Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cucu Lie Djoen Liem, Pulung Gantung, dan Merapi

Salah satu seniman Brasil berusaha mencari asal-usul kakeknya yang ternyata seorang komikus terkenal asal Semarang. Sayang tak dijadikan karya.

12 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cucu Lie Djoen Liem, Pulung Gantung, dan Merapi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU seperti brem atau tape menguar di sebuah ruangan di lantai 3 gedung Jogja National Museum. Tampak dua buah guci besar berbahan tanah liat. Tumpukan daun pisang menutupi mulut guci itu. Isi guci adalah beras fermentasi. Dari situlah bau seperti arak muncul. Di sekeliling dua guci tersebut ada 127 vas mini dari lempung. Pot kecil dari tanah liat itu berisi nasi, gula merah, jamur, dan kantong cengkih. Jamur akan terus tumbuh selama dipamerkan dalam Biennale Jogja XIV. Jamur akan muncul dari permukaan keramik.

Karya instalasi Daniel Lie, 29 tahun, seniman asal Brasil, berjudul Between a Bless and a Curse itu semacam "sesajen". Sebuah sajian ritual untuk menghubungkan Brasil dan Indonesia. Daniel baru pertama kali menginjakkan kaki ke Indonesia. Tapi, baginya, perjalanan ini merupakan juga sebuah perjalanan mencari asal-usul. Dia sesungguhnya memiliki darah Semarang. "Bagi saya, berada di sini adalah sebuah kesempatan istimewa. Sebuah peristiwa emosional yang menandai kembali hubungan saya dengan leluhur," kata Daniel.

Kakek Daniel Lie berasal dari Semarang. Pada 1958, sang kakek membawa keluarganya meninggalkan Indonesia beremigrasi menuju Brasil. Kakek Daniel adalah orang Indonesia pertama kali yang melakukan eksodus ke Brasil. Menurut Pius Sigit, kurator, saat pindah itu kakek Daniel sama sekali tidak bisa berbahasa Portugal. Adalah menarik bahwa ternyata kakek Daniel adalah salah satu tokoh Tionghoa Semarang dan orang yang sangat terkenal dalam belantika perbukuan Indonesia pada 1950-an. Sang kakek adalah Lie Djoen Liem, pengarang komik legendaris Wiro Anak Rimba Indonesia.

Wiro Anak Rimba bisa disebut merupakan komik klasik Indonesia pada 1950-an. Komik ini adalah Tarzan versi Indonesia. Karya ini bercerita tentang petualangan panjang seorang anak pra-remaja bernama Wiro. Wiro bersama para binatang sahabatnya, yakni kera, gajah, harimau, dan gorila, berkeliling ke hutan-hutan seluruh Nusantara, dari Jawa, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, sampai Papua. Gambar komik ini sangat kuat dan ceritanya menyentuh. Ilustrator komik ini adalah Kwik Ing Hoo. Kwik bersama komikus lain, seperti Kho Wan Gie, Lie Ay Pon, Siauw Tik Kwie, dan John Lo, adalah legenda komikus Tionghoa pada 1930-1960. Kwik menggambar Wiro Anak Rimba, sementara isi cerita dikarang Lie Djoen Liem.

Duet antara Kwik Ing Hoo dan Lie Djoen Liem menghasilkan sepuluh seri Wiro Anak Rimba. Dari asal-usul Wiro, Wiro bertemu dengan seorang peneliti flora-fauna bernama Dr Watson yang melakukan ekspedisi ke mana-mana, Wiro menyikat habis bajak laut, sampai Wiro menghantam pencuri mutiara. Wiro digambarkan memiliki spirit nasionalis. Dia, misalnya, ikut melawan tentara Jepang. Dalam seri Wiro di Papua digambarkan Wiro melawan sisa-sisa serdadu Dai Nippon hingga para binatang sahabatnya terbunuh. Konon banyak penggemar Wiro sampai menangis saat membaca gorila, kera, gajah, dan harimau sahabat Wiro mati melawan penjajah.

Sampai sekarang, Wiro Anak Rimba masih dianggap salah satu masterpiece komik Indonesia. "Saya pernah diperlihatkan oleh Daniel Lie komik Wiro Anak Rimba. Ternyata keluarganya di Brasil masih menyimpan komik warisan kakeknya." Menurut Daniel, kakeknya dulu memiliki toko buku di Semarang. Toko buku itu menjual Wiro Anak Rimba dan buku-buku lain. Di sela acara Biennale, Daniel pergi ke Semarang untuk melacak jejak Lie Djoen Liem. Dia ingin mengetahui apakah sisa toko buku milik kakeknya masih ada.

Toko buku itu memang tak ada lagi. Namun lokasi toko buku Lie Djoen Liem ternyata sekarang berada di jalan yang sama dengan Galeri Semarang berdiri. Bekas lokasi toko buku kakeknya itu kini menjadi pusat kebudayaan. Di sana juga terdapat perpustakaan bagi para turis. Sayangnya, Daniel tak menemukan orang-orang yang sedarah dengannya di Semarang. Dia menduga keturunan keluarganya ada di Jakarta.

Daniel Lie adalah satu dari tiga seniman Brasil yang mengikuti residensi sebagai bagian dari Biennale tahun ini. Adalah menarik sebenarnya bila Pius Sigit selaku kurator memstimulasi Daniel membuat karya berdasarkan riwayat Lie Djoen Liem dan karya-karyanya. Ini belum pernah dilakukan di sini. Nama Lie Djoen Liem sendiri dalam sejarah komik Indonesia sudah dilupakan. Kepindahannya ke Brasil pun tak banyak yang tahu. Adalah menarik bila Daniel membuat karya berdasarkan materi sejarah ini.

Selain Daniel Lie, dua seniman Brasil yang menjalani residensi selama dua bulan di Yogyakarta adalah Rodrigo Braga dan Yuri Firmeza. Rodrigo Braga, 41 tahun, menciptakan video pulung gantung di Kabupaten Gunungkidul. Pulung gantung atau mati dengan cara menggantung banyak terjadi di daerah itu. "Saya terpikat pada cerita pulung gantung yang saya dapatkan dari kurator Pius Sigit ketika datang ke studio saya di Brasil," ujar Braga.

Dia membuat video berdurasi 8 menit yang memotret lanskap Gunungkidul. Dalam video berjudul Alam’s Signs itu, ia menampilkan rumah-rumah penduduk yang berdinding kayu dan batu bata. Braga berdiri di kuburan massal. Ia mengenakan sarung dan kopiah, menghadap ke langit. Braga berjalan melintasi Pantai Kesirat, Gunungkidul. Ia berjalan menuju tepian tebing laut. Sangkar itu tercebur ke laut. Untuk menggambarkan pulung gantung, ia menggunakan efek cahaya berbentuk tali yang muncul menggantung di pohon yang berada tak jauh dari tebing tempatnya berdiri.

Sebelum tinggal selama sepekan di Dusun Wiloso, Girikarto, Panggang, Gunungkidul, Rodrigo Braga mencari tahu tentang pulung gantung lewat sejumlah literatur. Sosiolog Emmanuel Subangun banyak membantunya. Subangun membuka jalan bagi Braga untuk berinteraksi dengan penduduk setempat. Braga mengamati penduduk melakukan aktivitas keseharian, seperti pergi ke sekolah, menanam, bertani, memancing, dan berbicara satu dengan yang lain. "Karya itu menggambarkan apa yang saya rasakan dan lihat di Gunungkidul," ucapnya. Pulung gantung, menurut dia, adalah semacam cara orang untuk menjustifikasi kematian. Mereka menggunakan tanda-tanda alam sebagai justifikasi bahwa mereka harus mengakhiri hidup.

Adapun seniman Yuri Firmeza menyuguhkan karya tentang Gunung Merapi di lantai 2 gedung Jogja National Museum. Seniman 35 tahun itu membuat film dokumenter aktivitas pusat observatorium Merapi serta Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi. Firmeza menunjukkan foto-foto mosaik morfologi kubah lava yang dipotret dari lapangan solfatara Kawah Gendol pada 1988.

Dalam film itu, Firmeza menampilkan gambar mirip lahar gunung berwarna hitam yang bergejolak. Dia melibatkan Rully Shabara untuk memunculkan suara mencekam dalam film, seperti suara binatang dan jeritan. Rully adalah vokalis kelompok musik Senyawa yang punya kekuatan dalam mengeksplorasi suara. Firmeza mengatakan ia mengunjungi Gunung Merapi selama empat kali ketika menjalani residensi di Yogyakarta. Dia menyewa jip, mendatangi pusat observatorium, dan berbincang dengan petugas di sana.

Selain itu, pengajar Jurusan Film dan Audiovisual Federal University of Caera, Brasil, tersebut tertarik mendokumentasikan gesturkulasi keseharian manusia Yogya. Firmeza mendokumentasikan penjual gelembung-gelembung busa, penjual makanan keliling, suara azan, dan perempuan yang mengenakan jilbab. Ia memberi judul film itu A Gesture Narrowly Divides Us from Chaos.

Judul itu mengambil ungkapan Antonin Artaud, dramawan asal Prancis. Firmeza terkesan setelah membaca teks karya Artaud tentang teater Bali. Dalam sejarah teater kontemporer, Artaud disebut terpukau pada sebuah pertunjukan tari Bali yang dilihatnya dalam sebuah Expo Kolonial di Paris. Berdasarkan buku Artaud, Firmeza mencoba menangkap gerak-gerak pedagang balon sampai anak-anak yang naik odong-odong di Alun-alun Kidul.

Shinta Maharani, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus