Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA meminta wartawan Tempo mencari mobil Toyota Innova hitam di sebuah rumah di Desa Tanjungsari, Sidoarjo, Jawa Timur, ketika membuat janji wawancara untuk edisi ini pada Jumat pekan lalu. Mobil itu menjadi penanda keberadaan Machmudi Haryono karena berbeda dengan mobil lain di perumahan itu. Mobil Machmudi bernomor polisi H, kode wilayah Semarang.
Machmudi mampir ke rumah kakaknya di Sidoarjo setelah mengantar sebuah keluarga menjenguk seorang narapidana terorisme yang mendekam di penjara Nusakambangan, Jawa Tengah. Mobil dan mengunjungi tahanan teroris adalah tonggak hidup laki-laki 41 tahun ini setelah keluar dari penjara pada 2009.
Ia ditangkap polisi karena menyimpan bahan peledak seberat 60 kilogram--daya ledaknya dua kali bom Bali--pada 2003. Kasusnya terkenal dengan sebutan bom Sri Rejeki, alamat kompleks perumahan tempat Machmudi ditangkap. "Itu bom miliki Musthofa," kata Machmudi, yang punya nama alias Yusuf Adirima dan Abu Hasan.
Meski menyatakan tak mengetahui bom itu, Machmudi bukannya tak punya kaitan dengan para teroris. Musthofa yang ia sebut itu adalah dalang bom Hotel JW Marriott di Jakarta pada 2003, yang lebih dulu ditangkap di Bekasi, Jawa Barat. Machmudi berkawan dengan Musthofa sebagai kolega bisnis jualan sepatu karena dikenalkan sesama kombatan Moro, Filipina selatan.
Machmudi datang ke Filipina pada 2000. Selama dua tahun, ia bergerilya bersama milisi muslim di sana untuk memberontak kepada pemerintah Filipina. Pengetahuan dan keinginannya berperang di Moro ia peroleh dari para santri di Pondok Pesantren Al-Islam Lamongan, Jawa Timur. Ia sampai ke pondok ini atas saran seorang temannya di Solo pada 1997.
Alumnus Pondok Pesantren Wali Songo, Ponorogo, Jawa Timur, itu gemar membaca buku tentang sejarah Islam sejak remaja. Ketika membeli buku di sebuah toko, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang menganjurkan ia membaca soal jihad, strategi perang, dan senjata. Di Solo, waktu itu ia berjualan batik.
Dari buku-buku itu, Machmudi kian paham tentang kondisi muslim di Timur Tengah. "Saya kecewa terhadap perlakuan tidak adil terhadap umat Islam di sana," katanya. Ia memutuskan meninggalkan Solo dan bergabung dengan pesantren Al-Islam, yang terkenal karena banyak santrinya yang terlibat terorisme.
Para santri di sini sangat bersemangat terlibat dalam konflik di Poso, Sulawesi Tengah. Machmudi berangkat ke sana pada 1999 bersama lima santri Al-Islam lain. Di Poso itulah ia bertemu dengan kombatan lain yang mengajaknya ke Malaysia untuk masuk ke Filipina selatan bergabung dengan gerilyawan Moro.
Pulang dari Moro, ia berjualan sepatu di Semarang, hingga temannya saat di Moro mengenalkannya kepada Musthofa. Keduanya mengontrak rumah di Jalan Taman Sri Rejeki Selatan, Kalibanteng Kidul, bersama tiga temannya yang lain. Polisi Jawa Tengah menangkap mereka dengan dus besar berisi detonator dan 60 kilogram trinitrotoluene.
Machmudi dan teman-temannya divonis sepuluh tahun bui, tapi hanya menjalani hukuman lima setengah tahun karena mendapat remisi. Ia bebas pada 2009 dan menata hidupnya kembali dengan bekerja di sebuah restoran bebek di Semarang. Pemiliknya kemudian tahu latar belakangnya sebagai terpidana teroris lalu memecatnya.
Waktu itu ia sudah menikah. Machmudi memutuskan mencari pendamping hidup karena renungannya selama di penjara. "Hanya keluarga yang mempedulikan saya selama di penjara," katanya. "Keluarga yang menginginkan saya kembali hidup normal." Ia baru sadar ada orang lain yang mencintainya, sementara ia membohongi mereka dan meninggalkannya bertahun-tahun untuk bertempur.
Renungan lain adalah soal ribuan peluru dan puluhan kilogram bahan peledak di rumah kontrakannya. "Semua amunisi itu untuk memerangi siapa?" katanya. Tak ada perang di Indonesia. Umat Islam pun tak terzalimi. Dari situlah ia sadar dan memutuskan meninggalkan paham radikal selamanya.
Sangat kebingungan mencari pekerjaan setelah dipecat pemilik restoran bebek, Machmudi mengontak Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, yang menengoknya ketika mendekam di penjara Kedung Pane, Semarang. Noor Huda menawari Machmudi usaha dan membantu mencari pinjaman.
Bersama empat temannya--dua di antaranya bekas narapidana terorisme--Machmudi merintis Dapoer Bistik di Semarang. Pada tahun kedua, dia membuka cabang di Solo. Ketika usahanya menanjak, perkongsian bisnis itu malah pecah sehingga usaha tersebut bangkrut. Machmudi membuka rumah makan sendiri sambil mendirikan penyewaan mobil pada 2013.
Karena hidupnya sudah lega, Machmudi tak melupakan masa lalunya. Ia rutin mengunjungi narapidana terorisme di sejumlah penjara untuk menyadarkannya. Kepada mereka, Machmudi mengatakan bahwa terorisme justru menyudutkan Islam. Teror membuat citra Islam menjadi agama kejam dan bengis. Akibatnya, umat Islam sendiri yang menjadi korban. "Bagaimana disebut jihad memuliakan Islam, sementara tindakannya menghinakan Islam?" katanya.
Upaya deradikalisasi narapidana terorisme ia lakukan bersama Yayasan Prasasti Perdamaian. Ada narapidana yang sadar, tak sedikit yang mencibirnya. Narapidana yang insaf atas saran Machmudi umumnya sadar bahwa mereka tak akan bisa melakukan perubahan besar karena tak punya kekuatan, jaringan, dan dana yang memadai.
Narapidana yang mencibirnya menganggap ia seorang penakut. Mereka yang berkeyakinan seperti itu, kata Machmudi, umumnya narapidana pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Machmudi adalah pengikut Jamaah Islamiyah, yang umumnya tak bisa disadarkan agar meninggalkan jalan kekerasan membela umat Islam.
Karena kerap mendatangi narapidana teroris pendukung ISIS, Machmudi terkadang diajak berbaiat kepada organisasi itu. Salah satunya yang mengajak adalah teman dekatnya ketika mendekam di penjara Kedung Pane. "Saya bilang, kamu berbaiat kepada kelompok yang tidak kamu kenal. Jika kamu butuh bantuan, mau minta kepada siapa?"
Sri Handayani, kakak Machmudi, yakin adiknya tak bakal kembali terjerumus ke paham radikal. Meski begitu, ia selalu khawatir adiknya tersangkut kembali setiap kali mendengar berita penangkapan teroris. "Sekarang dia punya tiga anak dan istri yang harus dipenuhi kebutuhannya," kata Sri.
Mobil Innova hitam yang ia naiki ketika mengunjungi Sri di Sidoarjo setelah mengantar keluarga narapidana teroris seolah-olah menjadi penanda Machmudi telah kembali ke "kehidupan normal". Ia kembali kepada keluarga yang mencintainya dengan hidup yang memadai seraya menyadarkan teman-temannya sesama teroris agar meniru jalan baru yang ditempuhnya.
Karena kerap mendatangi narapidana teroris pendukung ISIS, Machmudi terkadang diajak berbaiat kepada organisasi itu. Salah satunya yang mengajak adalah teman dekatnya ketika mendekam di penjara Kedung Pane. "Saya bilang, kamu berbaiat kepada kelompok yang tidak kamu kenal. Jika kamu butuh bantuan, mau minta kepada siapa?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo