Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MIHARTO sempat ragu ketika disodori proposal dari Growpal pada awal Januari lalu. Pengusaha properti ini merasa perlu mengecek dulu bisnis macam apa yang ditawarkan startup bidang financial technology (fintech) yang berfokus di sektor perikanan ini. "Tawarannya menarik. Tapi, karena sebelumnya tidak main di perikanan, saya tidak bisa gegabah ambil keputusan," kata lelaki 56 tahun ini saat menceritakan kembali awal mula bergabung sebagai sponsor di Growpal, Ahad pekan lalu.
Tak puas hanya membaca proposal, pengusaha yang berdomisili di Surabaya ini meminta bertemu dengan tim Growpal. Miharto ingin melihat langsung lokasi budi daya udang vaname yang terletak di Pacitan, Jawa Timur. Udang yang kerap disebut udang putih ini adalah salah satu komoditas selain ikan kerapu yang ditawarkan Growpal dalam proposalnya. "Dari survei berkali-kali dan melihat sendiri tambaknya, saya percaya investasi ini berprospek," ujarnya.
Bukan itu saja, skema bisnis yang ditawarkan Growpal membuat Miharto semakin berminat bergabung menjadi pemodal. Menurut dia, Growpal menerapkan skema bagi hasil yang menggiurkan untuk para sponsor. Simulasinya, dengan besaran modal Rp 500-an juta per 3.000 meter persegi tambak dan periode panen setiap tiga setengah bulan, tingkat pengembalian investasi (return of investment) yang diperoleh mencapai 80 persen per tahun.
Miharto baru menanamkan duit sekitar Rp 380 juta untuk budi daya udang putih. Menurut dia, alokasi uang ini memang belum maksimal untuk tahap awal. "Adaptasi dulu, nanti masih bisa pengembangan," ucapnya. Miharto mengatakan yang terpenting investasi tersebut bisa menjadi alternatif melebarkan sayap bisnis di luar sektor properti yang selama ini digeluti. "Ketimbang hanya menaruh uang di bank, untungnya tidak sebesar investasi di sektor riil karena suku bunga semakin turun."
Karena terhitung baru bergabung tiga bulan terakhir, Miharto mengaku belum bisa menikmati hasil investasi. Meski demikian, ia yakin betul duitnya tak akan hilang. Alasannya, selain menawarkan skema bisnis yang menguntungkan dan jenis komoditas yang potensial, Growpal berhasil meyakinkan para mitranya lewat jaminan keamanan dan transparansi berupa laporan real time yang bisa diakses di website. "Patokan saya bukan hanya soal profit, tapi juga keamanan dan apa yang bisa ditawarkan Growpal ke depan."
Growpal adalah platform digital yang memberikan layanan mempertemukan investor, pemilik lahan, petani ikan, dan pembeli hasil panen. Beroperasi sejak Oktober tahun lalu, platform yang digawangi empat pemuda rata-rata berusia 20 tahun ini menyediakan wadah terjalinnya sinergi antara pemilik modal yang memiliki kelebihan dana dan bisnis perikanan yang potensinya sangat besar. Platform ini juga mencarikan solusi bagi petani ikan laut yang memiliki lahan potensial dan kemampuan beternak tapi tidak memiliki cukup modal.
Chief Public and Partnership Officer Growpal, Paundra Noorbaskoro, mengatakan para pendiri Growpal sebetulnya sudah mendalami bisnis di sektor perikanan selama tiga tahun terakhir. Latar belakang pendidikan sebagai lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya, Malang, membuat Paundra dan tiga kawannya sesama pendiri sudah sering bersinggungan dengan persoalan petani ikan. Salah satunya banyak petani tambak yang memiliki lahan dan keterampilan budi daya tapi berskala kecil. "Masalah timbul ketika produksi mereka tidak memenuhi kuota yang ditargetkan supplier, kontrak kerja samanya diputus," kata Paundra, Ahad pekan lalu.
Menurut Paundra, minimnya kemampuan petani meningkatkan skala usaha lantaran kekurangan modal dan tingginya biaya operasional. Padahal potensi budi daya udang di Pacitan dan kerapu di Situbondo masih sangat besar. Berada di wilayah pesisir dengan air yang melimpah merupakan modal utama budi daya kedua komoditas perikanan tersebut. "Di situ kami berpikir menjembatani lewat teknologi," ujarnya. Paundra ingin mempertemukan kaum urban, bankir, dan pemodal yang punya dana ikut berinvestasi sehingga petani bisa mendongkrak kapasitas produksi.
Untuk menjaring para investor, Growpal menawarkan skema bagi hasil yang cukup menggiurkan. Simulasi investasi untuk kerapu, misalnya, dengan biaya budi daya termasuk sewa lahan dan bibit selama lima tahun, pemodal menggelontorkan Rp 18,7 juta. Jika panen bisa dilakukan pada bulan keenam, pada tahun pertama dan seterusnya bagi hasil rata-rata bisa mencapai 40-70 persen per kontrak. Bagi hasil ini kemudian dibagikan ke sponsor atau pemodal sebesar 55 persen.
Bagi petani ataupun pemilik lahan, bagi hasilnya berkisar 25-35 persen. Itu pun, menurut Paundra, di luar bonus per panen. "Petani tidak mengeluarkan modal apa pun," ucap Paundra. "Selain itu, banyak lahan mati yang bisa dimanfaatkan sehingga pemilik tanah mendapatkan manfaat."
Bukan hanya investor seperti Miharto yang bakal meraup untung, para petani udang putih di Pacitan pun ikut merasakan manfaat dari Growpal. Koordinator petani udang mitra Growpal, Heri Setyobudi, mengatakan kini petani bisa membawa pulang minimal Rp 1,5 juta setiap bulan. Jika sekali panen keuntungan bersih mencapai Rp 200 juta, petani bisa mendapatkan bonus tambahan kira-kira 15-20 persennya. "Tambahan dari bagi hasil saja sudah lumayan," kata Heri, Ahad pekan lalu.
Meski demikian, menurut Heri, manfaat dari keberadaan Growpal tidak hanya diukur dari keuntungan ekonomi. Lebih dari itu, hadirnya platform teknologi semacam ini turut menekan jumlah penganggur dari kelompok usia produktif di Pacitan. Belum lagi keuntungan bagi pemilik lahan yang selama ini tidak produktif. Heri mengatakan Growpal membantu lahan tersebut dimanfaatkan secara optimal sekaligus menggerakkan petani di sekitar lahan untuk memiliki pekerjaan. "Kami sangat terbantu, pertama masalah modal, penyediaan lahan, dan pemberdayaan tenaga kerja, sehingga petani bisa berfokus di bagian budi daya," ujarnya.
Sejauh ini, menurut Paundra, polafintechyang diterapkan relatif berhasil. Indikatornya, dana kelolaan yang terus bertambah tercatat sebesar Rp 7,4 miliar untuk investasi udang dan Rp 200 juta buat investasi kerapu.
Memiliki konsep yang hampir mirip, iGrow menawarkan fungsi sebagai rantai yang menghubungkan pemilik dana, pemilik lahan, dan petani. Bedanya, startup yang berdiri pada Agustus 2014 ini berfokus pada komoditas pertanian, seperti kacang tanah, sukun, durian, ketela, dan pisang. "Petani kita punya masalah berlarut-larut: mereka tidak bisa mengakses modal ke perbankan, termasuk kesulitan memasarkan produknya langsung ke pasar karena ada tengkulak," kata CEO iGrow, Andreas Senjaya, Kamis pekan lalu.
Lewat dashboard yang dikembangkan, siapa pun pemilik modal yang tertarik bisa mendaftar serta memilih benih dan lahan yang akan diinvestasikan. Nilai paketnya beragam, dari Rp 1,5 juta per unit investasi sukun sampai Rp 15 juta paket ketela. Periode kontraknya bergantung pada lama masa tanam sampai panen. Dari paket kontrak minimal 6 bulan hingga 18 tahun, tingkat pengembalian investasinya beragam di kisaran 15-50 persen per tahun. Dari keuntungan tersebut, bagi hasil untuk pemodal dan operator penggarap lahan masing-masing sebesar 40 persen.
Bagi petani, kehadiran iGrow serta-merta memangkas rantai tengkulak yang dengan mudah memainkan harga beli hasil panen. Operator petani kacang tanah di Kabupaten Buleleng, Bali, Ade Suherman, mengatakan petani kini bisa meraup untung yang lebih besar karena harga beli panennya berada di kisaran Rp 5.300 per kilogram dari sebelumnya bisa di bawah Rp 3.500 per kilogram. Dengan hasil panen per hektare sebesar 4 ton, petani bisa mendapat minimal Rp 20 juta per hektare. "Dipotong biaya produksi sekitar Rp 12 juta per hektare, pendapatan bersih per hektare bisa Rp 8 juta, tinggal dibagi dengan jumlah penggarap di situ," ujar Ade, Ahad pekan lalu.
Ayu Primasandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo