Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sukarno dengan Buket Bunga dan Dinding Berbunyi

Selain di Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta Biennale menjadikan dua museum di Kota Tua sebagai venue.

12 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sukarno dengan Buket Bunga dan Dinding Berbunyi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABUK-SABUK dari pelat kuningan silang-menyilang pada sebuah dinding hitam yang menutupi satu sisi ruangan. Tiap pelat lebarnya sekitar jari tangan dan disusun serupa dawai raksasa. Selain itu, ada senar beragam ukuran yang tumpang-tindih dengan pelat tersebut. Di depan dinding, bola-bola mungil dari karet tergantung pada seutas nilon. Bila bola-bola tersebut diayunkan ke arah dinding dan mengenai pelat atau senar, membahanalah ragam bebunyian. Suaranya kadang keras mirip gong, mendenting seperti gamelan, atau seperti petikan gitar.

Instrumen raksasa itu dibuat Wukir Suryadi untuk Jakarta Biennale 2017. Berjudul Kehidupan di Dinding Besar Kabarnya Keras, karya Wukir itu dipamerkan di ruang depan Museum Seni Rupa dan Keramik, Kota Tua, Jakarta. Wukir, salah satu personel band Senyawa, dikenal akan musik eksperimental dari berbagai instrumen yang ia ciptakan sendiri. Ini keterlibatan pertama Wukir di Jakarta Biennale.

Ide awal Wukir untuk karyanya kali ini adalah dinding. Baginya, dinding adalah saksi bisu atas sejarah, pengkhianatan, pembantaian, dan penghancuran. "Dinding juga menjadi batas dan segregasi. Siapakah manusia yang tak pernah menemui dinding?" ucap Wukir. Berangkat dari gagasan tersebut, Wukir berkeinginan mengeluarkan bunyi dari dinding bisu itu. Gaung bunyi seolah-olah dapat memantulkan sekat dan batasan dari dinding. Karya ini pun dibuat interaktif dan penonton dapat menciptakan sendiri komposisi bunyi yang dihasilkan. "Bunyi yang muncul ternyata melampaui bayangan imajinasi saya," ujar Wukir.

Wukir dibantu sejumlah teman untuk merealisasi idenya, seperti Mochamad Chozin Mukti, Dholy Husada, Eko Hadi Wijaya, dan Natasha Gabriella Tontey, karena pada saat proses pembuatan ia sedang menggelar tur di Amerika Serikat. "Ada empat kali simulasi saat membuat karya ini, di Yogyakarta; di Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta; dan terakhir final display di Museum Seni Rupa dan Keramik," tuturnya.

Instalasi bunyi Wukir adalah satu di antara empat karya perupa yang ditempatkan di Museum Seni Rupa dan Keramik sepanjang pergelaran Jakarta Biennale. Seniman lain adalah Pawel Althamer, Alastair MacLennan, dan Karabbing Film Collective. Ada pula 10 karya lain di Museum Sejarah Jakarta yang berada persis di sebelahnya, di antaranya dibuat oleh Dolorosa Sinaga, Nikhil Chopra, Ratu Rizkitasari Saraswati, dan Komunitas Bissu.

Berbeda dengan di Gudang Sarinah, penempatan karya di dua museum di Kota Tua terpisah-pisah dan lebih banyak berupa instalasi video. Karya paling mencolok perhatian di Kota Tua tak lain rangkaian patung Sukarno dengan berbagai ekspresi yang dibuat Dolorosa Sinaga. Sepuluh patung Sukarno dengan ukuran sebenarnya diletakkan di pelataran depan Museum Sejarah Jakarta. Tak pelak, karya ini langsung ramai menjadi obyek foto para pengunjung. "Tadinya saya mau bikin 100 patung, tapi karena keterbatasan dana akhirnya jadi 10 saja," kata Dolorosa.

Yang menarik dari karya Dolorosa adalah kesepuluh patung itu menampilkan pose berbeda, termasuk pose yang diciptakan sendiri oleh Dolorosa. "Saya melakukan riset dari foto-foto Sukarno dan kutipan dari pidatonya," ujarnya. Salah satu yang unik, misalnya, pose Sukarno dalam posisi bertinju yang ditiru Dolorosa berdasarkan potret Sukarno di depan lukisan S. Sudjojono. Patung ini diberi judul Kawan Revolusi. Ada pula patung Sukarno memegang buket bunga dengan sebelah tangan terangkat ke atas seperti pose patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia. "Dengan memegang bunga, saya ingin mengatakan pemimpin negara bisa pula menjadi orang yang mencintai keindahan dan a loving person," kata Dolorosa.

Untung masih ada karya Wukir dan Dolorosa. Sebab, karya-karya lain di Museum Museum Seni Rupa dan Keramik dan Museum Sejarah Jakarta kurang mengigit. Instalasi suara Emkal Eyongkapa yang diletakkan di bekas penjara bawah tanah di Museum Sejarah sama sekali tak menggugah. Apalagi karya Pawel Althamer di Museum Keramik. Ia membuat sebuah gubuk di halaman taman depan. Isinya aneka barang berantakan dan kertas coret-coret. Sama sekali tak artistik.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus