnya -- untuk dianalisa berapa yang "pri" dan berapa yang
"nonpri"?
Dengan mengemukakan pertanyaan ini saya ingin mengemukakan
betapa kita dalam jangka panjangnya nanti akan selalu
berputar-putar di dalam lingkaran yang tidak berujung pangkal,
tanpa ada gunanya, bila kita terus-menerus dibiasakan berpikir
dalam istilah pengelompokan etnis untuk analisa bidang pencarian
nafkah rakyat kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini